Bagaimana Relasi Sosial Suku Gayo dengan Suku Pendatang ?

Gayo adalah nama sebuah suku berpopulasi kecil yang mendiami sebuah wilayah bernama Tanoh Gayo yang terletak di pedalaman Aceh.

Tidak banyak orang luar Aceh yang mengetahui keberadaan suku ini dan juga wilayah yang ditempatinya. Di Medan, ada sebagian orang yang mengetahui keberadaan Gayo, tapi lebih jauh ke timur orang-orang umumnya sudah tidak tahu lagi.

Gayo adalah salah satu dari sekian suku minoritas di provinsi Aceh. Yang hidup berbagi wilayah dengan suku Aceh yang mayoritas.

Di Tanoh Gayo (Khususnya di Aceh Tengah dan Bener Meriah), suku Gayo hidup berdampingan dengan etnis-etnis lain yang merupakan pendatang. Secara garis besar para pendatang ke tanoh Gayo umumnya adalah suku Aceh, Jawa, Minang, Tionghoa dan beberapa etnis lain yang jumlahnya tidak terlalu signifikan.

Suku Aceh dan suku Gayo memiliki satu kesamaan, yaitu sama-sama penganut Islam fanatik. Dalam pengertian identitas suku dan agama tidak dipisahkan, kurang lebih mirip dengan pola identitas kultural orang Bali yang melekat dengan Hindu. Artinya, baik orang Aceh maupun Gayo, hanya akan dianggap sebagai orang Aceh atau orang Gayo, kalau mereka beragama Islam. Orang Aceh atau orang Gayo yang keluar dari Islam (meskipun ada, tapi jumlahnya sangat sedikit sekali) tidak lagi dianggap sebagai orang Aceh atau orang Gayo. Dan sebagai konsekwensinya, orang yang keluar dari Islam ini dibuang alias tidak akan lagi diterima di masyarakat ini.

Di luar kesamaan agama ini, sulit mencari persamaan lain antara kedua suku ini. Secara fisik, orang Gayo berbeda dengan orang Aceh. Bahasa sangat berbeda, malah akar bahasanya pun tidak sama. Jarang sekali ada orang Aceh yang bisa berbahasa Gayo dan sebaliknya, jarang sekali ada orang Gayo yang lancar berbahasa Aceh. Cara hidup orang Gayo juga berbeda dengan orang Aceh. Orang Aceh yang mendiami pesisir Aceh, meskipun juga bertani tapi umumnya cukup terbiasa untuk berdagang. Orang Gayo sebaliknya, suku ini adalah suku petani dan tidak biasa berdagang.

Perbedaan-perbedaan ini membuat pola relasi antara Aceh dan Gayo tidak bisa dikatakan akrab dan menyatu. Sebagaimana layaknya relasi antara suku Karo dan suku Batak di Sumatera Utara atau relasi antara suku Madura dan suku Jawa di Jawa Timur.

Hubungan yang tidak akrab dan menyatu ini bisa dilihat dari fakta. Bahwa meskipun secara geografis, Aceh dan Gayo tinggal berdekatan dan sama-sama menganut Islam. Kemudian tidak sedikit orang Gayo yang tinggal di wilayah Aceh juga sebaliknya tidak sedikit pula orang Aceh yang tinggal dan bekerja sebagai pedagang di Gayo. Tapi jarang sekali terjadi hubungan perkawinan antara kedua suku ini.

Untuk di wilayah Gayo sendiri, di samping tentu saja adanya faktor-faktor lain. Sangat mungkin besar hal ini disebabkan oleh perbedaan profesi yang membuat perbedaan karakter antara orang Gayo dan orang Aceh.  Dalam proses jual beli Orang Aceh sebagai penjual dan orang Gayo sebagai konsumen, tentu berada dalam posisi berhadap-hadapan. Situasi seperti ini tampaknya terbawa ke dalam cara pandang secara umum kedua etnis ini dalam keseharian. Sehingga dalam pergaulan sehari-hari, meskipun tentu saja ada beberapa pengecualian. Tapi secara umum sulit bagi orang Aceh dan orang Gayo untuk bisa berkomunikasi dalam empati yang sama.

