Aceh Target Bisnis Narkoba

Bangsa Aceh adalah bangsa yang berdaulat, mereka tidak mau dijajah. Siapapun penjajah yang datang ke bumi Serambi Mekkah ini akan dilawan sampai titik darah penghabisan. Pilihanya hanya satu, lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup dijajah.

Perlawanan rakyat Aceh dalam menggempur penjajah membuahkan hasil. Peperangan panjang dan melelahkan itu, telah membuat negeri di ujung barat pulau Sumatera ini tidak mampu dijajah. Sejarah telah mencatatnya, siapapun penjejah yang datang ke bumi Aceh akan berhadapan dengan mujahid yang tangguh.

Namun kini, Aceh “rela” dijajah. Bahkan penduduk Aceh ramai ramai ikut terlibat dalam penjajahan bangsa sendiri. Walau resikonya maut dan penjera, aksi penjajahan itu tetap berlangsung sampai saat ini.

Mereka yang menjajah Aceh tidak “takut” dengan desingan peluru. Mati dihadapan regu tembak dan penjara yang makin sesak. Semakin diburu, semakin banyak yang mau melakoninya. Bahkan Aceh menjadi pintu gerbang Indonesia dalam persoalan penjajahan di masa kini.

Dampak sosial di masyarakat juga mengalami perubahan. Pencandu narkotika akan melakukan apapun upaya untuk mendapatkan narkoba. Aksi pencurian meningkat demi mendapatkan narkoba. Aceh kini sudah dikepung narkoba.

“Aceh dulu tidak suka dijajah, penjajah itu langsung hilang. Kini generasi muda Aceh dijajah narkotika. Pemakai dan pensuplai narkoba semakin banyak. Rakyat Aceh harus melawan, berperang mengusir penjajah,” sebut Masduki, SH, Kepala Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat BNNP ACEH.

Menurut Kabid Pencegahan dan pemberdayaan masyarakat Badan Narkotikan Nasional Propinsi (BNNP) Aceh ini, menjawab Dialeksis.com, sejarah sudah membuktikan, bahwa karakter orang Aceh tidak mau dijajah.

Namun kini generasi muda Aceh justru dijajah narkoba. Dampaknya sangat luar biasa. Identitas Aceh hilang. Aksi pencurian karena narkoba merajalela, saling curiga mencurigai sesama sendiri kerap terjadi.

“Orang Aceh itu, sangat memuliakan tamu, memuliakan sahabat. Mereka saling bantu membantu. Namun karena pengaruh penjajahan narkoba budaya itu mulai hilang. Orang mulai saling mencurigai sesama sendiri, aksi pencurian kerap terjadi,” sebutnya.

“Dulu bila ada anak masyarakat kurang mampu, sama sama dididik, semua masyarakat memperhatikanya. Guru sangat dihormati, ketika kita melihatnya dari jauh kita sudah menyapa dan mendekatinya, mencium tanganya. Sekarang budaya itu sudah hilang, identitas Aceh hilang karena pengaruh narkoba,” kata Masduki.

“Identitas Aceh itu harus dikembalikan, jangan mau lagi dijajah. Kini Aceh dijajah narkoba. Bila identitas Aceh yang tidak mau dijajah mampu kita kembalikan, kita akan punya penangkal yang kuat terhadap narkoba,” sebut Masduki.

Catatan Dialeksis.com, penjara penuh sesak, bahkan over kapasitas. Pemakai dan pensuplai narkoba semakin diburu, semakin banyak yang nekat melakoninya. 73.000 rakyat Aceh pengguna narkoba, khususnya jenis sabu dan ganja.

Walau tantanganya hukuman mati, menghembuskan napas terahir di ujung peluru, dan hidup dalam penjara, masih banyak orang Aceh yang mau melakukanya. Orang Aceh mati dieksekusi regu tembak bukan lagi berita yang asing didengar.

Untuk tahun 2019 ini, data yang didapatkan Dialeksis.com dari Kejati Aceh, ada 12 dakwaan jaksa yang menuntut mati “mafia” narkotika. Di Pengadilan Banda Aceh ada dua, PN Lhokseumawe 4 tuntutan dan Aceh Timur 6 tuntutan hukuman mati. Ada yang sudah diponis dan masih dalam proses persidangan.

