Pahlawan Covid-19, Bintang Jasa dari Tuhan Ada Untukmu

“Semua manusia akan mati. Kami berjuang, walau pertarungan hidup dan mati itu setipis kulit bawang,” sebut salah seorang petugas medis yang merawat pasien Covid-19.

“Kami belum tentu bisa pulang. Namun kami berjuang untuk pulang dan memenangkan peperangan ini. Kami yakini Allah maha memberikan yang terbaik dalam hidup ini,” sebut petugas medis yang enggan jati dirinya disiarkan.

“Doakan, kita semuanya selamat dan meraih kemenangan. Tidak ada manusia yang ingin terkena wabah.Apalagi seperti kami yang senantiasa berhubungan langsung dengan pasien Covid,” sebut pejuang ini.

Suaranya terdengar agak tersendat-sendat dan sedikit parau, ketika Dialeksis berbicara denganya melalui selular. Sebagai manusia yang punya keluarga, memiliki anak-anak yang butuh kasih sayangnya, tenaga medis ini sudah pasti menutupi perasaan hatinya.

Dia meninggalkan anak dan istrinya, untuk menantang maut, demi menyembuhkan manusia lainya yang membutuhkan pertolongan. Tidak ada istilah mereka lari dari pertempuran. Tugas yang diembanya harus diselesaikan.

Rindu yang berbalut cemas. Rindu ingin kembali berkumpul dengan keluarga, namun hati mereka cemas, apakah mereka selamat dalam pertempuran ini. Bisakah mereka kembali berkumpul bersama keluarga, seperti sedia kala.

Tiba-tiba penulis teringat dengan armarhum dr. Hadio Ali Khazatsin. Salah satu dokter spesialis syaraf yang mengembuskan napas terakhirnya di RSUP Persahabatan, pada Sabtu 21 Maret 2020. Pertemuan terahirnya dengan dua putri kecilnya dan sang istri di luar pagar rumah, menjadi kenangan buat semuanya.

Masa karantina dia menyempat diri melihat anak dan istrinya. Masih mengenakan pakaian APD, berbalut masker, dia memandangi anak-anak dan istrinya dari pagar rumahnya. Pertemuan itu adalah pertemuan terahirnya di bumi bersama keluarga. Setelah itu dr. Hadio gugur sebagai kesuma bangsa yang berjuang melawan Covid-19.

Foto pertemuan terahirnya bersama keluarga viral di dunia maya, nitizen menguraikan air mata diiringi doa menyertai kepergian pejuang ummat meninggalkan alam pana. Banyak kisah pilu mengiringi kepergian sejumlah tenaga medis yang gugur sebagai kesuma bangsa, saat mereka berupaya menyembuhkan orang lain dari serangan wabah ini.

Sikap jiwa besar ditunjukan Sandi Nugraha, putra dari dr Wahyu Hidayat, ketika dia mengetahui ayahnya gugur di medan juang demi menyelamatkan nyawa manusia. Sandi mengatakan kepergian ayahnya merupakan risiko pekerjaan yang harus diterima.

“Gugurnya ayah saya sebagai tenaga kesehatan itu merupakan salah satu risiko pekerjaan. Saya harapkan sesuai keyakinan agama saya, Insya Allah semua pejuang tenaga kesehatan yang meninggal, insya Allah sahid, husnulkhatimah,” kata Sandi dalam konferensi pers yang disiarkan langsung di YouTube BNPB, Kamis (9/4/2020).

Masih banyak kisah yang menitikan air mata dari para pejuang kemanusian ini. Mereka rela mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan orang lain. Namun mengapa masih ada manusia yang memperlakukan tidak manusiawi?

Taman Makam Pahlawan

Wajarkah seorang pejuang yang menggadaikan nyawa demi ummat, dinobatkan sebagai pahlawan? Bila wajar, mengapa masih ada manusia yang mengucilkanya, mengusirnya, tidak dibenarkan kembali ke kediamanya.

