Ada menyebut bahwa perkataan ‘Gayo’ berarti ‘Yo’ dalam bahasa Aceh = ‘takut’ (melarikan diri) ketika Islam mula masuk ke daerah ini. Mereka melarikan diri ke pergunungan. Itulah orang Gayo. Benarkah? Setelah membaca artikel ini, pasti Anda terkejut.
MENELISIK JEJAK ASAL-USUL PERKATAAN ‘GAYO’
Oleh: Dr. Yusra Habib Abdul Gani (Suatu Kajian Sejarah, sekaligus jawaban kepada:
Dr. Zulyani Hidayah, penulis Enciklopedi Suku Bangsa DiIndonesia).
SEBELUM menguraikan secara terperinci tentang asal-usul perkataan ’Gayo’, warkah ini ingin memberi gambaran umum bahwa, penamaan terhadap sebuah kampung, daerah maupun negara dan bangsa sekali pun, ianya mempunyai latar belakang sejarah sendiri.
Adakalanya penghuni tempat memberi nama bumi yang mereka pijak dan tidak dapat dinafikan pula bahwa suatu tempat diberi nama oleh orang asing. Kepulauan Bougainville misalnya, dinamai oleh Louise Antoine de Bougainville (1729-1811), seorang laksamana angkatan Laut Perancis yang punya hoby mengembara. Bougainville yang terletak di gugusan Kepulauan Solomon, penduduk asli disini tidak pernah memberi nama kepada bumi yang mereka diami.
Louise Antoine de Bougainville akhirnya menyematkan dan mengabadikan namanya sendiri menjadi nama Kepulauan tersebut yang dikenali hingga sekarang. Kini, Bougainville merupakan salah satu Provinsi yang mengamalkan model pemerintahan self-government dan sedang gigih berjuang memerdekakan diri dari ikatan dan cengkeraman Papua New Gunea (negara induk).
Menurut legendanya, sebutan ‘Aceh’ juga dituturkan oleh orang asing, yaitu apabila perahu pendatang dari India tersandar di tepi pantai ujung Utara Pulau Ruja (Sumatera). Saat berteduh di bawah pohon yang rindang, ada yang melafazkan ‘Acha, Acha’ (Indah, Indah), untuk menggambarkan keindahan lokasi ini.
Itulah bumi Aceh (kawasan Lamuri pada masa itu). Penduduk asli disini tidak pernah menyebut bumi yang dipijaknya sebagai Aceh, sehingga pendatang asing dari India menamai dengan ’Acha’ yang kemudian mengalami perubahan sebutan kepada ’Aceh’.
Berangkat dari sini, maka manuskrip Eropah dari abad ke-16 hingga 18, menyebut Acha (Aceh) dengan ‘Achem’, ‘Achin’ atau ‘Atchin.[1] Portugal menyebutnya ‘Acehm’; Perancis mengèja ‘Acin’; Inggeris menyebut ‘Atcheen’ dan ‘Achin’; Belanda menyebut ‘Achem’ dan ‘Achim’. Kalangan peniaga Arab menyebut ‘Asyi’.[2] Artinya, sebutan Aceh yang dièja dalam pelbagai bahasa, hanya menunjukkan nama suatu lokasi pada peta dunia, bukan menunjuk kepada identitas atau bangsa.
[3] Barulah kemudian muncul teori yang menyebut bahwa, ‘Aceh adalah satu bangsa yang berasal dari bangsa Achemenia (Achemenis) di Kaukasus (Eropa Tengah). Satu keturunan pindah ke Persia, satu suku lagi pindah ke ujung Pulau Ruja, yang kemudian dikenal sebagai bangsa Aceh’.[4] Proses pembentukan kebangsaan ini kemudiannya melibatkan pelbagai suku, seperti Sukèë lhèë reutôh ban aneuk drang, Sukèë Jak Sandang Jeura haleuba, Sukèë Tok Batèë na bacut-bacut, Sukèë Imeum Peuët njang gok-gok donja.