Saya berpikir faktor profesi ini memiliki pengaruh besar dalam membentuk pola relasi antara Aceh dan gayo ini, karena saya juga menemui cara pandang orang Gayo yang seperti ini juga berlaku terhadap etnis Minang, yang sebagaimana halnya etnis Aceh, mayoritas adalah pedagang.

Sehingga meskipun masyarakat kedua etnis ini sudah puluhan tahun menetap di Gayo. Sampai hari ini, dalam pergaulan sehari-hari, kita masih melihat adanya jarak psikologis dalam pergaulan keseharian antara orang Gayo dengan orang Aceh dan Minang.

Oleh orang Gayo, sikap pribadi orang Aceh dan orang Minang yang umumnya lebih percaya diri, seringkali dianggap sebagai sikap yang sombong.

Sehingga bagi banyak orang tua Gayo, memiliki menantu (terutama menantu perempuan) dari etnis Aceh atau Minang, sering dianggap sebuah ‘musibah’. Meskipun ketika pernikahan sudah terjadi, seringkali apa yang terjadi tidak seburuk yang dibayangkan. Tapi sebelum pernikahan itu terjadi, biasanya sikap defensif akan muncul di keluarga pihak laki-laki.

Jarak psikologis yang lebih lebar terdapat dalam hubungan sosial antara etnis Gayo dan Etnis Tionghoa. Ini disebabkan, selain perbedaan profesi, jarak psikologis yang lebih besar antara etnis Gayo dengan etnis ini tercipta karena perbedaan agama. Sehingga mayoritas etnis Tionghoa di Gayo, seperti hidup di dunia sendiri. Hanya beberapa gelintir dari mereka yang bisa menyatu dengan orang Gayo. Dan biasanya ini terjadi karena pilihan bisnisnya yang mengharuskannya banyak bergaul dan bicara dengan pelanggan. Misalnya sebut saja bisnis warung kopi.

Meski tidak separah yang terjadi dengan etnis Tionghoa. Dalam hubungan sosial antar masyarakat di Gayo, jarak psikologis yang lebar juga tercipta antara orang Gayo dengan etnis-etnis lain yang tidak beragama Islam. Meskipun mereka bukan pedagang.

Tapi jarak psikologis dengan kalau etnis-etnis yang secara umum dikenal bukan penganut Islam itu langsung luruh, kalau mereka memutuskan untuk masuk Islam. Di Takengen, orang Batak bahkan orang Tionghoa yang memutuskan memeluk Islam. Biasanya langsung dirangkul oleh masyarakat dan diperlakukan layaknya orang Gayo saja.

Dari semua etnis pendatang yang ada di Gayo. Hubungan paling akrab terjadi antara etnis Gayo dengan etnis Jawa.

Mayoritas etnis Jawa yang bekerja sebagai petani, sebagai mana layaknya orang Gayo. Ketika berhadapan dengan etnis Aceh atau Minang yang pedagang. Gayo dan Jawa berada di posisi yang sama sebagau pembeli. Situasi seperti ini menciptakan perasaan senasib yang membuat komunikasi antara orang Gayo dan orang Jawa berlangsung dengan lebih berempati. Karakter orang Jawa yang lebih suka mengalah untuk menghindari konflik, membuat orang Gayo semakin nyaman berinteraksi dengan mereka. Ada banyak orang Gayo yang bisa berbahasa Jawa dan juga sebaliknya, ada banyak sekali orang Jawa yang fasih berbahasa Gayo. Hubungan yang seperti ini membuat jarang sekali terjadi konflik antara etnis Gayo dan etnis Jawa.