Bahkan ada yang tidak mengizinkan tenaga perawat dikuburkan di pemakaman umum karena merawat pasien Covid-19. Bukankah mereka sama seperti Anda, punya hati nurani, punya keluarga.

Sikap tidak terpuji dalam memberikan penghargaan kepada tenaga medis, sudah terjadi dibeberapa tempat di Bumi Pertiwi, termasuk di Aceh. Ada petugas medis di Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA), diusir warga saat hendak kembali ke indekos miliknya.

Warga untuk sementara tidak mengizinkan petugas medis tinggal di daerahnya. Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh, Syafrizal Rahman membenarkan adanya seorang petugas medis yang merawat pasien Covid-19, diusir warga.

Mereka juga sama seperti Anda, tidak mau menjadi korban amukan wabah. Namun mereka tidak lari dari wabah itu, justru menghadapinya demi menyelamatkan manusia. Sekiranya dalam pertempuran, mereka harus gugur sebagai kesemua bangsa, mereka juga tidak mau keluarganya dan manusia lainya ikut menjadi korban.

Sikap jiwa besar ditunjukan tenaga medis yang kini benar benar bertempur dan menjadi harapan manusia untuk memenangkan peperangan. Wajarkah mereka disematkan bintang tanda jasa sebagai pahlawan?

Kasus penolakan pemakaman seorang perawat di Kabupaten Semarang, membuat Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah, perasaan hati beraduk-aduk, kecawa ada sayatan mendalam di sana. Sebagai pemimpin, dia tidak ingin kasus itu terulang kembali.

Ganjar telah menyiapkan Taman Makam Pahlawan (TMP) yang ada di seluruh Jawa Tengah bagi perawat, dokter dan tenaga medis yang meninggal akibat covid-19. Sebuah penghargaan yang diberikan oleh seorang pemimpin untuk pejuangnya yang gugur di medan tempur.

Menjadi tenaga medis, mengurusi orang terkena COVID-19 adalah tugas yang berat. Tenaga medis memang menjadi salah satu orang yang paling rentan terpapar virus corona, karena mereka bersentuhan langsung dengan penderita.

Apalagi perkembangan wabah di dunia ini setiap hari menunjukan kenaikan grafiknya. Hingga Senin (13/4/2020), di seluruh dunia sudah 1.846.680 terkena corona. 421.497 dinyatakan sehat dan 114.090, meninggalkan alam pana ini. Sementara di Indonesia angkanya mencapai 4.241, yang sembuh 359 dan 373 berpisah dengan alam dunia.

Meski sudah menggunakan peralatan yang lengkap seperti masker, sarung tangan, dan APD (alat pelindung diri), risiko terinfeksi coronavirus masih mungkin ada. Apalagi mereka yang tidak dilengkapi dengan APD standar.

Usai melaksanakan tugas, mereka juga harus dikarantina. Masa masa tegang dilalui tenaga medis, apakah mereka akan lolos dari maut, atau justru ikut bersama pasien yang mereka obati, untuk meningalkan alam pana ini. Peluang hidup dan mati setipis kulit bawang.

Ada air mata haru, berpelukan sesama petugas medis, ketika mereka usai di karantina dan dinyatakan mereka negatif Covid-19. Isak tangis mengiringi “kemerdekaan” mereka, akan dapat kembali berkumpul dengan keluarga.

Bagi yang dinyatakan positif, mereka harus berjuang dengan bayang bayang maut, menguatkan diri sambil berserah diri kepada Ilahi. Ada harapan dalam balutan doa agar dapat berkumpul dengan keluarga. Ada juga lantunan doa menitipkan anak-anak dan keluarga kepada Ilahi yang maha menentukan segala-galanya.

Covid-19  di Aceh

Sejak wabah melanda pertiwi dan diumumkan pemerintah pada awal Maret 2020, awalnya Aceh “nyaman”, tidak terlalu berpengaruh dengan serangan corona. Namun seiring dengan pergerakan manusia, Aceh juga terkena gempuran wabah yang mendunia ini.