[5]Haiti mengikut sejarahnya, juga ditemukan dan diberi nama Christoper Columbus sebagai La Isla Española (Pulau Spanyol) atau Hispañola yang kemudian berubah kepada ’Hispaniola’ dan terakhir disebut Haiti. Pada gilirannya, Haiti berjuang membentuk negara dan pemerintahan sendiri demi membebaskan diri dari penjajahan Perancis. Sementara itu, sebutan ’Indonesia’ mengikut riwayatnya diperkenalkan buat pertama sekali oleh James Richardson Logan (1819-1869), asal Skotlandia yang mengasuh Majalah ilmiah “Journal Of The Indian Archipelago And Eastern Asia” (JIAEA) tahun 1847 di Singapura, yaitu pada tahun 1850, JIAEA menurunkan satu artikel dengan judul: “On The Leading Characteristics Of The Papuan, Australian and Malay-Polinisian Nations”
[6] Gorge Samuel Windsor Earl coba menggambarkan bahwa sudah saatnya diciptakan keseragaman sebutan “kepulauan Hindia” yang punya nama khas (a distinctive name) terhadap kepulauan dan penduduknya yang beragam suku, untuk menghilangkan kesalah-fahaman dengan sebutan India. Selanjutnya, Earl menguraikan bahwa ’the inhabitans of the Indian Archepelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunisian or Malayanisians.’
[7] Awalnya, Earl sendiri lebih tertarik kepada sebutan “Melayunisia” daripada “Indunisia”, selain karena penduduk di sini bertutur bahasa Melayu –bahasa percakapan sehari-hari (linguapranca)– juga dikenal sebagai race Melayu dan sebutan “Indunisia” agaknya lebih tepat untuk Ceylon (Srilangka) dan Maldives (Maladewa).
Sementara itu, James Richardson Logan berpandapat bahwa penyebutan India Archipelago dirasakan terlalu panjang, bahkan membingungkan. Untuk itu, walaupun memetik istilah “Indunisia” yang sebelumnya sudah diperkenalkan Earl, tetapi Logan coba melakukan otopsi terhadap huruf “u” dan menukar kepada “o” yang ucapannya lebih enak didengar.
Sejak itulah lahir “bayi” bernama “Indonesia” yang dimuat JIAEA pada halaman 254 dalam judul ‘The Ethnology of the Indian Archipelago’. Selengkapnya Logan mengatakan, ‘Mr. Erarl suggests the ethnographical term Undunisian, but reject it in favour of Malayunisian. I prever the purely geographical term Indonesia; which is merely a shorter synonym for the Indian island or the Indian Archipelago.’
[8] Siapa pun tidak menduga dan menyadari, kalau idea Logan diterima sampai sekarang. Semenjak itu, kalangan pakar ethnologi dan geography secara resmi memakainya dalam penulisan berkaitan Indonesia.
Bagaimana pun, Adolf Bastian (1826-1905) dari Universitas Berlin dianggap berjasa mempromosikan istilah “Indonesia” dalam ‘Idonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel’, berdasarkan hasil penelitiannya tahun 1884. Promosi Adolf Bastian tentang “Indonesia” telah turut mencuat dan merangsang kalangan penulis Belanda, walau pun pemerintah Belanda masih tetap tidak sepakat dan merasa benci, sebab dianggap menggugat ‘Nederlands East Indies’, sebutan yang sejak ratusan tahun sudah berakar dalam masyarakat anak jajahannya.
Namun demikian, untuk tidak memalukan dan merasa ‘aib di kemudian hari, Belanda coba bertahan dengan sebutan ‘Nederlands East Indies’ dan membiarkan bergulir sebutan “Indonesia” baik dalam pertuturan dan literatur mengenai sejarah, geographi dan ethnogeographi, sebab pada akhirnya ianya memang bukanlah sesuatu yang sangat prinsip, sebagaimana dikatakan: Indonesia itu tidak berarti apa-apa, selain sebagai suatu sebutan arah di atas peta bumi saja, sampai pada waktu Belanda sadar lebih besar untung kepadanya kalau seluruh kepulauan Melayu disatukan di bawah sebuah pemeritahan penjajahan.
[9] Artinya, sebutan ’Inonesia’ hanya menunjukkan arah dan lokasi pada peta dunia, bukan nama suatu identitas sebuah bangsa. Kemudian baru muncul teori yang mencetuskan konsep negara kebangsaan Indonesia pada tahun 1928 lewat Sumpah Pemuda. Inilah urutannya: ’Melayunisia’ berubah kepada ’Indunisia dan terakhir disebut ’Indonesia’.
Akan halnya dengan perkataan ’Gayo’, terdapat dua teori yang diakui secara ilmiah oleh orang Gayo berdasarkan kekeberen[10]. Pertama, perkataan ’Gayo’ berasal dari bahasa Batak Karo yang berarti ’Gerep’ (Kepiting yang hidup di rawa-rawa atau di Sungai). Lokasi tempat ’Gerep’ ini hidup disebut ’Pegayon’. Perkataan ’Gayo’, bukan menunjuk kepada eksistensi dan identitas suatu ethnis atau bangsa. Ianya hanya menunjuk kepada suatu lokasi dalam peta bumi dunia bernama ’Pegayon’ (suatu lokasi rawa-rawa, dimana banyak hidup kepiting), terletak di Kampung Porang Blang Pegayon (Sekarang: wilayah administrasi Kabupaten Gayo lues). Pada zaman dahulu, penduduk yang datang dari kampung lain, maupun yang berada di sekitar lokasi, apabila mau mencari Kepiting, mereka kata: ’mau ke Pegayon’.