Indikasi harmonisnya hubungan ini bisa dilihat dari kenyataan banyaknya terjadi hubungan pernikahan antara kedua suku ini. Kalau mendapatkan perempuan etnis Aceh atau etnis Minang sebagai menantu, biasanya sangat dihindari oleh calon mertua Gayo. Sebaliknya dengan perempuan etnis Jawa. Karakter perempuan Jawa yang penurut, rajin bekerja  dan tidak banyak tuntutan. Membuat etnis Jawa baik perempuan maupun laki-laki menjadi calon menantu favorit bagi para calon mertua Gayo.

Hubungan harmonis antara suku Gayo dan suku Jawa ini sempat rusak semasa konflik berkecamuk di Aceh.

Tapi kalau kita amati dengan baik. Rusaknya hubungan harmonis antara suku Gayo dan suku Jawa ini tidak terjadi secara natural, melainkan karena provokasi dari luar. Yaitu kedua fihak yang berkonflik.

Masa konflik adalah masa propaganda. Propaganda dalam masa konflik ini seringkali diakukan atas dasar generalisasi. Tidak berdasarkan atas realitas yang terjadi di lapangan.

Begitulah relasi sosial orang Gayo di Aceh Tengah dan Bener Meriah dengan suku-suku pendatang, berdasarkan atas pengamatan pribadi saya dengan segala keterbatasan yang saya punya.

Saya menuliskan ini sama sekali bukan bermaksud untuk membangkitkan sentimen dan rasa superioritas kesukuan. Tapi sebaliknya, ini saya maksudkan untuk lebih mengenal diri sendiri dan orang-orang yang hidup berbagi tempat dengan kita.

Harapan saya, mudah-mudahan ke depannya. Ada ahli ilmu sosial di Gayo yang mau serius meneliti masalah-masalah ini, dengan metode penelitian yang benar. Supaya hal seperti ini bisa dijadikan sebuah kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Yang pada akhirnya akan membantu kita agar tidak terjatuh dalam pandangan stereotip dalam menilai orang-orang dari suku lain yang tinggal bersama dengan kita di sepotong tanah yang sama. (Win Wan Nur)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. assalam mu”alaikum..masalah sangat buruk jika diketengahkan….karena allah jalla wa “ala memerintahkan…wa” tasimu bi hablillah..walaa tafarraqu..(berpegang teguh pada tali agama Allah(bukan adat ,etnis,atau bahasa)dan jangan berpecah belah…naif sekali..jika pemerhati sosial negri yang kucintai ini yang mayoritas muslim..menjadikan adat,etnis sebagai simbol yang hakiki …masya allah..kembalilah kejalan rabb mu yang meridhoi islam sebagai agama mu!!!!!

  2. perkenalkan gerelku yudi,ma’af mulo pak asry kamal,nume male nong memihak ku pak,win wan nur,memang imasa bapak tareng itakegon keharmonisan antara suku gayo orom suku pendatang terjalin keharmonisan itu,tapi besiloni ku engon fakta dilapangan jarang skali suku pendatang ni mera ber adaptasi di segi bahasa,sara contoh nong mekat i kute takingen tape setiap aku bertransaksi,baik suku jewe,acih,cine,padang dll,yang kudemui hanya urang jewe mayoritas sipas berdialog gayo walau pe cakah,ike silen ari jewe minoritas,sebagai contoh nong ara teknisi wan usaha,ara si urang jewe,aceh,arab padang,tape urang jewe orom urang arab ni we silepas berdialeg urom aku berbahasa gayo, sementara aceh urom padang ni gere lepas,dan dele juga kudemui dilapangan haya beberapan persen saja,dan ma’af pak asry ike sile’n ari jewe,sukuisme itu memang ara,nong seorang perantau keluraga kami dele iperantawan tape isihen kami taring kami menjunjung dan mera ber adaptasi urom daerah si kami taring,pada umum nya urang gayo simerantau pada umum me 3tun nge menguasai bahasa daerah setempat.jadi nong berkesimpulen bahwa urang gayo sangat bertoleransi sehinga bukan pemuda gayo gere mera ber bahasa gayo tapi untuk menghargai suku lain sehinge bahasa gayo enge jarang ipergunen dan mereka mempergunakan bahasa pemersatu bangsa bahasa indonesia.wasalam

