Prinsip-Prinsip Demokrasi

Marah Halim*

 

Tulisan ini diilhami oleh sebuah artikel ilmiah dalam majalah Demokrasi yang diterbitkan oleh Office of International Programs U.S. Departement of State pada bagian pendahuluan yang ditulis oleh Melvin I. Urofsky yang berjudul “Prinsip-prinsip Dasar Demokrasi”. Penulis tersadarkan betapa pentingnya masyarakat mengetahui prinsip-prinsip dasar ini, sebab wawasan ini akan menjadi sangat penting menjelang pemilukada 2011, dimana semua orang, semua partai akan berteriak “demi demokrasi”, “atas nama demokrasi”, dan sebagainya, padahal ujung-ujungnya menuntun tangan massa untuk mencoblos tanda gambarnya.

Di samping menyebutkan satu persatu prinsip-prinsip dasar demokrasi tersebut, penulis mengajak kita semua agar bersikap kritis menilai mana di antara prinsip-prinsip itu yang telah terlaksana dan terwujud dalam kehidupan bernegara kita, atau malah faktanya isapan jempol belaka, alias hanya ada dalam cita-cita saja.

Prinsip pertama adalah prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi. Mari kita lihat. Konstitusi kita adalah UUD 1945 yang telah berumur lebih kurang 60 tahun. Pada dasarnya konstitusi ini adalah konstitusi darurat, sehingga dalam aturan peralihannya diberi kemugkinan-kemungkinan untuk dirubah apabila memang diperlukan. Pergulatan politik di negara ini sempat membuat konstitusi ini diganti. Kita sempat mengenal UUDS pada tahun 1950, tapi karena konstelasi politik juga pada masa Orde Lama, akhirnya kembali lagi kepada konstitusi awal, yaitu UUD 1945.

Orde baru lain lagi. Seolah mengkeramatkan UUD 1945, sampai satu pasal-pun dari undang-undang dasar tersebut tidak pernah diganti. Setelah dicermati, ternyata kemandegan dan status quo dari undang-undang dasar tersebut adalah karena UUD tersebut sangat menunjang langgengnya kekuasaan orde baru. Sebagai contoh adalah ketentuan pasal tentang presiden yang boleh dipilih kembali setelah menjabat lima tahun, ini sangat menguntungkan bagi pemimpin yang bermental diktator dan otoriter seperti Soeharto, hasilnya Soeharto dapat bertengger selama 32 tahun.  Jadi, konstitusi telah dipakai sebagai alat legitimasi melanggengkan kekuasaan. Orde reformasi, sedikit banyak telah  “melabrak” ketabuan tersebut dengan melakukan amandemen terhadap pasal-pasal tertentu dalam UUD tersebut, salah satunya adalah membatasi masa  boleh dipilihnya seseorang menjadi presiden hanya untuk dua kali masa jabatan. Menurut penulis, inipun masih terlalu lama, mestinya cukup sekali saja.

Prinsip yang kedua adalah pemilihan umum yang demokratis, seperti yang akan kita hadapi beberapa bulan mendatang. Diakui oleh berbagai kalangan, pilkada 2007 lalu adalah yang paling demokratis di Aceh khususnya. Dimana prosesnya hampir mendekati kesempurnaan. Begitu demokratisnya calon independen-pun bisa ikut dan bahkan menang. Namun, proses yang baik belum tentu juga menghasilkan pemimpin seperti yang diharapkan. Pasangan IRNA yang mendapat legitimasi kepemimpinan yang sangat kuat, ternyata belum memuaskan.

Bagaimana dengan pemilukada 2011 ini, apakah akan sedemokratis pilkada 2007? Diharapkan memang demikian. Sederet lembaga telah dibentuk demi kesuksesan pemilukada 2011 ini. Dana yang dikucurkan mungkin tak terhitung lagi. Namun, apapun yang akan terjadi, suara rakyat kali ini sangat menentukan. Sebab, pemilukada kali ini bukan seperti pilkada lalu, sekarang adalah keterbukaan, masyarakat dapat melihat dan menilai sendiri tokoh mana yang akan menyuarakan aspirasi mereka.