[11]Perkembangan selanjutnya, perkataan ’Pegayon’, mengalami proses perubahan sebutan dan ta’rif –dari sebutan ’Pegayon’ –yang luasnya kurang dari 500 m., berubah kepada nama suatu sebuah negeri bernama ’Gayo’ (Dataran Tanah Tinggi Gayo. Dari nama tersebut secara natural, penduduk yang mendiami tanah ini melahirkan ikatan kekerabatan hingga menyusun sebuah konsep kebangsaan Gayo. Di atas bumi bertuah inilah mereka menyara hidup, beranak keturunan sebagai sebuah bangsa yang memiliki sistem dan struktur kerajaan, tapal batas wilayah[12], identitas budaya, falsafah dan bahasa Gayo yang dikelompokkan kedalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia.
[13]Mengikut teori ini, perkataan ’Gayo’ tidak dikenal dalam masyarakat Gayo. Sama halnya dengan perkataan ’Karo’, yang tidak dikenal dalam bahasa Batak Karo, akan tetapi dikenal dalam bahasa Gayo. Perkataan ’Karo’ berarti dikejar/diburu. Munculnya perkataan ini sudah tentu berhubung kait dengan sejarah awal keberadaan suku Batak Karo yang mendiami kawasan Porang Blang Pegayon, Gayo Lues.
Diriwayatkan bahwa, oleh sebab komunitas minoritas ini tidak mau menerima ajaran agama Islam, maka komunitas Batak Karo ini dikejar oleh penduduk setempat, mereka lari menyelamatkan diri dan menetap di daerah Batak Karo, Kabupaten Dairi (kini masuk wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara).
[14]Teori pertama ini dapat diterima kebenarannya, karena dari sudut pandang anthropologi dan sosio-politik, perubahan nama dari ’Pegayon’ kepada ’Gayo’ merupakan proses alamiah, yang lazim berlaku di dunia ketatanegaraan dan georaphi. Misalnya Haiti, yang sebelumnya dinamai La Isla Española, berubah kepada Hispañola dan terakhir berubah menjadi Haiti.
Demikian pula proses sebutan dari ’Melayunisia’ berubah kepada sebutan ’Indunisia’ hingga kepada ’Indonesia’. Sebutan terhadap Pidië –salah satu Kabupaten di Aceh– juga mempunyai sejarah panjang, setidak-tidaknya antara tahun 1400-1500-an, Pidië dikenali sebagai Poli dan kerajaannya dinamakan kerajaan Poli.
Pada gilirannya, nama Poli berubah kepada Pedir. Nama Pedir tetap eksis hingga awal abad ke-19, bahkan tempat penandatanganan Perjanjian Rafless pada 22 April 1819 berlangsung di Pedir, bukan Poli dan bukan pula Pidië. Nama Pidië, secara resmi baru muncul dan diakui setelah dikeluarkan Undang-undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 1956, tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh, dimana pada pasal 1, nama Pidie disebut sebagai salah Kabupaten dalam lingkungan wilayah administratif Provinsi Aceh. Ini urutannya: Poli berubah kepada Pedir dan akhirnya berubah menjadi Pidië.
Teori kedua menyatakan bahwa, perkataan ’Gayo’ berhubung kait dengan peristiwa tragis yang menimpa Merah Mege[15], ketika enam bersaudaranya (abang) bersepakat menjebloskan adik bungsunya (Merah Mege) kedalam sebuah Telaga tua di Loyang Datu atas alasan merasa irihati, karena Muyang Mersa (Ayah) dinilai pilih kasih –lebih menyayangi Merah Mege berbanding– enam abang kandung lainnya.
Saat disadari oleh Muyang Mersa bahwa anak bungsunya sudah hilang, maka upaya pencarian pun dilakukan oleh penduduk setempat dan setelah berhari-hari dilakukan pencarian, Merah Mege berjaya ditemukan atas bantuan seekor anjing peliharaan Muyang Mersa bernama Pasé, yang rupa-rupanya setiap hari secara rahasia, Pasé memasok makanan kedalam telaga tua itu, dimana Merah Mege berada.
