Tari Romantis Sining, Induknya Tarian Di Gayo

lintasgayo.com – Induknya tari di Gayo, merupakan tarian romantis. Tarian yang penuh harapan, tarian kasih sayang berbalut cinta. Sehingga terciptanya mahligai rumah tangga yang bahagia, memiliki keturunan yang tangguh. Sang generasi penerus mampu melanjutkan perjuangan.

Tarian untuk raja ini dan harus dipraktekan oleh mereka yang ahli, ternyata hampir punah. Terahir diperlihatkan tahun 1942, ketika Raja Syiah Utama di pinggiran Danau Lut Tawar, menyelenggarakan pesda adat “nik ni reje tiang”. Menaikan tiang utama rumah raja.

Hasil penelitian ternyata induk tari di Gayo, bersumber dari tarian romantis ini, tarian Sining namanya. Termasuk tari Guwel yang sudah membudaya, gerakanya banyak diambil dari tarian yang hampir punah, dimana kini mampu dihidupkan kembali.

Salman Yoga, peneliti tari yang hampir punah ini, ketika ditanya membenarkan tarian Sining adalah tarian dengan gerakan romantis. Bagaimana indahnya burung sejenis belibis di Gayo disebut Wo, memainkan tarian ini saat berlangsungnya perkawinan.

Di Gayo memiliki budaya tabu yang disebut sumang, makanya tarian romantis ini gerakanya sangat halus, mengandung keindahan. Salman kemudian mengajak Ana Kobath (kreograper tari), untuk kembali merekontruksi tari yang nyaris punah ini.

Tarian ini pertama sekali mereka pertunjukan kepada saksi hidup yang melihat langsung tarian itu. Arifin Banta Cut, adalah keturunan Syiah Utama. Ketika kakeknya menjadi raja, dan mengadakan upacara penaikan reje tiang ( tiang tengah rumah), Arifin saat itu baru berumur 11 tahun, namun memiliki daya ingat yang kuat.

Ketika tari ini diperagakan di depanya, di Pantan Terong pada tahun 2016, keturunan Raja Syiah Utama ini terharu dan air matanya tak mampu terbendung. Arifin Banta Cut merasa hidup kembali seperti di tahun 1942, saat dia menyaksikan kakeknya mendirikan reje tiang umah Raja Syiah Utama.

Selain Arifin Banta Cut, saat dipentaskan tarian Sining Di Pantan Terong, turut disaksikan M.Yusin Saleh dari Majelis Adat Gayo (Mango) Aceh Tengah, juga sempat diabadikan Rumah Kaca Production (RKP) Banda Aceh dalam bentuk film dokumenter.

Karena penari sining tidak ada lagi, namun Arifin Banta Cut mengakui ruh tarian itu, sudah mampu direkontruksi kembali. Kreograper alumnus IKJ jurusan tari ini bersama Salman Yoga, senantias terus menggali lebih dalam tentang tari induk dari tari yang ada di Gayo ini.

Saat penobatan Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar dan Firdaus, pada Januari 2018, Arifin Banta Cut sempat menyaksikan tarian sining untuk terahir kali. Pada ahir Juli 2018, keturunan reje Syiah Utama ini menghembuskan nafas terahir dengan usia sudah mencapai 86 tahun.

Ketika digelar pesta budaya (PKA ke-7) di Banda Aceh, tarian Sining sudah diperankan oleh dua penari, sebagai sejoli belibis Wo. Dahlan berperan aktif dalam tarian ini, karena dia memerankan Wo jenis betina dan Onot Kemara memerankan Wo jenis jantan.

Tarianya indah dan romantis, namun tidak lekang dalam tatanan budaya Gayo. Apalagi diiringi dengan musik khas Gayo, ada suling, teganing, didong, dalam tarian yang dipentaskan di panggung utama taman Sri Ratu Syafiatuddin.

Dari gerakan tarian ini, terlihat “sang bidadari” lebih selektif dalam menentukan pasangan hidupnya. Dia berhak memilih atau menolak pasanganya, dengan gerakan gerakan romantisnya. Ada kalanya Dahlan melompat, menjauh dari Onot Kemara yang berperan sebagai wo jantan.

Falsafah mendalam terkandung dalam tarian ini. Turut payu sepapah sepupu, sebegi seperange, jarakmi bele, seleseh mara. ( Seiya sekata dalam mengarungi bahtera hidup, semoga jauh dari mara bahaya, dijauhkan tuhan dari bencana).

Ketika ditanya, Salman Yoga membenarkan falsafah itu. Bagaimana sang raja menaruh harapan memiliki generasi penerus yang tangguh, cerdas, kuat, serta memiliki nurani dalam balutan iman. Sehingga dia mampu melanjutkan perjuangan orang tuanya dalam memakmurkan rakyat yang dipimpinya.

Kini tarian Sining itu mulai kembali dibudayakan, setelah pada tahun 1942 hilang dari peredaran. Falsafah tarian ini bukan hanya untuk sang raja, walau tarian ini “dikhususkan” untuk sang raja. Namun falsafah yang terkandung di dalamnya, untuk semua manusia yang menginginkan hidup damai dan sejahtera, serta mampu melahirkan generasi yang tangguh.

Pihak luar kini sudah mulai mendalami tarian Sining. Hal itu dibuktikan dengan beberapa mahasiswa dan paska sarjana yang melakukan penelitian tentang tari Sining. Semoga Sining, tarian sakral yang hampir punah, mampu dihidupkan kembali dalam budaya masyarakat Gayo. (Tim PKA AT)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.