  3. Tanggapan Tulisan Win Wan Nur Bagaimana Relasi Sosial Suku Gayo dengan Suku Pendatang ?
    Membaca tulisan dari saudara Win Wan Nur ( Maaf saya menyebutkan nama Penulis ) dengan Judul “ Bagaimna Relasi Sosial Suku Gayo dengan Suku Pendatang ? “ sangat menarik untuk menelaah atau mengkaji dan meng analisa kebenaran yang sesuai dengan kondisi yang actual maupun yang saya alami semenjak lahir di Takengon (aceh Tengah).
    Sebelum saya mengupas, menelaah dan mem verifikasi isi dari tulisan tersebut, sesuai dengan Fakta sebagai pelaku dan Pendatang kelahiran Takengon dan keberadaan Suku pendatang di Tanah Gayo terlebih dahulu saya memperkenalkan diri saya agar dapat di pertanggung jawabkan dan jelas identitas saya.
    Nama saya Asry Kamal lahir di takengon tempat tinggal sewaktu di Takengon di Kampung Baru, sekolah SDN-2 (tamat 1971), SMPN-1 (tamat 1974), STMN-1 (tamat 1977), melanjutkan Kuliah di Jakarta, bekerja dan bertugas di hampir seluruh Indonesia daerah operasi Oil & Gas, Sejak Tahun 2008 di tugaskan di Lagos Nigeria (West Africa) terakhir pulang ke Takengon tahun Sep2007.
    Dari identitas saya diatas praktis saya meninggalkan Takengon sudah 37 tahun, asli orang tua saya Padang (minang) konon kabarnya orang tua menetap di Takengon sejak tahun 1940 ( tapi bahasa Gayoku gere ilen lupe dan ike I ajak becerak boh mi aku leweni ).
    Maksud dan tanggapan saya terhadap tulisan sdr Win Wan Nur (Sebelume aku muniro maaf ku ko boh Win) tidak ada maksud lain hanya semata untuk meng koreksi kebenarannya dan mem verifikasi apa yang saya alami saat masih kecil dan beranjak dewasa selama tinggal di Gayo.
    Boh mi aku gunei orom bahasa gayo sebagai bukti pendatang kelahiran Takengon aku ngok ber bahasa gayo dan dalam tangapan ini aku gere membahas Agama sebab agama orom orom ber Agama Islam si pendatang (Aceeh,Minang/Padang dan jewe) terkecuali cine.
    Sebenare takengen I toyoh tun 1985 hubungan social pendatang orom urang asli Gayo cukup harmonis gere ara kecemburuan social, gere ara istilah he oh we urang cine, jewe, padang dan len ne baik I tingket kalangan toyoh maupun tingket atas bewene menyatu saling ber interaksi antara suku pendatang orom penduduk asli saling isi mengisi dan saling butuh membutuhkan, gere ara mencuat perbedaan lagu tulisen sudere te Win Wan Nur seakan akan ara jurang pemisah antara suku asli Gayo dan Suku Pendatang (kurang harmonis).
    Pada dasare etnis Pendatang dan asli etnis Gayo hidup ber dampingan gere ara ilen aku penge ara benturan antara etnis pendatang orom Suku Asli Gayo, gere lagu I len daerah sering ara bentrokan.
    I takengen sangat mudah mengengon social dan budaya masing masing etnis si ara menduduki dataran tinggi Gayo si saling hidup berdampingan.
    Cume si membedakan owe urang sana, ara ciri khas ter sendiri sebagai contoh :
    • Jema Cine buete ( si utama uke Toko mulai agent rokok, kelontong, kacamata, emas, besi pecah belah, Tukang kayu perabotan, warung Kupi dan lene) cume ike cine gere ara sarape jadi Guru/PNS.