Pencarian membuahkan hasil, dimana Merah Mege berhasil diselamatkan dalam keadaan selamat hidup. Ketika masyarakat yang menemukan Merah Mege, maka secara spontas mereka berteriak sambil melafazkan ’DirGayo’, ’DirGayo’, ’DirGayo’, yang bermakna ’Selamat/sehat wal’afiat. Pada gilirannya, perkataan ’DirGayo’ mengalami perubahan kepada ’Gayo’ (berarti selamat sejahtera).
Peristiwa yang dialami oleh Merah Mege ini, mengingatkan kita kepada kisah Nabi Yusuf AS yang dizalimi oleh enam saudara kandungnya (abang), yang kemudian diselamatkan, seperti mana dikisahkan dalam (Q: surat Yusuf, ayat 08-10). Riwayat ini dikisahkan secara turun-menurun dalam bentuk syair dan kekeberen (Hikayat) paling sangat polular di kalangan masyarakat Gayo dari sejak zaman itu hingga sekarang.
Kekeberen adalah satu-satunya metode yang dipakai untuk menyelamatkan fakta sejarah Gayo, sekaligus dianggap sebagai Mezium bergerak yang tersimpan dalam ingatan orang Gayo –tidak disimpan dalam bentuk dokumen tertulis– mengingat belum ditemukannya tehnologi percetakan kertas pada masa itu dan masyarakat Gayo mengakui dan berani bersaksi di atas keabsahan riwayat ini. Kini kuburan beberapa tokoh yang disebut disini masih dirawat dengan baik.
Dikisahkan bahwa, ke-enam-enam anak Muyang Mersa ini memohon diri kepada Ayahnya untuk meninggalkan tanah Gayo, karena tidak sanggup menahan rasa malu kepada ahli keluarga dan masyarakat atas tindakan yang telah berlaku terhadap adik bungsunya (Merah Mege). Oleh itu, Merah Bacang (anak sulung), mengasingkan diri ke daerah Batak untuk mengembangkan Islam ke daerah Barus, Tapanuli;
Merah Jernang (anak kedua) mengasingkan ke daerah Kala Lawé, Meulaboh[16]; Mérah Pupuk (anak ketiga) mengembangkan agama Islam ke daerah Lamno Daya; Merah Putih Dan Merah Item (anak ke-empat dan kelima) yang kemudiannya digelari sebagai Mérah Dua, mengasingkan diri ke daerah Belacan (sekarang Meureudu).
Kuburan kedua bersaudara ini terdapat di wilayah Meureudu, Pidie Jaya; Mérah Silu[17] (anak keenam) mengasing diri ke daerah Gunung Sinabung dan daerah Kluet. Diketahui bahwa, sebagian masyarakat Kluet hingga kini masih berbahasa Gayo dan keturunan Merah Silu berkembang biak di sini.
Sementara itu, Merah Mege yang menetap di tanah Gayo, dipercayakan menjaga harta warisan Ayahnya (Muyang Mersa). Beliau dikuburkan di Wihni Rayang, terletak di Lereng Keramil Paluh, daerah Linge, Aceh Tengah, yang hingga kini masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk. Inilah di antara faktor yang meyakinkan orang Gayo terhadap keabsahan sejarah masa lampaunya.
Mengikut sejarahnya, kehadiran Malik Ishaq beserta pengikutnya dari Peureulak ke Isaq Gayo merupakan pelarian politik (political refugees) atas sebab peperangan yang meletus antara kerajaan Peureulak di bawah Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan yang memerintah (986-1023) melawan serangan kerajaan Seriwijaya selama 20 tahun lamanya; yang memaksa Sultan Peureulak mencari alternatif supaya menyiapkan perlengkapan perang.
Untuk itu, Malik Ishaq –saudara kandung Sultan Peureulak– bersama sebagian pengikutnya untuk untuk bercocok tanam di tanah Gayo yang dianggap subur, seperti Kute Rayang, Kute Robel, Kute Keramil dan lain-lainnya. Kerajaan setempat atas restu dari penduduk asli Gayo di Isaq, bukan saja menerima para pelarian politik ini dengan senang hati, tetapi juga mengabulkan permintaan Malik Ishaq untuk mendirikan kerajaan Islam Malik Ishaq di tanah Gayo berpusat di Isaq.
Mereka kemudian dianggap sebagai ’new Gayo men’ berasal dari Peureulak. Dikatakan bahwa, Muyang Mersa merupakan keturunan langsung dari Malik Ishaq, dipastikan bahwa orang Gayo pada masa itu sudah memeluk agama Islam semenjak Kerajaan Malik Ishaq didirikan pada 337 Hijriyah/988 Masehi. Bagaimana pun, kerajaan Malik Ishaq ini tetap menjalin hubungan persaudaraan dengan Kesultanan Perlak –sebuah kerajaan Islam tua di Sumatera– berdiri pada 1 Muharam 225 H/840 – 1292 M.