Untuk tuntutan penjara seumur hidup ada 20 tuntutan jaksa di sejumlah pengadilan di Aceh. Ada yang sudah diponis, terhukum mengajukan banding dan ada proses persidanganya masih berlangsung.

Untuk tuntutan penjara seumur hidup ini, di PN Banda Aceh ada 6 tuntutan. Sudah divonis majlis hakim, bukan seumur hidup. Ada yang diponis 20 tahun penjara, 18, 15 tahun, namun para terhukum dikenakan denda dengan nilai yang tinggi antara Rp 2 miliar dan satu miliar, ditambah subsider berupa kurungan yang juga bervariasi antara lima dan 6 bulan penjara.

Langsa ada 5 tuntutan jaksa dan sudah dieksekusi. Aceh Tenggara ada dua kasus, kini sedang dalam proses persidangan. Bireun, satu tuntutan pidana 20 tahun, terhukum menyatakan banding. Tamiang dua tuntutan dan kini terhukum sedang dalam proses banding.

Pengguna Narkotika
Komjen Pol Heru Winarko, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI, menjelaskan, dari hasil penelitian pihak BNN, penyalahgunaan narkotika di gerenari muda meningkat. Beberapa tahun lalu persentasenya kisaran 20 persen dan sekarang meningkat mencapai 24 -28 persen.

Barang yang diharamkan negara dan agama ini, justru peminatnya meningkat, terutama di kalangan remaja milenial. Menurut Heru Winarko, kalau permintaan berkurang, tentu pasokan narkoba ikut berkurang, sehingga semakin menurunnya tingkat penyeludupan.

Bagaimana dengan penjara? Sudah menjadi fakta sejarah, penjara juga dipenuhi dengan manusia pecandu dan mafia narkotika. Empat tahun terahir, peningkatan Napi narkoba menunjukan grafik kenaikan.

Bila pada tahun 2015 hanya 63.355 Napi narkoba, namun pada tahun 2018 angkanya melonjak mencapai 115.289 (naik mencapai 82 persen).

Menurut laporan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) per tanggal 31 Desember 2018, dari total 22 UPT khusus narkotika, memiliki daya tampung 11.659 Napi. Namun faktanya napi yang masuk di dalamnya mencapai 19.993 orang, mengalami over kapasitas sebesar 71,4%.

Angka yang mengerikan, semakin hari bukan semakin berkurang namun bertambah banyak. Demikian dengan kalangan pelajar yang menggunakan narkoba (data tahun 2018) angkanya mencapai 2,29 juta untuk bumi Pertiwi.

Untuk Aceh, sebut Heru Winarko, pengguna narkotika di Aceh lebih didominasi kaum lelaki (87,13%) dibandingkan perempuan (12,87%) dengan rentang usia rata-rata antara 21-30 tahun (35,64%) dan 31-40 tahun (34,65%).

Menurut Brigjen Pol Faisal Abdul Nasser, Kepala Badan Narkotika Provinsi Aceh, pihaknya bersama BNN Pusat, dalam dua tahun terakhir ini telah menyita sebanyak 3,6 ton sabu-sabu. Dalam 1 kg sabu mampu merusak hingga 4 -6  individu. (the acehTrend, 17/10/2019).

Harga jual sabu di termurah di Aceh, mulai dari Rp25 ribu hingga Rp150 ribu. Dampaknya pengkonsumsi sabu di Aceh bukan hanya orang dewasa, namun anak anak juga sudah mengkonsumsinya.

Aceh ini sudah lampu merah narkoba, faktanya 1 dari 100 pelajar di Aceh sudah kena narkoba, dengan tingkat prevelensinya mencapai 1,7-2,2 persen.

Para bandar narkoba bisa bebas hidup bermasyarakat bahkan dianggap sebagai dermawan karena sering menyumbang dan membantu masyarakat. Hanya di Aceh, seorang ASN berani menyelundupkan sabu-sabu, sebut Faisal yang tidak menjelaskan secara rinci siapa dan bagaimana bandar narkoba itu.