    • Jema aceeh buete ( si utama uke kios/toko rempah2/engut masin, warung nasi, kede kupi dan sebagian toke kupi/bako, kede kupi dan sebagian guru/PNS)
    • Jema Jewe buete ( si utama Petani I blang golo, blg mancung, pondok baru, simpang tige Bener Meriah), sebagian guru/PNS
    • Jema Minang buete ( si utama uke kios/toko Juel opoh, tukang jet, tukang cendol, pengepul barang bekas (tengaha gerale Bang Apolo), kelontong dan sebagian guru/PNS dan menyebar lain profesi)
    • Jema gayo menyebar buete hamper I segala sektor mulai anan-anan juel jantar, juel oros, sawah ama-ama uke toke kupi/bako (aman Sabun, aman Kuba dll), juel opoh, petani Guru/Pns sampe GAYO-1 (Bupati).
    Tarange/umah pendatang pe ara lokasi ter sendiri dan membaur orom urang Gayo contoh :
    • Urang cine tarenge Jl.Putri Hijau, Sudirman, malen Dewa dan kampong Cine
    • Urang Aceeh tarenge I asir asir, kampong baru dan tetunjung
    • Urang Jewe tarenge Blang Kolak sara dan Belang kolak roa ike petani menyebar I kumpung2
    • Urang Minang tarenge I Kampung Baru, Bale atu, tetunjung dan asir asir sebagian I simpang tige, pondok baru dan angkup
    Sen ni aku akan membahas kebenaran dan verifikasi tulisan Win Wan Nur, memang ara sebagian kebenaran e.
    Kebenaran si aku akui dalam tulisan sudere Win Wan Nur (Jarang sekali ada orang Aceh yang bisa berbahasa Gayo) ike urang aceeh gere mera bahasa Gayo ike melayani sape ike membeIi I kede ee, malah mejen urang gayo si menyesuaikan diri ike membeli atau gunei dalam Bahasa Aceeh ( Kebalek seharus e urang Aceeh si harus ngok ber bahasa Gayo ).
    Betul tulisan sudere Win Wan Gayo (Hubungan yang tidak akrab dan menyatu ini bisa dilihat dari fakta. Bahwa meskipun secara geografis, Aceh dan Gayo tinggal berdekatan dan sama-sama menganut Islam ). Dan (secara umum sulit bagi orang Aceh dan orang Gayo untuk bisa berkomunikasi dalam empati yang sama).
    Pengalaman ku sekulah I Banda seakan akan ike kite asal ari Gayo warga aceh kelas roa padahal guru guru nge mulai ara si munajar urang asal Gayo, pandangan jema aceeh terhadap urang Gayo sangat sekeptis, oya pudaha entah sana penyebab ee.
    Dalam tulisan sudere Win Wan Nur ( faktor profesi ini memiliki pengaruh besar dalam membentuk pola relasi antara Aceh dan gayo ini, karena saya juga menemui cara pandang orang Gayo yang seperti ini juga berlaku terhadap etnis Minang, yang sebagaimana halnya etnis Aceh, mayoritas adalah pedagang. Sehingga meskipun masyarakat kedua etnis ini sudah puluhan tahun menetap di Gayo. Sampai hari ini, dalam pergaulan sehari-hari, kita masih melihat adanya jarak psikologis dalam pergaulan keseharian antara orang Gayo dengan orang Aceh dan Minang ).
    ( Oleh orang Gayo, sikap pribadi orang Aceh dan orang Minang yang umumnya lebih percaya diri, seringkali dianggap sebagai sikap yang sombong.Sehingga bagi banyak orang tua Gayo, memiliki menantu (terutama menantu perempuan) dari etnis Aceh atau Minang, sering dianggap sebuah ‘musibah’. Meskipun ketika pernikahan sudah terjadi, seringkali apa yang terjadi tidak seburuk yang dibayangkan. Tapi sebelum pernikahan itu terjadi, biasanya sikap defensif akan muncul di keluarga pihak laki-laki).