Selain kerajaan Malik Ishaq, di tanah Gayo wujud kerajaan Linge berpusat di Buntul Linge,[18] yang posisinya berdekatan dengan pusat Kerajaan Malik Ishaq di Isaq. Pendiri kerajaan ini pun dikabarkan berasal dari Rum (Konstantinople di bawah empayer Byzantine).[19] Kerajaan Linge didirikan pada tahun 1025 M (416 H) dengan raja pertamanya adalah Adi Genali, bertepatan dengan masa Sultan Machudum Johan memerintah Kerajaan Perlak.
[20] Kerajaan ini memiliki sistem pemerintahan yang disebut sarak opat: terdiri dari Reje, Petue, Imem dan Rakyat.[21] Konstitusi kerajaan Linge didasarkan kepada nilai-nilai Islami yang dituangkan kedalam 45 fasal,[22] yang mengatur pelbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berangkat dari fakta di atas, maka orang Gayo sesungguhnya sejak tahun 988 Masehi lagi –yaitu tahun berdirinya kerajaan Malik Ishaq di Isaq (tanah Gayo)– dan pada tahun 1025 Masehi –yaitu tahun berdirinya kerajaan Islam Linge di Buntul Linge (tanah Gayo)– dimana peradaban Islam sudah hidup dan berkembang di tanah Gayo.
Bandingkan dengan kerajaan Samudera Pasai –sekarang merupakan wilayah administrasi Kabupaten Aceh Utara di Pesisir Aceh– yang baru berdiri pada tahun 1267. Dengan perkataan lain, setelah 242 tahun lamanya kerajaan Islam Linge wujud, barulah berdiri Kerajaan Pasai (1297-1326 M); atau setelah 279 tahun berdirinya Kerajaan Islam Malik Ishaq wujud di tanah Gayo.
Memandangkan akuratnya fakta sejarah Gayo, maka dalam konteks ini sungguh mengejutkan, apabila muncul pendapat/teori bernada ’sungsang’ tentang asal-asul perkataan ‘Gayo’. Teori ini menyebut bahwa, ”… nama Gayo berasal dari kata ’kayo’ yang berarti ”takut” atau melarikan diri”.[23] Tanpa melakukan penyelidikan dan kajian secara komprehensif terlebih dahulu, penulis telah berasumsi bahwa teori tersebut diperoleh dari sumber gelap yang menyebut bahwa ’… menurut sementara orang pada waktu agama Islam masuk sebagian penduduk pesisir melarikan diri…..’.
[24] Jika dilacak tentang asal-usul munculnya pendapat ini, diprediksi bersumber dari buku ’Tarikh Aceh Dan Nusantara’, ditulis oleh HM Zainuddin, yang berpendapat bahwa ’nama Gayo berasal dari kata ’kayo’ yang berarti ”takut”. Sehubungan itulah, Tengku Ilyas Leubé[25] pernah menawarkan kepada HM Zainuddin semasa hidup untuk berani berdebat di depan khalayah umum demi mempertanggungjawabkan pendapatnya.
Malangnya, setelah tarikh berdebat disepakati, HM Zainuddin telah pun lebih awal berpulang ke Rahmatullah. Akibatnya, isu yang dilontarkannya terbengkalai[26] dan menyisakan masalah krusial tentang sejarah Gayo yang tidak diklarifikasi hingga sekarang.
Terdapat beberapa alasan yang membuktikan tentang ketidakabsahan pendapat ini. Pertama, pelarian politik asal Peureulak yang mencari perlindungan politik di tanah Gayo –yang wilayahnya, seperti Lukup Serbejadi dan Pulo Tige– merupakan kawasan yang berbatasan langsung dengan wilayah kerajaan Peureulak (sekarang berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Timur).
Mereka hadir semata-mata untuk menyelamatkan dan mempersiapkan diri untuk menghadapi perang panjang antara kerajaan Peureulak versus kerajaan Seriwijaya selama 20 tahun; bukan karena alasan takut memeluk agama Islam di Aceh pesisir sehingga lari ke wilayah Gayo.