Menurut Faisal, kondisi itu kian parah dengan sikap masyarakat yang apatis, sehingga narkoba marak masuk ke kampung kampung. Bahkan pelakunya ada perangkat desa yang seharusnya mengayomi masyarakat.

Pintu Gerbang Narkoba dan lemahnya Pengawasan

Mengapa Aceh ditabalkan sebagai pintu gerbang masuknya narkotika di Indonesia? Bagaimana aksi penjajahan baru di era melenial ini bisa berlangsung? Dialeksis.com meminta tanggapan, Aryos Nivada, Pengamat Politik dan Keamanan Aceh yang juga Dosen FISIP Unsyiah.

Menurut Aryos, maraknya narkoba di Aceh tidak terlepas dari jalur masuk yang sangat strategis yang menghubungkan Selat Malaka dan Samudra India, serta akses darat melalui pintu perbatasan Aceh Tenggara.

Jalur Laut, sebut Aryos, Mulai dari Seunuedon ke jalur jalur kuala, seperti Kuala Idi, kuala langsa, hingga ke aliran sungai di Tamiang.

“Penyelundupan narkoba di Aceh jika dicermati, jalur masuknya melalui jalur masuk peredaran senjata waktu konflik berlangsung di Aceh,” sebut Aryos.

Menurut lelaki yang mengenakan kacamata ini, modus dan polanya beragam. Mulai dari penyimpanan narkoba dibawah air dek kapal, melalui penyimpanan di kayu, serta sejumlah modus operandi lainya.

Aryos menilai, patroli keamanan di laut masih lemah. Sehingga mudah penyelundup memasukan narkoba ke Aceh. Intinya baik di Kepolisian Airud dan TNI, masih kurang memadai alat utama sistem persenjataan dan alat utama sistem komunikasi. Atau dibantu patroli dengan pesawat sipil yang memberikan informasi penyelundup senjata di Aceh.
Selain itu, Aryos mensinyalir, uang dari narkoba sudah ada yang memakainya untuk kepentingan politik. Namun pengamat politik dan keamanan Aceh ini, tidak menjelaskan secara rinci bagaimana dana narkoba dipergunakan untuk kepentingan politik.

Soal jalur masuk narkoba dan menjadi pintu gerbang di Indonesia, Kepala Badan Narkotika Provinsi Aceh Brigjen Pol Faisal Abdul Nasser menjelaskan lebih detil tentang peredaran barang haram itu.

Menurutnya 80 persen peredaran narkoba di Indonesia masuk melalui Aceh. Terdapat 29 jalur tikus yang tersebar di sepanjang pantai timur Aceh di jalur Selat Malaka. Jalur ini merupakan pintu masuk barang haram ini dari Eropa, Cina, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan lain-lain.

“Di pesisir timur Aceh mulai dari Pidie ke Bireuen, pantainya merupakan kedua terpanjang di dunia. Ada 29 pintu tikus yang bisa digunakan untuk menyelundupkan narkoba,” sebut Kepala BNN Aceh, Selasa (15/10/2019).

Faisal menjelaskan, jalur tikus dimaksut; Di Aceh Tamiang, di Kecamatan Seruway (Lubuk Damar, Pusung Kapai, Sungai Kuruk, dan Paya Udang). Kecamatan Bendahara (Teluk Kemiri, Paya Raja, dan Bandar Baru). Kecamatan Sungai Yu (Telaga Muku dan Bandar Khalifah), Kecamatan Manyak Payed (Raja Tuha, Ds Meurandeh, dan Sp Oyok).

Di Kota Langsa meliputi Kuala Langsa, Alur Dua (Sarah Teube, Bugem, dan Rantau Selamat). Di Aceh Timur, berada di kawasan Matang Nibong, Peureulak, Kuala Leuge, Kuala Bugak, Ame Bu Tuha, Kuala Simpang Ulim, TPI Idi Rayek, Lhongsa Madat, dan Kampung Abeuek.

Demikian dengan perbatasan Kabupaten Aceh Tamiang dengan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, juga ada dua jalur tikus, Serang Jaya Hulu dan Serang Jaya Hilir. Jalur tikus ini sebagai rute masuknya kapal kecil, yang sulit dijangkau pengawasan.