    Pandangan oya sangat sangat keliru dan gere mendasar cara pandang sudere te ini Win Wan Nur, Justru ike seni Urang Gayo jauh lebih maju ari I toyoh tun 1985, apa lagi tingkat ekonomi maupun profesi urang Gayo I atas pendatang etnis len nee.
    Tengaha si ara urang gayo jadi Kontraktor sene pe enge ber miliar seni, cube engon urang Gayo kebere alhamdulillah nge le si ber kenderaan jeroh CRV, Honda JAZZ dan lain lain.
    Kembali aku mengune orom Win Wan Nur sa I membangun pemule dan kontraktor Mesjid Raya Takengen beteh kam ke urang sana owe ?????.
    Nume mengucaki ko atau mungkin ko lupe, si membangun/kontraktor Mesjid Raya kebangaan kite owe urang cine agama e pe agama pakea umahe dekat kamar potong I tepi kali pesangan 50 meter ari dene jembatan ku asir asir ( Aku lupe gelare), oya contoh etnis pendatang saling isi mengisi.
    Pudaha urang Gayo mayoritas jadi Petani seni Urang Gayo nge mengisi segala sektor usaha pasti ara urang Gayo cube engon I pasar Inpres, Terminal dan pasar Petani enge le pelaku usaha urang Gayo apa lagi PNS dan dokter. Insinyur bahkan Prof. DR dan profesi len ne pasti ara urang Gayo.
    Kesimulan dalam pergaulan antara urang Gayo, Aceeh, Cine dan Minang/Padang hidup saling ber dampingan mulai Bupati Wahab sampe Bupati Ir. Nasararudin masih tetap berdampingan, memang orum urang aceeh agak ara tekek merasa owe leen ari etnis len ne atau Gayo.
    Ari Perkawinan Antara etnis Gayo dan pendatang ini pe pengamatan dan tulisan sudere Win Wan Nur Sangat bertolak belakang orom fakta yang sebenare, engon contoh sangat le urang Gayo kerje orom urang Aceh, Jewe, minang/padang sebagian orom urang batak bahkan orom urang cine.
    Ike male engon mien Bupati alm Nurdin Sufie kerje orom ibu Fatma ( owe urang Minang/Padang ) lee yoh urang Gayo kerje orom urang pendatang bahkan sudere ku pe ara kerje orom urang Gayo.
    Tengah aku kucak I ke reraya kami urang padang ngetos Lemang juleni kubiak kami I asir asir ara roa keluarga urang Gayo dan I balase orom Lepat Gayo ini contoh bahwa pendatang dan asli Gayo hidup ber masyarakat dan per gaulan sehari hari e nge terjalin dan terbina begitu mendasar nge I rentes orum si tue tue.
    Contoh len ne engon Tgk. Ali Jadun, alm. Tgk. Ali Syahbandar dan alm Tgk. Muchlis, alm Bupati Nurdin Sufie bahasa Padange sangat pane dan jeroh kalah I bandengi becerak orum aku, bahkan si tetue ni sekulah agama pe I Padang Panjang dan ara I Bukitinggi.
    Oya bukti bahwa etnis pendatang ngok ber adaptasi orom urang Gayo, baik pergaulan, ber sosialisasi, ber komunikasi orom urang Gayo nge terjalin ari pudaha dan kesan Sombong oya Gere Betul khusus ee orom urang Minang /Padang.
    Ara mien nee hana kati I tos mersah dan I beri gerale Mersah Padang ???? entah ari tun sidah I bangun aku mungkin gere ilen lahir jemaah e segala etnis imame pe alm Tgk. Muchlis, alm. Tgk. Ali Syahbandar dll ini bukti bahwa etnis pendatang dan Asli Gayo saling hormat menghormati serta istilah len ne Well Come dan ike bahasa Nigeria No Wahalla ( gere ara masalah).