Pelarian politik asal Peureulak ini, bahkan diberi kebenaran oleh orang Gayo untuk mendirikan kerajaan Islam Malik Ihaq di Isaq (Gayo). Kedua, rakyat Aceh Pesisir yang mendiami wilayah sebelah Utara Kerajaan Jeumpa dan Pasé) yang berbatasan langsung dengan Tanah Gayo, tidak ada yang melarikan diri ke Gayo atas sebab takut kepada Islam –yang ditafsirkan menjadi orang Gayo– oleh karena agama Islam ratusan tahun lebih awal hidup dan berkembang di Gayo, seperti telah disinggung di atas.
Ketiga, antara fakta tidak dapat dinafikan bahwa, Sultan Malik Ahmad (salah seorang anak lelaki dari Merah Sinobong) dinobatkan sebagai raja Jeumpa menggantikan ayahnya –merupakan saudara kandung dari Malikus Saleh, Sultan Pase pertama di kerajaan Islam Pase– dipastikan kedua-duanya (Malik ahmad dan Merah Silu (Malikus Saleh) adalah cicit dari Muyang Mersa. Merah dalam bahasa Gayo berarti Malik dalam bahasa Arab; Silu dalam bahasa Gayo bermakna shaleh dalam bahasa arab (Malikussaleh).
Ke-empat, Merah Johansyah (anak kandung Adi Genali –Raja Linge), dikenal sebagai panglima pasukan ’Syiah Hudan’ yang telah berjasa mengislamkan beberapa kerajaan kecil, seperti kerajaan Langkrak, kerajaan Seudu, kerajaan Indrapuri, Indrapurba dan Indarpurwa di bawah bimbingan Syèh Abdullah Kan’an
[27] (Tengku Keuneu-eun, yang kuburannya berada di daerah Mata Ië, Aceh Besar). Selain itu, Merah Johansyah juga berhasil menakukkan rezim Neo Nian Lingké yang menjajah beberapa kerajaan kecil yang disebut di atas. Sehubungan dengan kejayaannya, maka Merah Johansyah dilantik menjadi Sultan Aceh pertama yang mmerintah (1205-1235) dan bersamaan dengannya didirikan Negara Islam Aceh Darussalam pada 22 April tahun 1205.
[28] Akhirnya, pendapat yang menyebut ’… nama Gayo berasal dari kata ’kayo’ yang berarti ”takut” atau melarikan diri’ adalah sangat tidak logis, tidak realis, kontroversial dan sangat kontradiksi dengan fakta sesungguhnya, sepertimana sudah disentuh di atas.
Oleh itu, buku ’Ensiklopedi Suku Banga di Indonesia’ yang sempat beredar dan menjadi rujukan dalam penulisan –khususnya tentang sejarah Gayo –yang mendapat izin dari Departemen Pendidikan & Kebudayaan RI untuk diterbitkan, supaya dinyatakan tidak sah untuk dijadikan sebagai rujukan sejarah Gayo dalam penulisan Disertasi, Tesis maupun Skripsi di semua Institusi pendidikan. Untuk seterusnya melarang buku tersebut diedarkan dan disimpan di Perpustakaan negara Indonesia, sebelum dilakukan revisi; oleh sebab ianya sangat berlawanan dengan fakta sejarah Gayo yang sebenarnya.
Gagasan
Pemerintah Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara diharapkan bersedia memfasilitasi sebuah forum ilmiah –Seminar atau Simposium –dengan menghadirkan Dr. Zulyani Hidayah, penulis Ensiklopedi Suku Banga di Indonesia, yang bertujuan untuk mengklarifikasi dan sekaligus mengeluarkan rekomendasi bantahan kepada Dr. Zulyani Hidayah, berhubung tulisannya dalam Ensiklopedi Suku Banga di Indonesia –khususnya tentang sejarah suku Gayo– yang dinilai kontroversi dan melampirkan rekomendasi tersebut kepada Kementerian Pendidikan & Kebudayaan RI, dengan menyertakan tulisan ini.
Wallahu a’klam bissawab!
[1] Denys Lombard, 1986, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Balai Pustaka, Jakarta.
[2] Sebutan ’Asyi’, diabadikan menjadi nama Konstitusi Aceh, yaitu ’Qanun Al-Asyi’ (Meukuta Alam), tidak disebut Qanun Aceh, yang bermula sejah Sultan Ali Mughayatsyah yang memerintah (1511-1530).
[3] Yusra Habib Abdul Gani, 2016, Sejarah Perjuangan Mendaulatkan Negara Islam Aceh 1873-2005, Tesis yang dipertahankan pada FSSK, Universitas Kebangsaan Malaysia.
[4] M. Adli Abdullah, 2011, Sejarah “Asal Mula Bangsa Aceh”. Aceh Zone. Aceh News & International online, 22. 2011, dikutip dari Catatan Affan Jamuda dan AB. Lilawangsa, Pelajaran Mengenal diri-sendiri. Pidie: Angkasa Muda, 2000.
