Dalam kisah tentang asal-usul Gayo, Linge mendapat tempat terhormat. Wilayah berhawa panas ini diyakini sebagai tempat awal bermukimĀ orang Gayo. Tentang hal ini bisa dilihat dari ungkapan terkenal ” Asal Linge, Awal Serule”. Kedua tempat ini berada di wilayah Gayo yang berhawa panas di tepi aliran Wihni Jemer yang secara nasional lebih dikenal dengan nama Krueng Jambo Aye yang bermuara di Pantai Timur Aceh.
Mendengar ungkapan ini tentu banyak yang berpikir kalau kedua tempat ini begitu sakral dan begitu penting dalam perspektif kesadaran kosmologi orang Gayo. Karenanya secara logika, tentu kedua tempat ini adalah dua tempat yang paling maju di Gayo.
Tapi kenyataannya, seperti Afrika yang dipercaya sebagai benua tempat asal manusia yang justru menjadi benua yang paling tertinggal dibanding benua-benua yang lain. Demikian pula Linge dan Serule dalam scope Gayo.Sampai pertengahan tahun 80-an. Linge dan Serule bersama Jamat, Pertik dan desa-desa sekitarnya hanya bisa dicapai dengan seharian berjalan kaki dari Waq, desa terdekat dari Jalan raya yang dilalui bis umum. Bahkan beberapa desa di kecamatan ini dan sebagian Belang Kejeren, yang merupakan wilayah Gayo Lues baru bisa dicapai dengan dua hari perjalanan berjalan kaki dengan resiko diterkam harimau.
Isaq kota terbesar kami, dari tahun 60-an sampai sekarang tidak berubah banyak. Dalam bukunya “Sumatran Politics and Poetics; Gayo History 1900-1989” John Bowen mengatakan, dalam masa 100 tahun, antara tahun 1881 sampai 1980 jumlah penduduk Isaq hanya bertambah 27 %.
Daerah kami mulai ramai, ketika pada pertengahan tahun 80-an, pemerintah membuka hutan di wilayah Jagong-Jeget dan kemudian dilanjutkan dengan Batu Lintang untuk program transmigrasi dari Jawa. Saat itulah kecamatan Linge menjadi ramai, tapi tentu saja semua hiruk pikuk dan keramaian itu bukan untuk kami para peternak. Semua gemerlap di tanah kami itu dihadiahkan kepada WNI asal pulau Jawa yang kesulitan lahan pertanian di daerah asalnya. Sementara kami yang secara tradisional adalah peternak cuma bisa menjadi penonton. Belakangan Jagong-Jeget dijadikan kecamatan tersendiri terpisah dari kami.
Secara jarak Takengon – Isaq sebenarnya hanya 30 KM. Jarak yang sebenarnya tidak lebih jauh dari Pondok Baru atau Lampahan. Atau kurang lebih hanya sejarak keliling danau Laut Tawar. Tapi karena dengan Takengen kami dipisahkan oleh barisan gunung tinggi bukan dataran, jarak itu seolah-olah jauh sekali dan terlupakan. Sehingga dalam diskusi dan strategi pengembangan Aceh Tengah, Isaq dan wilayah Gayo lain yang berhawa panas. Seolah dianggap tidak ada.
Dalam diskusi dan perencanaan pembangunan di dua kabupaten Gayo, Aceh Tengah dan Bener Meriah. Fokus perhatian melulu pada potensi ekonomi daerah-daerah berhawa dingin. Mulai dari pengembangan pertanian kopi, horti kultura, tanaman buah dan juga potensi perikanan di danau laut tawar. Potensi ekonomi daerah berhawa panas hampir tidak pernah disebut apalagi untuk coba dikembangkan. Daerah kami yang kaya rotan dan pohon aren tidak dianggap sebagai potensi, padahal gula merah yang kami hasilkan mungkin adalah salah satu gula merah terbaik di Indonesia.
****
Kerbau, potensi utama ekonomi kami jelas di kenal tapi hanya sebatas itu. Selebihnya sama sekali tidak ada usaha pemerintah Aceh Tengah dalam membantu mengembangkannya.
Keluarga saya adalah salah satu keluarga peternak kerbau yang telah turun-temurun mengusahakan peternakan kerbau di wilayah ini. Jadi sebagai ilustrasi bagaimana kondisi peternakan kerbau di wilayah ini, saya bisa memaparkan pengalaman saya sendiri.
Dalam usaha peternakan kerbau di wilayah ini, kami benar-benar dibiarkan berjuang sendiri. Kami mencari padang penggembalaan sendiri. Kalau ada masalah entah itu penyakit atau pencurian ternak kami juga harus mengatasinya sendiri.