Prinsip demokrasi yang keempat adalah desentralisasi kekuasaan, atau dalam istilah Paman Sam, federalisme. Namun kita tidak menganut paham federalisme ini, kita memodifikasinya dengan istilah otonomi daerah. Di daerah tertentu seperti Aceh diberikan otonomi khusus dengan kewenangan yang diperluas. Konsep ini juga tergolong konsep yang terlambat dilaksanakan.  Selama setengah abad kemerdekaan, segala potensi daerah terkuras semuanya ke pusat. Daerah hanya mendapat pembagian dari pusat dengan sistem penjatahan. Selama itu pula Indonesia ini seolah-olah hanya Jakarta dan sekitarnya. Daerah-daerah hanya bisa terpana dengan pesatnya pembangunan di Jakarta. Reformasi jualah yang memungkinkan terlaksananya konsep otonomi daerah yang selama orba terpendam atau dipndam terus di sekretariat negara. Di yakini atau tidak, kejatuhan rezim Soeharto adalah karena ketidakadilan Soeharto terhadap daerah. Sebenarnya apa ruginya membangun daerah?

Prinsip yang keempat adalah pembuatan undang-undang. Dalam sebuah negara demokrasi, mestinya semua peraturan perundang-undangan adalah pencerminan dari kehendak rakyat. Tidak boleh ada perundang-undangan yang bersifat merugikan dan mempersulit rakyat. Karena itu, pembuatan suatu peraturan perundang-undangan harus terbuka agar masyarakat bisa menilai dan secara sukarela. Contoh yang paling aktual adalah peraturan perundang-undangan di Aceh dewasa ini yang berbentuk qanun yang merupakan pencerminan kehendak rakyat Aceh yang berprikehidupan syari’at.

Prinsip yang kelima adalah sistem peradilan yang independen. Ini merupakan celah kritik yang paling lebar. Mungkin semua kita bisa melihat nasib penegakan hukum di Indonesia. Ibarat pepatah, penegakan hukum di Indonesia adalah seperti kerakap di bawah batu, hidup segan matipun tak mau. Memang tepat plesetan berbagai kalangan yang mengatakan hukum di Indonesia adalah hukum untuk kerah dekil seperti pencuri jemuran, perampok bajing loncat, pencopet, dan sebagainya.

Rasanya segan untuk berharap atau semakin  pesimistis saja kita mengharap penegakan hukum dan HAM. Segan rasanya berharap penjahat kerah putih akan bisa digiring bergerombol ke balik jeruji. Tidak usah berharap banyak. Kasus-kasus terbaru seperti Bank Century, Gayus, Miranda Goeltom, Nazaruddin, dan lain-lain adalah diantara kasus yang sebetulnya sudah jelas pelakunya tetapi dibuat kabur oleh sistem penegakan hukum kita. Teten Masduki, mantan koordinator ICW (Indonesian Corruption Watch) sampai-sampai mengeluh putus asa dengan keputusan itu. Jelas ini merupakan indikator yang paling kuat untuk mengatakan bahwa lembaga penegak hukum di Indonesia tidak punya nyali mengahadapi legislatif dan eksekutif. Padahal jika mereka memahami betul filosofi Trias Politika yang dirumuskan Machiavelli, tentu mereka akan bernyawa mengahadapi tekanan apapun dan dari manapun. Sejauh ini tidak ada satu kasus pun yang dengan cemerlang diselesaikan oleh “lembaga peradilan yang independen” kita.

Prinsip yang keenam adalah kekuasaan lembaga kepresidenan. Pemilu pada hakekatnya adalah memilih presiden, lembaga eksekutif yang akan menjadi imam bagi  bangsa ini. Pada dasarnya kekuasaan ‘imam’ ini sangat besar. Karena besarnya kekuasaan ini perlu dibatasi aga dengan membentuk lembaga pengendali kebebasan lembaga kepresidenan. Itulah yang dinamakan dengan lembaga legislatif atau parlemen atau DPR di negara kita. Masing-masing punya batas kewenangan yang jelas. Ketidakjelasan batas-batas wewenang bisa membuat lembaga kepresidenan menjadi diktator dan gladiator bagi rakyat dan lembaga lainnya. Pengalaman panjang di masa orla dan orba kiranya telah memberikan pengalaman yang lebih dari cukup.