[5] Dr. Mohd Harun, 2009, M.Pd. Memahami Orang Aceh, Citapustaka, cetakan pertama Media Perintis. HM. Zainuddin, 1961, Tarich Aceh dan Nusantara.
[6] Gorge Samuel Windsor Earl. “Journal of The Indian Archipelago and Eastern Asia” (JIAEA), Vol. IV, hlm. 66-74, 1850.
[7] Ibid. Hlm. 71
[8] James Richardson Logan, “Journal Of The Indian Archipelago and Eastern Asia” (JIAEA), Vol. IV. Article: “The Ethnology of the Indian Archipelago”. hlm 254.
[9] Henry Kissinger, 1969, Nuclear Weafons and Foriegn Policy, hlm. 256.
[10] Kekeberen adalah sama dengan Hikayat dalam sastera Melayu dan sastera Aceh, dimana penutur mengisahkan sejarah Gayo dalam bentuk cerita (Kekeberen) secara turun-menurun tanpa ditulis, karena memang tidak tersedia kertas pada masa itu. Tujuannya untuk menghindari punahnya fakta sejarah yang berlaku.
[11] Tengku Ilyas Leubé, 1975, Ceramah Tentang Sejarah Asal-Usul Gayo di depan komunitas orang Kenawat yang menetap di Jakarta.
[12] Selintang Batak Sebujur Aceh. Artinya, adanya ikatan atau pun hubungan persaudaraan antara orang Gayo dengan orang Batak dan Aceh. Ikatan persaudaraan ini dijadikan sebagai alasan yang sah bahwa hubungan tersebut merentang ke sebagian wilayah Sumatera –daerah Batak dan Aceh, namun tidak berarti kerajaan Linge memiliki kuasa dan berdaulat ke atas wilayah Batak dan Aceh.
[13] Domenyk Eades, A Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatra, Gayo belongs to the Malayo-Polynesian branch of the Austronesian family of languages. Malayo-Polynesian languages are spoken in Taiwan, the Philippines, mainland South-East Asia, western Indonesia…” (Eades 2005:4)
[14] Pada tahun 1950-an, suku Batak Karo sejumlah 1500 orang, telah di-Islam-kan oleh Tengku Ilyas Leubé. Untuk meluahkan rasa syukur –dari penganut ’Pelbigu’ (ajaran animisme) kepada agama Islam, maka oleh masyarakat Batak Karo, Tengku Ilyas Leubé dinobatkan menjadi Raja Linge yang ke-18 yang dimeriahkan dengan pemotongan hewan Kerbau sebanyak 18 ekor. Kini, Bawar raja Linge yang disandang oleh Tengku Ilyas Leubé masih disimpan oleh keluarga Adri Istanbul Lingga Gayo, Tigabinanga, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Testimoni atau tausiah sejarah yang disampaikan oleh Tengku Ilyas Leubé di depan masyarakat Kenawat. (tahun?).
[15] Merah Mege adalah anak lelaki bungsu dari tujuh bersaudara, keturunan langsung dari Muyang Mersa, yang merupakan keturun langsung dari Malik Malik Ishaq –pendiri Kerajaan Malik Ishaq– pada 337 Hijriyah/988 Masehi.
[16] Kuburannya Merah Jernang tertelak di Kampung Seunagan, terletak di daerah Aceh Barat.
[17] Merah Silu ini mempunyai seorang putera bernama Merah Sinabung (Merah Sinôbông), yang memiliki perwatakan keras. Beliau merantau ke daerah Jeumpa dan Samalanga. Dimaklumkan, Raja Jeumpa akhirnya menikahkan puterinya dengan Merah Merah Sinôbông. Dari pasangan inilah menurunkan dua orang anak lelaki bernama Malik Ahmad dan Merah Silu. Setelah Merah Sinôbông wafat, maka Malik Ahmad dinobatkan menjadi Raja Jempa; sementara Merah Silu yang dikenali sebagai seorang ’alim, dinobatkan menjadi Raja Pasé pertama, yang kemudian lebih dikenali Sultan Malikus Saleh yang memerintah selama lebih kurang 29 tahun (1297-1326 M).
[18] Kerajaan Linge adalah sebuah Kerjaaan kuno di Aceh. Kerajaan ini terbentuk pada tahun 416 H/1025 Masehi) dengan raja pertamanya adalah Adi Genali, bertepatan dengan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan (Sultan Peureulak) yang memerintah (1023-1059). Korelasi tahun antara masa pemerintahan raja Linge dengan kesultanan Peureulak adalah penting, karena anak sulung raja Linge –Merah Johansyah– dididik di Dayah di daerah Bayen, Peureulak di bawah bimbingan Sjèh Abdullah Kan’an, yang seterusnya membebaskan beberapa kerajaan kecil di Aceh Besar dari penguasaan rezim Putroe Neo Niang (1205).