Paisal juga menjelaskan, nelayan Aceh banyak terjebak dengan sindikat narkoba. Modus penyeludupan narkoba biasanya berupa gula, bawang, kebutuhan pokok. Kapal kapal pengangkut barang ini akan dijemput oleh kapal lain, sebelum masuk ke jalur pelabuhan tikus.

Tujuanya untuk menghilangkan jejak barang titipan narkotika. Disinilah nelayan Aceh menjadi korban, dengan iming iming upah besar, sehingga tanpa disadari mereka terlibat dalam jaringan sindikat peredaran narkoba, sebut Paisal.

Berbicara tentang keamanan laut, Aryos Nivada teringat dengan tulisanya yang dimuat diberbagai media pada Juli 2017. Soal dukunganya atas niat Irwandi Yusuf untuk membeli pesawat guna menjaga dan melindungi perairan Aceh.

Karena, menurut Aryos, selain menjadi kawasan penyeludupan obat obat terlarang, jalur laut Aceh sudah berkali-kali menjadi ajang illegal fishing serta berbagai aktifitas penyeludupan lainya.

Namun rencana itu menjadi perdebatan serius di DPRA, karena pembelian pesawat itu menghabiskan biaya yang tidak kecil, sementara Aceh memerlukan dukungan anggaran yang besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kelompok yang pro sepakat dengan Gubernur Irwandi bahwa perairan Aceh perlu dilindungi. Tapi kelompok ini juga bertanya apakah pengadaan pesawat adalah tindakan yang tepat. Sebab pengawasan perairan bisa dilakukan dengan, misalnya, menggunakan drone yang memerlukan pembiayaan lebih kecil, namun dengan tingkat efektifitas yang cukup memadai.

Sampai kini pesawat itu tidak pernah terbang di perairan Aceh. Aksi penyeludupan terus berlangsung, bahkan Aceh disebut sebagai pintu masuknya narkoba di Indonesia dan angka pengguna narkoba di Aceh juga meningkat, kini mencapai 73.000.

Di lain sisi penjara juga semakin membludak, senantiasa melebihi kapasitas. Pengguna narkoba terus meningkat. Ada pendatang baru, ada juga yang memang narkoba sudah menjadi bagian dari hidupnya.

Aceh Harus Melawan

Aceh dikenal memiliki mujahid yang rela mati demi mempertahankan negeri leluhur. Rakyat Aceh tidak mau dijajah. Daripada hidup dijajah, mereka lebih mau berpisah nyawa dengan raga. Namun kini mengapa ada rakyat Aceh yang mau dijajah narkoba?

Dampak dari penjajahan itu sudah menghancurkan tatanan budaya Aceh, khusus di gerenasi muda yang menjadi sasaran. Semangat keacehan dikalangan melenial rendah. Ketika mereka terbuai dengan benda memabukan ini, mereka lupa identitas.

“Aceh harus melawan. Identitas Aceh yang luhur harus dikembalikan, jangan generasi muda Aceh dijajah oleh narkoba. Bila identitas kita mampu dikembalikan, Aceh akan mampu menangkal narkoba. Kita akan punya penangkal sendiri,” kata Masduki.

BNN Aceh, jelas Masduki, melakukan berbagai upaya dalam menangkal maraknya narkoba di generasi melenial dan berupaya menyadarkan mereka yang sudah terlanjur hanyut dalam pusaran benda mematikan ini.

Pihak BNN Aceh mengedepankan kearipan lokal. Melibatkan semua pihak. Bukan hanya membentuk organisasi mencegah narkoba, namun seluruh elemen masyarakat digerakan untuk melawan narkoba.

Pemerintah Aceh punya kekuatan untuk melakukanya, sebut Masduki. Keterlibatan SKPA yang langsung bersentuhan dengan generasi muda sangat menentukan untuk mencegah peredaran narkoba.

“Peran dinas ini sangat besar. Dinas Sosial misalnya, Dinas Pendidikan, Dayah, Dinas Olah Raga, keterlibatan mereka dalam menangkal beredarnya narkoba dan memberikan pemahaman kepada masyarakat,” sebutnya.