    Jadi hubungan secara psikologis antara urang Gayo dan khusus ken pendatang urang Minang/Padang sangat mengandung dan berperan serta memiliki Historis si gere ngok terlupakan bagi ke roa etnis.
    Len orom urang Aceeh pake a memang ara nenos mersah gerale pe mersah aceeh I bangun sekitar tun onom sembilen dan si membangune pe ari komonitas pakea tempatte I tetunjung, sepengatahuan ku urang Gayo sangat jarang semiang I one.
    ( Dari semua etnis pendatang yang ada di Gayo. Hubungan paling akrab terjadi antara etnis Gayo dengan etnis Jawa.). dan
    ( Indikasi harmonisnya hubungan ini bisa dilihat dari kenyataan banyaknya terjadi hubungan pernikahan antara kedua suku ini. Kalau mendapatkan perempuan etnis Aceh atau etnis Minang sebagai menantu, biasanya sangat dihindari oleh calon mertua Gayo. Sebaliknya dengan perempuan etnis Jawa.)
    Ari tulisan I atas seinget ku dan sepengetahuanku gere mutlak lagu oya Urang Gayo paling akrab orom urang Jewe ( I atas nge ku uraikan) mungin I belang golo, burni bius, belang mancung, simpang tige, pondok baru, teritit dan daelah luer Takengen oya mungkin benar 100 % karena daerah pertanian kupi).
    Tapi ike I Takengen Kota paradikma oya gere ber laku sebab etnis jewe hanya sekian persen si taring I Takengen kota, karena I Takengen kota gere ara per bedaan pendatang dan penduduk local (Gayo) ike arape pada hal2 ter tentu palengge.
    Masalah kerje orom pendatang etnis Minang dan Aceeh, I atas nge ku ueti contoh2 perkawinan urang Gayo orom urang minang kebere pe seni nge le perkawinan ke roa suku, aku gere uet contoh antara urang Gayo dan urang Aceeh karana aku lupe dan kurang contoh tapi ari pudaha ara.
    Mamang I sii pee bahwa urang Jewe gere engok terbantahi oya nge karakter dan takdir ari Allah s.w.t bahwa urang jewe penurut nume I takengen tapi I belahan dunie I sii pe lagu oya.
    Kembali ku tulisan Win Wan Nur (Dari semua etnis pendatang yang ada di Gayo. Hubungan paling akrab terjadi antara etnis Gayo dengan etnis Jawa) kembali aku kupas ike kite engon dan terlepas Masa konflik atau provokasi ari fihak so ber konflik Judul ee ENGE PERNAH nge rusak hubungan harmonis antara suku Gayo dan suku Jewe.
    Gere pernah aku pengen rusak hungungan harmonis antara etnis pendatang ari Aceeh, Minang, Batak dan Cine, jadi fakta si Actual ari tulisan Win Wan Nur bahwa etnis jewe lebih harmonis orom etnis Gayo kurang mendasar.
    Sebelum aku menutup ari tanggapan tentang tulisan Win Wan Nur, seperti kite nge beteh bewene sudere2 ku atau pong2ku si nuke Web Site Lovegayo.com ini aku yakin hampir 99.99 % urang Gayo atau pernah mangan Depek dan nge rasai oros Kebayakan atau oros produksi Tanoh Gayo atau setidak2 ee nge engon atau berkunjung ku Lut Tawar.