Sebut saja misalnya ketika penyakit yang menyerang ternak mewabah di daerah kami. Pemerintah sama sekali tidak pernah memberi penyuluhan, peringatan, atau melakukan pencegahan dengan memberikan Vaksinasi. Informasi tentang ini harus kami cari sendiri. Beruntung, dulu saya memiliki seorang bibi yang merupakan Insinyur Peternakan lulusan Unsyiah yang bekerja di Dinas Peternakan di Medan. Jadi tiap ada wabah yang menyerang ternak di sumatera bagian utara, bibi saya yang sudah almarhum inilah yang menginformasikan kepada kami dan membelikan vaksin dan menyuntik kerbau-kerbau kami. Informasi ini kemudian kami sebarkan kepada pemilik peternakan lain di sekitar kami.
Atau ketika perusahaan HPH yang memasok kayu untuk PT.KKA, membuka banyak ruas jalan tembus ke daerah kami untuk memanen kayu-kayu pinus milik mereka. Membuat pencuri ternak jadi lebih mudah membawa lari ternak curian. Dan kami pun langsung merasakan dampaknya, karena untuk masalah itu pun tidak ada perhatian dari Pemda, sama sekali.
Ketika, rumput di padang penggembalaan kami terancam oleh munculnya sejenis tanaman perdu yang kami sebut dengan nama sesemah ulu. . Perhatian dari pemda juga tidak ada sama sekali. Padahal kami benar-benar kewalahan dan sudah kehilangan akal dengan serangan itu. Sebab tanaman ini tumbuh sangat cepat mengisi tempat yang dulunya ditumbuhi rumput. Kalau tanaman ini dibakar, mereka malah tumbuh dengan lebih cepat dan tidak lagi menyisakan ruang untuk tumbuhnya rumput. Pemerintah juga sama sekali tidak peduli dengan masalah ini.
Soal aturan di padang penggembalaan juga kami atur sendiri. Sejak zaman dulu misalnya kami memiliki aturan sendiri tentang padang penggembalaan. Di tempat ini orang dilarang bertani. Kalau ada yang membuka lahan pertanian dan karena satu atau lain hal, kerbau di padang penggembalaan masuk ke dalam lahan pertanian dan kerbau terluka, maka si petanilah yang harus mengganti kerugian. Tapi sekarang aturan yang berdasarkan tradisi tersebut sudah sama sekali tidak ada yang menghormati.
Jadi dalam urusan ekonomi ini, kami seolah adalah warga negara yang tidak memiliki pemerintah. Keberadaan pemerintah baru dapat kami rasakan ketika kami akan menjual kerbau-kerbau milik kami. Sebab saat itu, kepada pemerintah, kami harus membayar RETRIBUSI untuk setiap ekor kerbau kami.
Waktu konflik merebak usaha peternakan kami mendapat pukulan terberat sepanjang beberapa abad usaha peternakan ini. Tentara yang sewaktu konflik ditempatkan di daerah ini sama sekali tidak dibekali dengan pengetahuan tentang nilai-nilai dan cara hidup masyarakat lokal. Sehingga mereka membaca dan menilai situasi di sana dengan cara dan pola pikir mereka sendiri. Dengan cara pikir mereka, para tentara ini membuat kesimpulan sendiri dengan menyatakan bahwa kerbau yang dilepaskan liar dan tidak dikandangkan adalah kerbau liar yang tidak punya pemilik. Lalu berdasarkan kesimpulan itu, merekapun mulai menembaki kerbau-kerbau kami yang sedang asik merumput di padang penggembalaan dan dagingnya mereka jual. Rumah pertanian di lahan peternakan kami, karena tidak ditempati secara reguler. Mereka perintahkan untuk dibongkar, kalau itu tidak dipatuhi rumah itu akan mereka bakar. Alasan mereka mengeluarkan perintah ini, karena menurut mereka kalau dibiarkan seperti itu, rumah itu nanti bisa digunakan oleh GAM sebagai tempat persembunyian, padahal sepanjang sejarahnya tidak pernah ada GAM di sini. Kami juga harus menanganinya sendiri.
Untuk keluarga saya sendiri, pukulan terakhir ini terlalu kuat untuk bisa kami tahan. Sehingga kami terpaksa menjual seluruh kerbau milik kami dengan menyisakan beberapa yang dibiarkan liar agar tidak mudah ditangkap orang. Sejak saat itu usaha peternakan kerbau keluarga kami yang sudah diusahakan secara turun-temurun selama berabad-abad pun resmi KIAMAT.
Beberapa tahun belakangan ini, setelah konflik mereda. Pemda Aceh Tengah membuat proyek pengembangan peternakan di wilayah yang secara tradisional merupakan padang penggembalaan kami. Apakah ini adalah sebuah tanda bahwa pemerintah Aceh Tengah mulai bersikap adil kepada kami?.Ā Ternyata tidak, di wilayah yang secara tradisional merupakan padang penggembalaan kerbau kami ini, pemerintah membuat sebuah proyek peternakan SAPI untuk sebuah proyek transmigrasi. Akibatnya kami yang secara tradisional mencari nafkah di tempat ini terpaksa menyingkir semakin jauh mencari lahan baru. Kalau ingin melanjutkan usaha dan tradisi nenek moyang kami.
