Hari Jadi Aceh Tengah Diusul 17 Februari 1902

"kute takengen"

TAKENGON – Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah telah mengusulkan ke DPRK setempat tanggal 17 Februari sebagai hari jadi, sehingga bisa diperingati setiap tahunnya, mengingat daerah tersebut miliki sejarah yang fundamental.

Anggota DPRK Aceh Tengah, Ikhwanussufa, menyatakan Bupati Nasaruddin secara resmi telah menyurati lembaga legislatif beberapa waktu lalu yang mengusulkan hari jadi Aceh Tengah diperingati setiap 17 Februari.

Namun, ia menyatakan pengusulan hari jadi Aceh Tengah itu hendaknya didasari data dan pemikiran ilmiah dengan merunut kepada sejarah. “Penentuan hari jadi hendaknya melibatkan pakar dan data ilmiah, sehingga tidak menjadi polemik dan perdebatan di kemudian hari,” kata Ikhwan, malam ini.

Menurut dia, kini usulan Pemda tersebut sedang dibahas di DPRK Aceh Tengah bersama rancangan qanun daerah lainnya untuk disetujui dewan dan resmi ditetapkan menjadi qanun.

Menurut Zamzam Mubarak dari Linge Antara Institute, Kabupaten Aceh Tengah berdiri pada tanggal 14 April 1948 berdasarkan Oendang-oendang Nomor 10 tahoen 1948 dan dikukuhkan kembali sebagai sebuah kabupaten pada tanggal 14 November 1956 melalui Undang-undang Nomor 7 (Darurat) tahun 1956.

Wilayahnya meliputi tiga kewedanaan, yaitu Kewedanaan Takengon, Gayo Lues, dan Tanah Alas. Namun, Zamzam menyatakan lebih setuju peringatan HUT Aceh Tengah didasarkan pada lahirnya Undang-undang Republik Indonesia No.7/DRT tahun 1956, karena mempunyai legalitas yang kuat.

Dengan adanya milad Aceh Tengah, kata Zamzam, akan berdampak terhadap solidaritas tiga kabupaten, yakni Bener Meriah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara yang terbentuk dari pemekaran Aceh Tengah.

“Karena itu langkah strategis untuk menjadikan kawasan tengah provinsi Aceh sebagai pusat kegiatan nasional,” imbuh Zamzam. Selanjutnya, Yusradi Usman Algayoni, seorang sarjana Linguistik, berpendapat penetapan hari jadi Aceh Tengah hendaknya juga dilihat dari sisi ilmu linguistik.

“Seperti ilmu linguistik historis komparatif, ekolinguistik, sosiolinguistik, linguistik antropologi dan arkeologi, sehingga penetapan hari jadi benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” kata Yusradi.

Selanjutnya, staf ahli Bupati, M Syukri, juga berpendapat merujuk kepada tulisan C. Snouck Hurgronje menulis dalam buku Het Gajoland ez Zijne Bewoners diterjemahkan oleh Hatta Hasan A. Asnah menjadi “Gayo, Masyarakat dan Kebudayaannya” disebutkan Sultan Aceh pada kehadirannya yg pertama ke Tanah Gayo, telah memilih Takengon utuk tempatnya bertahan.

Kemudian waktu Col. Van Daalen pada penghujung tathun 1901 memasuki Tanah Gayo dan sampai ke Takengon, mendapati kampung ini sudah dikosongkan, semua penduduk sudah menyingkir ke Kenawat.

Ini artinya, sebelum Van Daalen masuk ke Takengon, sesungguhnya daerah ini sudah menjadi permukiman yang memiliki aktivitas perekonomian, layaknya sebagai sebuah kota.

“Lalu bagaimana menentukan tanggalnya, tinggal kita cari tanggal kedatangan Sultan Aceh ke Takengon atau merujuk sarah kata salah seorang reje oleh Sultan Aceh,” ujarnya.

Tanggal kedatangan Sultan atau sarah kata ini kemungkinan besar bisa ditemukan di Pusat Informasi dan Dokumentasi Aceh (PDIA), meski tanggal sarah kata itu bertanggal hijriyah, dengan teknologi komputer bisa dikonversi ke penanggalan masehi. “Susah memang, tapi demi sejarah, mengapa tidak kita lakukan,” ungkap Syukri.

Sumber : waspada.co.id, foto :kha

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Ini adalah usulan yang betul-betul ngaco dan nggak memiliki landasan logis apapun.

    Hari jadi Aceh Tengah ya harus setelah tahun 1945, karena Aceh Tengah baru ada setelah Indonesia merdeka dengan Abdul Wahab sebagai Bupati pertamanya.

    Tahun 1902, mana ada Aceh Tengah, yang ada di gayo itu cuma kerajaan-kerajaan kecil yang tunduk pada Kutaraja yang sudah dikuasai oleh Belanda.

    Pada tahun 1902 itu di gayo Lut saja masih ada Tiga Kerajaan Kecil, ‘Bukit’, ‘Ciq’ dan Syiah Utama.

    Bukit sendiri masih dipecah menjadi ‘Bukit’ dan ‘Gunung’

    Abdul Wahab, ketua PNI wilayah ini yang menjadi Bupati pertama adalah anak tertua dari Reje Gunung terakhir.