    Sara pertanyaan ku ken sudereku Win Wan Nur I tulesen ne sesor jangut kuduk ku mubacae gere ara sarape BER BAHASA GAYO (masallah) aku sangat sangat prihaten, aku niro maaf Win Wan Nur aku yakin ko asli Urang Gayo seni aku gere beteh seni tareng I takengen atau I ranto ( ike I ranto sidah tun ko nge I ranto ? ) ike aku baru tige poluh tojoh ton narengi takengen, tapi aku bangga nulis gunei Bahasa Gayo walau aku nume asli etnis Gayo.
    Jadi sangat ber tolak belakang orom tulisan Win Wan Nur I perene pendatang gere mera ber bahasa gayo, seger mi aku niro Maaf sebagai mana aku nguke I Web site serambinews.com “Pemuda I takengon gere mera seni ber bahasa Gayo” dan len judul ee “Bahasa Gayo sekian tahun Mendatang akan Punah”, masallah mudah2an Win Wan Nur nume pelaku ee, boh entah kite ike aku minjem kata kata TUKUL mari kite ulak Galakkan Berbahasa Gayo I forum sanape sesama urang Gayo.
    Win Wan Nur sekedar Informasi Manfaat berbahasa Gayo aku nge merasakan jemen aku kuliah pudaha aku tareng orom Pak Cik ( Pak Etek dalam bahasa padang ), ike niro sen I arab ni urang umah Pak Cik, aku ni roee Bahasa Gayo baik masalah rahasie keluarga kami ber bahasa Gayo padahal Pak cik ku narengin takengen ari tun 1958 sawah seni ni kami tetap ber bahasa Gayo.baik I telephone maupun men demu.
    Boh ni keta ari tangapan ku tentang tulisan Win Wan Nur bewene aku tarik kesimpulan antara len :
    • Hubungan harmonis antara etnis Pendatang orom etnis Gayo nge terjalin baik secara Phisikologis, budaya, Bahasa, emosional dan Human relation antara Pendatang dan suku Gayo nge menyatu dan nge I rintis ari jemen Pudaha orom si tetue munginkah ari jemen aman Dimot ? perlu ahli sejarah dan cendikiawan menelitie ( maaf mungkin berlebihan pendapatku).
    • Etnis Pendatang (Aceh, Jewe, Minang/Padang, Cine dan Jewe) di sadari ataupun gere I sadari malah di akui atau tidak di akui nge le berbuet ken memajukan Dataran Tingi Gayo, termasuk memajukan pendidikan, ilmu, agama bahkan Ekonomi gere tekek andil etnis pendatang. ( terlepas aku sebagai etnis Pendatang ) se umur hidupku ulak ku Padang baru seger dan pusara urang teu kudan sudere ku pe I asir asir, ike ulak ku kampung, aku ulak ku takengen.
    • Etnis Pendatang I takengen dan asli Gayo gere pernah berbenturan antara etnis secara signifikan nume lagu daerah len ne ( gere termasuk jemen Konflik).
    • Hampir bewene pendatang ngok ber Bahasa Gayo.
    Orom kemajuan dan pupulasi penduduk I takengen seni sangat dahsyat aku harap kite bewene turah waspada dan ber empati ken serangan kemajuan sehingga mengalahkan ke aslian culture, adat istiadat, agama, bahasa dan ke aslian Gayo enti sampe ter bawa arus orom kemajuan dan populasi jumlah penduduk I takengen.
    Tanggapan tulisen Win Wan Nur ini gere ara maksud dan tujuan kun ken netos perpecahan di antara etnis I takengen maupun sentiment pribadi orum Win Wan Nur.
    Akhir kata aku niro maaf ken urang Gayo bewene khusus ken Win Wan nur.ike ara kata2 ku gere pada tempate
    Wassalam, mulake aku ken takengen

    asry.kamal@gmail.com
    (Akin Adesola FIB Bld plot 1 Lagos-Nigeria,
    Victolia Island – West Africa)