Bus mini berlari kencang meninggalkan rumah-rumah tradisional yang semakin lama tak kunjung aku tampak lagi, aku tinggalkan rumah demi cita-citaku menjadi Ceh didong yang termasyur di Aceh, meskipun guru yang mengajariku tak juga mendukung keberangkatanku.
Enam jam lamanya aku berada didalam bus, aku juga tak paham dengan kota Medan ini, semuanya terasa asing bagiku, semua serba besar dan berbeton, gedung-gedungnya sangat tinggi, yang diasalku hanya gunung Leuser dan bukit barisan saja yang bisa menyamai tingginya gedung di kota metropolitan ini.
Berbekalkan alamat, aku diturunkan di Salah satu jalan di kota medan, yang oleh pemilik bus, alamat yang hendak aku tuju tak jauh lagi dari jalan ini, ia berkilah bahwa mobil bus mini sepertinya tak di izinkan masuk ke jalan protokol.
“Bang, tau jalan jamin ginting, simpang pos, hotel katana? Aku membuka pembicaraan dengan seorang bentor[1]
”Bahh, tau lah aku bang, sini biar aku antarkan kau” dengan logat khas bataknya iya mencoba meyakinkan aku.
“Yakin abang tau jalannya?”
“Yakin lah aku, sumpah demi tuhan, untuk apa aku sering ke gereja tiap minggu kalau aku mau menipu kau bang, haram itu bang” rasanya aku ingin tertawa dengan perkataannya, ternyata dia tau juga dengan haram, jadi percayalah aku dengannya.
Satu jam lebih kami mencari alamat yang diberikan oleh teman yang berkuliah di sini, tempat diadakannya seleksi Ceh Didong[2], tak kunjung juga kami mendapatkannya.
“Bang, kau tau tidak dimana tempatnya, yang jelas lah sikit?” Nada bicaraku meninggi menandakan ketidak sabaranku.
“Sumpah bang, saya tau alamatnya, abang tenang saja dulu duduk disitu”
Aku merasa sepertinya tempat ini sudah hampir tiga kali kami lewati, si bentor pun dengan muka seriusnya berupaya menanyakkan ke teman bentornya yang lain apakah mereka tau dimana alamat tersebut.
“Nah itu dia hotel katana, sudah aku duga, ini sudah ke empat kalinya kita berputar-putar disini saja”
“Ehhh betulnya, tak tampak aku tadi bang, perasaanku memang disini tempatnya Cuma saya tak ingat dimananya”
“Ahgg banyak kali bual[3] yang keluar dari mocong kau itu”
“Ehhg, abang jangan turun dulu, hotelnya diseberang sana loh bang?”
Aku turun saja tanpa menghiraukan lagi omongannya, karena merasa sudah sangat ditipu. Sialan ini bentor baru saja aku sampai di kota Medan ini sudah di tipu oleh penduduk aslinya.
“Berapa semua?”
“ahgg, harga perkawanan saja bang, 50 ribu saja”
Sialan ini bentor, kasih harga seenak mulutnya saja, dengan tanpa kerelaan aku mengeluarkan isi dompet pecahan 50 ribuan. (Bersambung)