Prinsip yang ketujuh adalah peran media yang bebas. Pengekangan terhadap media adalah simbol kediktatoran, dan itu telah berlangsung di zaman orla dan orba. Tujuannya tidak lain adalah menutup mulut “usil” pembuka keaiban penguasa ini. Era reformasi memberikan kebebasan media yang sangat luas. Namun kebebasan itu sendiri perlu dibatasi dengan etika media. Kebebasan media yang kita nikmati sekarang tidak jarang disalahgunakan. Banyak media sekarang ini yang tidak bisa diharapkan lagi sebagai penyampai berita yang benar kepada masyarakat, bahkan mereka menjadi penyesat masyarakat. Contohnya banyak, mulai dari media elektronik sampai media cetak. Media yang dewasa adalah media yang menyampaikan berita secara proporsional dan profesional,, bukan sekedar pertimbangan keuntungan semata, tapi didorong oleh keinginan menyampaikan kebenaran kepada masyarakat.

Prinsip yang kedelapan adalah peran kelompok-kelompok kepentingan. Pada dasarnya kelompok kepentingan ini adalah masyarakat sebagai warga negara. Karena jumlahnya yang sangat banyak, maka tidak mungkin mereka secara langsung menyampaikan uneg-unegnya kepada penguasa. Secara resmi, hakikatnya parlemen-lah yang menjadi penyambung lidah rakyat. Tetapi manakala parlemen tidak lagi bertindak sebagaimana yang diharapkan, maka kehadiran lembaga-lembaga non-pemerintah akan sangat besar artinya. Di Indonesia, lembaga-lembaga itu lebih dikenal dengan LSM (lembaga swadaya masyarakat). Suara LSM kadang lebih nyaring daripada suara lembaga-lembaga resmi dalam membela masyarakat.

Prinsip yang kesembilan adalah hak masyarakat untuk tahu. Biasanya penguasa yang diktatorlah yang membungkam keingintahuan rakyatnya. Masyarakat berhak  untuk mengetahui apa yang telah dilakukan oleh penguasa. Di negara-negara yang sudah maju demokrasinya seperti Amerika dan Eropa, animo masyarakatnya untuk tahu menjadi kontrol sosial tersendiri bagi penguasanya, karena dengan begitu penguasa tidak seenaknya menelorkan sebuah kebijakan, harus berpikir sepuluh kali.

Dan ciri yang terakhir dari prinsip demokrasi adalah perlindungan hak minoritas. Indonesia adalah contoh yang paling ideal dari keragaman, apakah ragam suku bangsa, agama, bahasa, dan sebagainya. Maka negara yang demokratis adalah menjamin hak dan kewajiban setiap warganya tanpa pilih bulu, mayoritas atau minoritas, tapi tentu ini juga diberikan secara proporsional.

 

Akhirul Kalam

Kiranya sebuah kata-kata hikmah dari Umar bin Khattab layak mengakhiri tulisan ini. Umar mengatakan,”ambillah kebenaran itu walau dari manapun jua datangnya”.  Prinsip-prinsip demokrasi ala Paman Sam di atas, kalau kita perhatikan dan pahami dengan baik, maka sesungguhnya tidak ada satu-pun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Malah dapat dikatakan bahwa semua itu adalah nilai-nilai manifestasi Islam yang telah dibahasakan secara modern. Maka untuk kita, ketika kita membaca urutan sepuluh prinsip di atas, anggap saja itu adalah manifestasi ajaran Islam, agar kita merasa bahwa prinsip-prinsip yang telah mereka rumuskan sebagai milik kita juga. Kebenaran yang hakiki adalah kebenaran yang universal. Namun demikian, sebagai bukti kekritisan kita, kita berhak menganggap rumusan-rumusan tersebut belum tentu sempurna, dan kita berhak menambah atau menguranginya.

 

*Mahasiswa S2 Ilmu Hukum, Unsyiah.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Sebenarnya apabila umat Islam mengamalkan prinsip-prinsip demokrasi seperti yang diuraikan oleh Marahalim tersebut di atas, maka Indonesia yang mayoritas beragama Islam akan berkembang tanpa harus ada yang menjadi Team Sukses (TS). Negara kita sekarang lagi sakit demokrasi, sehingga dimana-mana organ tubuh negara ini banyak yang tidak berfungsi.