Jakarta | Lintas Gayo : Dibandingkan dengan suku atau daerah lain, referensi, pendokumentasian, dan publikasi soal Gayo masih sangat minim. Kemungkinan, Gayo hanya dikenal di Aceh. Kalaupun dikenal di luar, terbatas sekali yang tahu Gayo. Itu pun melalui orang-orang Gayo yang merantau di luar Aceh. Orang luar menganggap Gayo adalah Aceh. Padahal, Gayo berbeda dengan etnik Aceh. Demikian suku-suku minor lainnya yang ada di Aceh.
Dimintai pendapatnya di Jakarta, Selasa (7/6), Yusradi Usman al-Gayoni mengatakan bahwa kesan yang terbentuk tersebut sebagai hal yang lazim. Namun, bukan berarti kita menerima, tegasnya. Karena, tambah kolektor buku Gayo terserbut, memang orang Gayo-nya sendiri kurang menghargai sejarah mereka sendiri. Dalam arti, mereka tidak mau belajar, mengajarkan, melestarikan, dan mentransmisikan sejarah dan budaya mereka ke generasi yang lebih muda. Bahkan di Gayo sendiri, ada anggapan bahwa Gayo itu sebatas orang Gayo di Takengon. Kenapa? Karena orang Gayo di titik-titik persebaran lainnya kurang mempublikasikan diri.
Untuk itu, Yusradi mengajak semua pihak, termasuk Pemerintah Kabupaten untuk mengintropeksi diri, tanpa menyalahkan, melihat kekurangan/kelemahan, dan menuntut orang untuk berbuat. Sebaliknya, bertanya, melihat ke dalam, dan menuntut pada diri sendiri prihal apa yang sudah kita perbuat untuk mengatasi masalah ini?
Agar pendokumentasian ini berjalan maksimal, semua pihak harus terlibat di dalamnya, saran Yusradi, yang juga ketua Research Center for Gayo dan mulai dari hal-hal yang kecil di sekeliling kita. Misalnya, dalam menguak makna nama-nama kampung, kenapa harus Kebayakan, Bintang , dan Nosar? Demikian halnya kampung-kampung lain. Begitu juga dengan nama-nama jalan di Gayo. Ada Linge, Isaq, Sengeda, Lebe Kader, M. Hasan Gayo, Nurdin Sufi, dan lain-lain, siapa sebenarnya mereka?
Menyangkut nama-nama kampung dan jalan ini, Yusradi yang baru mengumpulkan 89 buku Gayo berharap Kepada Pemkab melalui dinas terkait agar menulis nama-nama tersebut dalam bahasa Gayo yang benar dan baik. Dan, tidak mengalihbahasakannya ke dalam bahasa lain, seperti Singah Mata jadi Singgah Mata, Atu Lintang jadi Batu Lintang, Belang Mersa jadi Blang Mersa, dan masih banyak contoh lainnya. Ini bukti nyata kalau kita (orang Gayo) tidak mensyukuri sekaligus menghargai bahasa dan budaya kita, pungkas Yusradi (Win Kin Tawar)