Ini penjelasan Pemerintah Aceh Terkait Permintaan Bekas Tahanan Politik Aceh

Banda Aceh|LintasGayo.Com – Puluhan korban dan keluarga korban tahanan dan narapidana politik, berdemonstrasi di Kantor Gubernur Aceh, Rabu 21/02/2018. Mereka meminta Pemerintah Aceh memberikan hak para tapol-napol, paskadamai Helsinki 2005 lalu.

 

Abdul Karim, Staf Ahli Gubernur Aceh, yang menerima para demonstran, menyebutkan permintaan para narapidana dan tahanan politik tersebut akan disampaikan pada pimpinan di Pemerintah Aceh.

 

“Bapak gubernur sedang tidak di tempat. Apa yang menjadi tuntutan bapak-bapak semua akan saya sampaikan dan menjadi catatan prioritas kami,” kata Abdul Karim.

 

Di antara butir MoU Helsinki yang mengatur persoalan Tapol/Napol adalah: pemerintah akan melakukan upaya untuk membantu orang-orang yang terlibat dalam kegiatan GAM guna memperlancar reintegrasi mereka ke dalam masyarakat. Langkah-langkah tersebut mencakup pemberian kemudahan ekonomi bagi mantan pasukan GAM, tahanan politik yang telah memperoleh amnesti, dan masyarakat yang terkena dampak.

 

Kemudahan ekonomi tersebut berupa pemberian Dana Reintegrasi dan alokasi dana sebagai bagian dari rehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh.

Disebutkan juga bahwa pemerintah akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana memadai dengan tujuan untuk memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak. Artinya, semua mantan pasukan GAM akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja. Di antara cara mendapatkan hak tersebut adalah dengan  menunjukkan kerugian yang jelas akibat konflik di Aceh.

 

Sebelumnya, para mantan tahanan politik tersebut juga menuntut hal serupa di kantor Badan Reintegrasi Aceh. Muhammad, salah satu pimpinan rombongan, menjelaskan pihak BRA menjelaskan bahwa lembaga yang didirikan untuk mewadahi para mantan kombatan dan korban konflik tersebut, hanya punya anggaran terbatas. Di mana, seluruh alokasi dana sebesar Rp.15 miliar di BRA tidak mencukupi jika dialokasikan secara keseluruhan bagi para tahanan politik tersebut.

 

“Kami menuntut hak kami sesuai dengan apa yang telah diatur dalam MoU Helsinki,” ujar Muhammad. (Rel/Ihfa)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.