Berbagai kegiatan di dinas yang langsung bersentuhan dengan generasi muda dan masyarakat ini, senantiasa mengkampanyekan bahaya narkoba. Menyadarkan masyarakat yang sudah terlanjur memakainya.

“Kampanye itu tidak boleh berhenti, walau sudah diketahui bagaimana bahayanya narkoba. Seperti pasti gigi, mereka senantiasa mengkampanyekan produknya, walau masyarakat sudah mengetahui untuk apa itu pasta gigi,” kata Masduki.

Sekolah sekolah, dalam berbagai kegiatan harus senantiasa mengkampanyekan bahaya narkoba. Pihak BNN, jelas Masduki juga sangat mengharapkan kaum wanita melakukan kampanye, seperti PKK, kegiatan sosial lainya.

Demikian dengan MPU, lembaga adat dan berbagai elemen lainya, untuk senantiasa memberikan pemahaman tentang bahayanya narkoba dan harus diperangi secara bersama sama. Semua pihak harus terlibat dalam memberantasnya.

BNN sendiri, jelasnya, sudah memiliki beberapa organisasi yang aktif dan senantiasa mengadakan pertemuan untuk membahas perkembangan narkoba dan upaya upaya apa yang sudah mereka lakukan.

Organisasi itu, sebut Masduki, ada IKAN ( Ikatakan Keluarga Anti Narkoba). Generasi Aceh Anti Narkoba (GAAN), Generasi Anti Narkoba Aceh (GANA). Relawan ini tersebar di seluruh Aceh.

Relawan ini melakukan kegiatan yang bersinergi dengan berbagai pihak khususnya yang bersentuhan langsung dengan generasi muda. Misalnya mereka mengadakan kampanye di sekolah sekolah, mereka melapor ke Dispora dan Dinas Pendidikan setempat.

Kegiatan relawan memerangi narkoba ini dalam melakukan aktifitasnya senantiasa melaporkan ke Kesebangpol, agar apapun yang mereka lakukan di lapangan senantiasa ada koordinasi dan diketahui oleh pihak berwenang.

Masduki mengakui penanganan terhadap mereka yang terlanjur menggunakan obat terlarang itu belum maksimal. Rehabiltasi untuk menampung mereka yang terlanjur menggunakan narkoba belum memadai.

Masduki berkeyakinan, bila masyarakat Aceh memiliki tekad yang kuat dan mengaplikasinya dilapangan untuk memberantas narkoba, maka Aceh akan memiliki penangkal yang tangguh terhadap narkoba.

Rakyat Aceh dikenal tidak mau dijajah, namun keadaan saat ini generasi muda di Aceh dijajah oleh narkoba. Bila semangat anti penjajah itu kembali dikobarkan, rakyat Aceh bangkit melawan narkoba, peredaran narkoba di Aceh akan mampu ditangkal. Aceh akan memiliki penangkal sendiri.

Ketika permintaan narkoba meningkat, sudah pasti pemasok akan melakukan berbagai upaya untuk menghadirkanya, walau itu tantanganya nyawa dan penjara. Memutus mata rantai mafia narkoba tidaklah semudah membalik telapak tangan.

Sampai kapan narkoba menghantui Aceh dan Indonesia? Sampai kapan Aceh mendapat julukan pintu gerbangnya narkoba di bumi pertiwi ini, apakah upaya untuk menutupi celah celah itu tidak mampu dilakukan?

Bila kita punya tekad dan kemauan yang tinggi, terutama leader yang mengambil kebijakan di negeri ini, upaya penekanan jaringan narkoba mampu diminimalkan. Demikian dengan rakyat, harus bersatu memberantasnya, karena persoalan narkoba bukan hanya tanggungjawab negara saja, rakyat juga turut menentukanya.

Bila masyarakat Aceh mau berjihad memberantas narkoba, negeri ini akan mengalami perubahan, tidak lagi menjadi sarang narkoba. Apakah kita diam atau mau berjihad? (Bahtiar Gayo/Dialeksis.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.