Aceh juga dinyatakan sebagai kawasan yang terserang wabah. Di provinsi ini, 5 dinyatakan positif, mencapai 60 orang PDP dan ODP mencapai 1.373 orang. Pasien yang dinyatakan positif Covid-19, ditangani oleh pihak RSUZA. (data 11/04/2020).

“Alhamdulilah, dari 5 pasien yang positif itu, tidak ada yang bergerak, 4 orang kini sudah sembuh. Satu meninggal dunia. Saat ini RSU ZA tidak ada pasien positif Covid. Kita doakan, tidak ada lagi pasien Covid yang masuk RSUZA,” sebut Azharuddin, Direktur RSUZA, menjawab Dialeksis.com, Senin (13/04/2020) via selular.

Menurut Azharuddin, dalam masyarakat yang majemuk, perlu upaya serius dan terus untuk menghimbau. Karena tidak semua masyarakat mematuhi himbauan. 80 persen patuh, dan sekian persen tidak patuh.

Ketidak patuhan ini akan memberi kontribusi terjadi penyebaran yang tidak diinginkan. Untuk itu masyarakat harus patuh menjalankan himbauan sesuai SOP yang sudah ditetapkan.

“Virus memerlukan media dan medianya manusia, karena manusia paling cepat bergerak. Dari satu tempat ke tempat lain, dari satu wilayah ke wilayah yang lain,” sebutnya.

Menyinggung tentang tenaga medis yang berjuang menyembuhkan pasien dan berupaya menjaga dirinya agar tidak terserang virus, Azharuddin menjelaskan, bahwa tenaga medis itu sudah mewakafkan diri.

“Tenaga medis sudah mewakafkan dirinya. Mereka berada di depan. Ketika manusia lain berada di rumah, kita di rumah sakit merawat pasien dan menjaga diri agar tidak terserang wabah. Perjuangan tenaga medis membuahkan hasil, tidak ada lagi pasien di RSUZA terserang Covid,” sebutnya.

Pihak RSUZA juga memberlakukan karantina bagi petugas medis usai melakukan tugasnya. Selama 14 hari mereka “terkurung”. Namun setelah hasil swab menyatakan negatif, mereka dinyatakan sebagai pemenang dalam pertempuran mematikan ini.

Mereka dapat kembali berkumpul bersama keluarga dan hidup bermasyarakat. Pemandangan haru dari tenaga medis yang usai karantina dan dinyatakan negatif, menjadi catatan sejarah bagi RSUZA. Walau Ada diantara mereka sempat ditolak warga.

“Tim medis sehat, 20 orang sudah ada hasil swabnya dan dinyatakan negative. Alhamdulilah, semoga tenaga medis kita tidak ada lagi yang merawat pasien positif Covid. Kebersamaan kita sangat menentukan perjuangan ini,” sebut Azharuddin.

Semoga kabar gembira, karena kerja keras tenaga medis di RSUZA, “pasukan siluman” yang menggemparkan dunia ini, tidak lagi hadir di Bumi Aceh. Terima kasih pahlawan. Terima kasih tenaga medis.

Bila ada manusia yang masih belum menghormatimu sebagai pahlawan, jangan hiraukan mereka. Karena Anda bekerja bukan untuk mendapatkan jasa pahlawan. Tanda jasa yang maha agung nanti akan Anda terima dari yang maha kuasa.

Anda sudah bertempur dan atas izin yang maha menghidupkan mahluknya. Anda sudah menyelamatkan nyawa manusia. Walau nyawa Anda sendiri sebagai taruhanya. Pengorbanan Anda, walau itu tugas, panggilan jiwa, tidak dapat diukur dengan apapun materi di muka bumi ini. Terima kasih pahlawan. (Bahtiar Gayo/Dialeksis.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.