Ketika judul tulisan ini didiskusikan dengan orang-orang yang tinggal di rumah mereka semua berpandapat bahwa judul itu sangat jelek, mereka menganggap jelek karena tidak tahu apa sebenarnya arti dari ungkapan ini. Setelah berupaya menjelaskan, bahwa makna kata âseruel katokâ bukanlah celana segi tiga (kolor) seperti yang dipahami seperti sekarang ini. Tapi yang dikatakan dengan seruel katok adalah celana pendek yang bahannya terbuat dari karet, anak-anak se usia Sekolah Dasar biasa memakainya di rumah ketika pulang sekolah.
Setelah mendapat penjelasan seperti telah disebutkan akhirnya mereka paham dan setuju dengan judul ini, diantara alasan membuat judul ini adalah karena banyak sekali istilah-istilah yang dulu pernah ada sekarang tidak dikenal lagi, banyak istilah-istilah yang digunakan masyarakat belum dikaji apa sebenarnya makna atau falsafah yang ada dibalik ungkapan tersebut. Seperti ada ungkapan ketika anak-anak sambil bermain dan latihan berbaris menyebut secara bersama-sama âkiri kanan-kiri kanan juel bako beli bananâ makna ungkapan yang tergambar dalam budaya Gayo ini belum ada yang meneliti.
Makna budaya yang terkandung dalam ungkapan âseruel katok misi tumeâ, ingin dijelaskan secara deskriptif dalam tulisan ini, tulisan ini juga belum lepas dari pengalaman pribadi sebagai anggota masyarakat yang hidup semasa antara tahun â70 sampai dengan â80-an. Kehidupan masyarakat Gayo antara tahun tersebut bahkan sebelumnya dapat dikatakan masik relatif sangat tradisional, semua tatanan kehidupan berjalan sebagaimana adanya (alami). Sehingga segala aspeknya dapat diceritakan untuk selanjutnya dijadikan tonggak, guna menuju kemajuan traspormasi nilai budaya masyarakat pembaca. Tujuannya melahirkan pengetahun tentang budaya Gayo secara menyeluruh dan dijadikan sebagai identieas diri.Â
Masih pada masa sebelum tahun 1980-an, kehidupan masyarakat Gayo masih sangat sederhana dalam segala aspek, rata-rata masyarakat hanya memiliki dua buah baju. satu baju digunakan di rumah dan satu lagi dipersiapkan untuk keperluan pergi keluar kampong. Karenanya tidak jarang seseorang selesai mandi di sungai sekaligus menyuci baju dan menunggu baju kering untuk dipakai kembali, demikian juga dengan anak-anak yang biasa mandi di sungai, Â setelah mandi langsung memakaikan baju tanpa mengeringkan badannya dengan handuk, karena memang handuk pada saat itu belum dikenal.
Setiap orang baik orang tua ataupun anak-anak pada saat mandi tidak pernah memakai sabun, baik itu sabun mandi ataupun sabun yang digunakan untuk mencuci kain. Demikian juga dengan orang tua disamping tidak memakai sabun ketika mandi, mereka menggosok gigi dengan menggunakan rumput (tetusuk) sebagai ganti sikat gigi dan odol. Baju yang dipakai, sejak dibeli sampai baju tersebut tidak dapat dipakai lagi tidak pernah tersentuh yang namanya setrika (gosoken). Karena itu tumbuhlah yang disebut dengan jamur, selanjutnya hiduplah kutu pada setiap baju atau celana yang digunakan yang dalam bahasa Gayo di sebut dengan tume.
Menurut informasi dari dari orang tua saya (ibu) dan kakak, ketika kakek masih hidupnya tume tidak hanya berkembang biak pada celana dan bajunya tapi juga bisa kita jumpai di kain selumutnya. Ini artinya tume tidak hanya hidup pada kain yang melekat di badan, bisa juga pada kain yang tidak bersih, hanya saja yang menjadi pemikiran saya dan belum terjawab bagaimana tume itu menemukan makakanan, atau mungkin karena jumlahnya begitu banyak sehingga bisa berpindah pada kain yang bersentuhan dengan kain yang biasa melekat ke badan seseorang.
Bentuk tume persis sama dengan kutu, hanya tempat hidup yang berbeda. Kalau kutu adanya di kepala (diantara sela-sela rambut), sedang tume ada di kain-kain yang selalu dipakai dan bersembunyi diantara jahitan kain tersebut. Warna juga berbeda, kutu berwarna putih sedangkan kutu berwarna hitam, keduanya mengisap darang manusia. Perkembangan tume bermula dengan nama lise (telor) selanjutnya menjadi jemét ( tume yang masih kecil) kemudian baru disebut dengan tume.
Memperhatikan upaya setiap orang untuk menghilangkan atau mengurangi populasi tume yang ada, seorang ibu pada malam hari mendekatkan celana atau rok anak mereka ke lampu teplok (lampu panyut) atau ke kayu pinus (uyem) yang telah dinyalakan. Setelah didekatkan celana, rok atau baju ke api tume merasa kepanasan dan keluar dari persembunyiannya. Tume yang bersembunyi di tulang jahitan kain tersusun dan berbaris rapi, ketika ia lari dan mencari tempat yang aman pemilik celana atau baju menangkapnya dan mengetip (tines). Jumlahnya sangat banyak dan biasanya tidak sanggup dihabiskan dalam sekali cari, terlebih lagi celana tersebut harus dipakai lagi karena tidak ada ganti.
Perlakuan serupa dilakukan pada siang hari dengan menjemur celana atau baju ke terik matahari, tume-tume yang menghuni celana berlarian mencari perlindungan pada tempat yang lebih dingin.
Pengalaman bersama kawan-kawan seusia ketika mencari burung dengan menggunakan sangkar (nama penjere), sambil menunggu burung yang liar masuk ke sangkar, masing-masing kami menjemur baju atau celana ke matahari untuk mendapatkan tume. Sekarang baru terpikir,  kenapa pada saat itu kami semua tidak merasa malu, padahal prilaku itu sebagai bukti ketidak bersihan dalam kehidupan sehari. Namun terkadang  jawabannya terlintas di benak, bahwa pada saat itu semua orang hidup dalam budaya yang sama.
Tidak juga sanggup menghabiskan tume yang berkembang biak di celana dan baju dengan mendekatkan ke lampu dan menjemurnya di matahari, maka celana dan baju itu direbus sampai semua tume dan lise dan jemét mati. Sampai suatu hari karena banyaknya tume akhirnya celana yang dipakai itu ditanam agar dapat dibeli celana yang baru.
*Pemerhati sosial, tinggal di Banda Aceh