Penyelenggaraan roda pemerintahan Kerajaan Linge didasarkan pada Konstitusi yang terdiri dari 45 pasal menggunakan bahasa Gayo yang ditulis dalam huruf jawi (arab) dirumuskan pada tahun 1115 M oleh para ulama dan pemimpin masyarakat di lingkungan Istana Reje Linge Umah Pitu Ruang. Naskah 45 pasal adat Nenggeri Linge tersebut disimpan oleh Reje Asa yang bergelar Reje Kul (saudara sebapak dengan Raja Lingga XVIII). Naskah tersebut telah disahkan sebagai aturan adat oleh Residen Aceh dan Asisten Residen Aceh Utara tanggal 19 Agustus 1940 –waktu itu, sesuai Keputusan Pemerintah Aceh (pendudukan Belanda) Nomor 47 Tahun 1916, tanggal 8 Januari 1916 bahwa Tanoh Gayo termasuk dalam Afdeling Aceh Utara.
[19] Periode (1000-1250 M) dalam Dynasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah periode ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), pada masa itu mengalami disintegrasi, disebabkan oleh kebijakan yang lebih berorientasi kepada pembangunan peradaban dan kebudayaan Islam daripada mengedepankan isu pengukuhan kekuasaan politik dan penaklukan wilayah. Hal ini ditandai dengan lepasanya beberapa Provinsi dari kedaulatan Bani Abbasiyah yang melancarkan perlawanan dan berhasil membebaskan diri.
Disintegrasi tersebut sudah pun berlaku di penghujung zaman Bani Ummayyah, yang dilancarkan oleh aktivis Bani Abbasyiah. Sementara itu, umat Islam berada di bawah penguasa Rum beragama Nasrani, yang wilayah kedaulatannya terbentang dari Turki hingga ke wilayah Jordan, Siyra dan Suriah sekarang ini. Pada periode (1000-1250 M) ini memang kekhalifahan Islam dalam keadaan krisis, ditambah lagi dengan tekanan-tekanan dari penguasa Rum.
Ady Genali yang berada di wilayah Turki di bawah kuasa kerajaan Rum, tidak melakukan perlawanan di negerinya, akan tetapi hijrah ke Pulau Ruja, tepatnya ke Buntul Linge dan bersamaan dengannya mendirikan kerajaan Linge pada 1025 Masehi. Sementara itu, bumi Konstantinople-Byzantine baru ditakkukan oleh pasukan Muahammad Al-Fateh pada 19 April 1453, sekaligus menukar nama pusat Konstantinople kepada Islambol (Bandar Islam). Kemudiannya, dirubah oleh Kemal Fasha Attathur kepada Intanbul pada tahun 1924.
[20] Testimoni Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta –Raja Cik Bebesan– dan Zainuddin keturunan dari Raja Kejurun Bukit. Kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di wilayah berdaulat masing-masing di era kolonial Belanda.
[21] Luqman Hakim Gayo, 2012, Dua Kerajaan Besar di Tanah Gayo, Lintas Gayo, 21 February 2012.
[22] Asyariadi, SE, MBA, 2008, Linge Ku Sayang Linge Ku Malang, Sebuah Kisah Sejarah Kerajaan Ling, penerbit Qinara.
[23] Dr. Zulyani Hidayah, 2011, Ensiklopedi Suku Banga di Indonesia, hlm. 123.
[24] Ibid, hlm. 123.
[25] Tengku Ilyas Leubé adalah seorang Ulama dan pakar sejarah Gayo berasal dari Kampung Kenawat, Aceh Tengah. Di antara dokumen penting yang sempat diselamatkan adalah rekaman suara beliau dalam bentuk casssette yang mengisahkan sejarah asal-usul Gayo, Kerajaan Linge dan Hubungan Gayo dengan Batak Karo.
[26] Testimoni Tengku Ilyas Leubé di depan majlis pertemuan orang Kenawat di Jakarta, 1975.
[27] Yusra Habib Abdul Gani, 2016, Sejarah Perjuangan Mendaulatkan Negara Islam Aceh 1873-2005, Tesis yang dipertahankan pada FSSK, Universitas Kebangsaan Malaysia.
[28] Ibid, Tesis Yusra Habib Abdul Gani. (sumber FB penulis tesis)