Senyum ramah penduduk yang bersua di jalan membuat rasa begitu bahagia dan damai. Di Tebuk, perempuan yang menuju ke kebun masih tampak bermen atau menggendong perbekalan menuju kebun menggunakan kain panjang.
Lagi lagi ingin rasanya memoto momen ini. Tapi , saya takut merusak suasana romantis ini dan membuat mereka kikuk. Biarlah kami nikmati pemandangan ini tanpa harus memoto. Kami mengaso sejenak.
Segelas kopi yang disimpan dalam botol bekas minuman berenergi kami tegak. Penganannya atau snacknya adalah mie lidi yang dibuat pedas. Lengkaplah sudah. Setelah makan mie yang digoreng dengan sisa minyak goreng di mulut, kemudian menyeruput kopi pahit, terasa bak meminum kopi dengan sensasi berbeda. Kopi campur minyak goreng. Saya selalu suka sensasi campuran ini.
Saat mengaso, di Minggu pagi itu penduduk tebuk berseliweran menuju kebun. Kebanyakan bermotor roda dua. Sebagian kecil mengendarai mobil. Jalanan terus menanjak hingga kami tak kuat menembus pendakian kejam ini. Kamipun turun menuntun sepeda hingga ke puncak bukit perbatasan Tebuk-Kenawat.
Di pertengahan pendakian tanpa henti ini, kami melihat pasangan muda di tepi jalan. Sepertinya pasangan suami istri . Kereta. Dalam bahasa Gayo berarti kenderaan bermesin roda dua yang mereka tumpangi, putus rantainya.
Sang suami tampak berupaya menyambungnya dengan sebuah tang di tangan kananya. Saat kami lewat, sang istri yang duduk di tanah dibelakang kereta, tampak tenang memandangi smart phonenya. Mungkin sedang melihat medsos, atau melihat sesuatu yang menarik di hpnya.
Eleh ini pak, rantenya putus, ujar sang suami kepada kami yang melintasi mereka. Saya dan Fadhil tersenyum menyapa dengan dengusan napas yang kentara karena mendaki. Sayup sayup terdengar sang suami berkata pada si istri, amat kam pe ranteni kati kusambung. Enti galep namat hp woi, perintah si suami. Aku tersenyum.
Sampai di puncak bukit di Tebuk yang berbatasan dengan Kenawat. Sajian panorama begitu memanjakan mata. Siulan burung cangciut yang mendatangi bunga bunga terasa begitu menyejukkan.
Dari puncak ini, hamparan Kecamatan Pegasing terlihat begitu kecil dengan petak petak sawah seperti bujur sangkar. Lama kami mengaso disini sambil makan pagi. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 Wib.
Kami istirahat di rumah yang dibangun seperti villa. Pemiliknya , mantan kombatan asal Kenawat, Arjua. Tak ada sang pemilik rumah. Kami berdua menempati sebuah bangunan seperti saung tanpa dinding. Dari sini, pemandangan ke segala penjuru angin terlihat jelas. Sebuah bangunan lainnya yang dibuat memiliki loteng, terlihat cerobong perapian. Ton muniru. Tempat perapian memanaskan tubuh.
Setelah makan dan tentu saja dengan perapate, kupi, saya melihat banyak sampah berserakan. Sampah bekas nasi, air mineral dan plastik lainnya. Tak elok rasanya, jika saya juga hanya menyumbang sampah disini.
Padahal tuan rumah sudah menyediakan tempat bagi siapa saja untuk rehat tanpa dipungut uang. Bebas. Saya membersihkan sampah yang berserak. Mengumpulkannya di dua titik. Tidak bersih benar. Tapi paling tidak, sampahnya yang berserak terkumpul.
Fadhil yang memperhatikanku sejak tadi , kemudian bertanya, kenapa kil membersihkan sampah tadi. Saya melihat hal serupa sering dilakukan para pecinta alam, tanya Fadhil. Bukankah pantas kita berterima kasih pada pemilik rumah ini yang telah berbaik hati menyediakan tempat. Caranya dengan sedikit berpartisipasi membersihkan sampah. Karena kita juga meninggalkan sampah, jawabku.
Bukan cari perhatian?, tanya Fadhil. Pertanyaan yang menusuk. Aku sempat kaget dan tercekat dengan pertanyaan spontan anak SMP itu. Kalau mencari perhatian, mungkin kita melakukannya di depan orang ramai. Kita melakukannya karena terpaksa dan tidak ikhlas, kataku.
Kukatakan pada Fadhil, membersihkan sampah itu perbuatan baik yang datang dari sebuah kesadaran. Kesadaran akan bahaya sampah plastik yang sulit terurai dan mencemari tanah. Pemahaman tentang pencemaran kuterangkan pada Fadhil semampuku agar dia meniru perbuatan baik itu. Aku tak memaksanya membersihkan sampah. Tapi memberi pemahaman kenapa sampah harus dibersihkan.
Kamipun melanjutkan perjalanan. Sedikit lagi mendaki kemudian mendapatkan bonus menurun hingga ke ujung Kampung Kenawat yang kesohor. Kawasan puncak ini dipenuhi tanaman kopi yang barisnya teratur berjajar dengan naungan pohon petai.
Tak ada hamparan disini. Bukit dan gunung berlapis. Bagian puncak bukit dibiarkan ditumbuhi pohon kayu yang usianya mungkin sudah puluhan tahun. Petani disini begitu paham dan tidak rakus menebangi semua pohon. (bersambung)
Terkait :
Tanah Syurga Bersepeda Jalur Tebuk-Kenawat (1)