****
Dalam dinamika kekuasaan politik di Aceh Tengah. Seorang bupati dianggap adil secara sosial kalau dalam penerimaan PNS, komposisi CPNS yang diterima berimbang antara Uken dan Toa. Bupati dikatakan adil secara ekonomi kalau dalam memberikan tender proyek dia tidak melihat latar belakang kontraktornya dari Uken atau Toa, Tim suksesnya atau bukan.
Sementara proyek yang dikerjakan pun banyak yang tidak masuk akal. Sebut saja misalnya pelebaran jalan dari Paya Tumpi menuju kota takengen menjadi dua arah seolah-olah kendaraan sudah begitu padat. Seolah-olah kalau jalan itu tidak diperlebar, kemacetan tidak akan terelakkan. Di gunung Bur Gayo yang menjadi lansekap kota Takengen, dibangun jalan baru untuk menghubungkan Takengen dengan One-one dengan biaya entah berapa milyar. Padahal di bawahnya sudah ada jalan beraspal yang hanya beberapa belas menit sekali dilewati kendaraan. Jalan lain dibangun ke Pantan Terong, yang katanya untuk pariwisata. Padahal PAD dari Pariwisata tidak sampai 5 juta setahun. Panti Asuhan yang sama sekali tidak butuh gedung baru dibangunkan gedung baru dengan menjual sebagian lahannya. Dan masih banyak contoh lainnya.
Melihat banyaknya proyek-proyek yang tidak jelas urgensinya itu, seolah-olah seluruh wilayah Aceh Tengah sudah beres infrastrukturnya.
Padahal jangankan bicara infrastruktir jalan. Di wilayah Gayo berhawa panas, masih banyak desa yang masih belum menikmati aliran listrik. Jangankan listrik bahkan kebutuhan yang paling dasar SEKOLAH juga tidak jelas. Di Lane, di daerah padang penggembalaan kami misalnya. Pemerintah membangun satu gedung sekolah, tapi tidak ada gurunya. Sehingga sekolah itu tidak pernah dimanfaatkan. Di Waq, dulu saya pernah ingat memang ada satu SD. Tapi guru yang ditempatkan di sana tidak pernah ada yang betah. Sehingga yang tertinggal cuma satu orang guru yang asli berasal dari Waq, namanya Pak Aman Jaya. Sehingga di sekolah itu beliaulah yang menjadi satu-satunya guru sekaligus kepala sekolah. Padahal beliau cuma tamatan SD, sempat mencicipi bangku SMP, tapi kalau saya tidak salah beliau tidak tamat.
Jadi apa yang dimaksud keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi kami yang hidup di wilayah berhawa panas ini, sebenarnya sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh para penguasa yang tinggal di wilayah berhawa sejuk dan berpemandangan indah. Sebab sebagai Gayo pinggiran, permasalah dan kebutuhan kami memang tidak banyak dikenal.
Sejak dua periode sebelum kekuasaan dipegang oleh bupati Aceh Tengah yang sekarang. Sebenarnya Aceh Tengah sempat dipimpin oleh putra Isaq, bahkan sampai dua kali berturut-turut. Tapi kenyataan itu tidak banyak mengubah ‘wajah’ wilayah Gayo berhawa panas. Entah itu karena sang bupati sudah tidak lagi mengenal daerahnya sendiri, atau karena yang menjadi perencana pembangunan Aceh Tengah bukan hanya sang Bupati. Atau memang karena penduduk wilayah kami ini menyebar di wilayah yang terlalu luas sehingga tidak perlu diperharikan secara serius.
Atau, mungkin yang terjadi seperti komentar Quray Natureadventureculture yang menanggapi bagian pertama tulisan ini. Bahwa SIKAP TIDAK ADIL kepada minoritas atau kaum yang lebih lemah memang sudah menjadi FITRAH manusia, tidak peduli apapun suku dan bangsanya, bahkan kalau di planet lain pun ada penghuninya, juga akan berlaku hal yang sama?… Entahlah.
Yang jelas, suasana di sebagian besar desa di wilayah Gayo yang berhawa panas ini. Masih belum banyak berubah sejak zaman awal kemerdekaan hingga sekarang.
Lalu, ketika kita tidak pernah mengerti kemauan kaum minoritas di antara kita. Layakkah ketika yang berada di posisi minoritas berteriak-teriak minta dimengerti oleh Mayoritas?. Ketika ketidak adilan terhadap minoritas yang lemah, dipraktekkan secara telanjang seperti ini. Layakkah kita berteriak-teriak minta keadilan, saat orang yang lebih kuat dari kita,Ā memperlakukan kita, dengan cara yang sama seperti kita memperlakukan orang lain yang lebih lemah dari kita?…Nantikan bagian ketiga sekaligus bagian terakhir dari tulisan ini. (Win Wan Nur)