Sebelum para calon kontestan benar-benar mendaftar ke Komisi Independen Pemilihan (KIP) masing-masing kabupaten di Gayo, kiranya mereka masih berkesempatan untuk melakukan introspeksi diri berkaitan dengan keterlibatan mereka dalam kontes Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) 2011 di Gayo. Menurut penulis, masing-masing pasangan calon mereka harus mempertimbangkan betul 5W+1H.
Pertama, apa (what) yang hendak mereka perjuangkan atau wujudkan? Apa visi dan misi mereka? Hendak kemana Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, mereka bawa? Sampai saat kita (khususnya yang di rantau) belum tahu apa yang mereka tawarkan kepada kita calon pemilihnya. Seharusnya sebelum menempel dan menancapkan gambar di mana-mana yang disosialisasikan adalah visi dan misi itu dulu. Ibarat jual mie, semua calon bilang mie-nya yang paling enak; masalahnya mereka kan harus menjelaskan kepada kita apa argumen yang bisa meyakinkan kita bahwa mie mereka benar-benar enak sehingga kita tergoda untuk mencicipinya.
Kedua, mengapa (why) mereka mau tetap maju bertarung walaupun peluang untuk menang sangat kecil? Apakah sekedar ngeruhi wih? Apakah sekedar menambah catatan penting di curriculum vitae (riwayat hidup) bahwa yang bersangkutan pernah menjadi calon bupati/wakil bupati? Sebagai contoh ada 13 cabup/cawabup di Aceh Tengah. Dengan perkiraan pemilih kurang dari 500 ribu jiwa (jumlah resminya belum diketahui) jumlah ini sangat berlebihan, sebenarnya lima pasang calon pun sudah terlalu banyak. Kalau tujuannya hendak memecah suara atau sekedar berjudi (spekulasi) siapa tahu menang saya kira itu motivasi yang sangat tidak baik. Malah kalau menang pasangan yang seperti ini belum tentu siap membenahi kondisi yang ada.
Ketiga, siapa (who) yang kira-kira akan memilih mereka. Dimana kira-kira kantong-kantong suara mereka yang potensial? Di kampung masing-masing dengan mengharapkan belas kasihan para sanak saudara dan keluarga besar? Atau mengharap sejarah trah keluarga di masa lalu? Jika hanya dua hal itu yang menjadi harapan, maka sangat absurd dan keliru, sebab sanak keluarga besar baik di kampung atau kecamatan belum tentu arah pilihannya ke pasangan yang berasal dari kampung atau kecamatan mereka, mereka mungkin memilih dengan pendekatan lain yang lebih rasional, bukan emosional.
Keempat, dimana (where) mereka ikut? Apakah tempat dimana mereka ikut sudah tempat yang benar untuk mereka? Mengapa banyak calon yang tinggal di perantauan merasa layak dan akan menang padahal mereka saban tahun tidak penah di Gayo? Merasa sukses di perantauan, kini bak pendekar turun gunung di film-film silat, mereka hendak memperbaiki nasib masyarakatnya. Jangan-jangan kondisi masyarakat biasa-biasa saja bahkan jika mereka yang tampil bisa berubah jadi tak karuan.
Kelima, kapan (when) kapan sebetulnya waktu yang tepat untuk mereka untuk tampil sebagai calon? Apakah momen pemilukada ini adalah saat yang tepat untuk mereka? Belum tentu kan? Kalaupun menang apakah mereka sudah membayangkan tantangan ke depan? Suasana politik kita belum kondusif sebagaimana yang diharapkan, cuaca saat ini masih ekstrem dan sewaktu-waktu berubah 180 derajat. Sudahkah calon terpilih nanti siap menghadapi itu? Kemudian, kita lihat banyak calon yang masih muda; dari satu sisi kita tentu bangga namun juga mempertanyakan apakah saat ini waktu yang tepat untuk mereka? Kalau sekedar mau mendapat pembelajaran politik apakah harus dengan cara ikut langsung sekedar ngeruhi wih atau gambling?
Yang terakhir, ini barangkali yang terpenting; bagaimana (how) cara yang hendak mereka tempuh untuk bisa ikut dan menang? Bicara cara (metode, teknik, dan strategi) adalah bicara teknis dan inilah yang paling utama. Jangan ada prinsip asal tujuan tercapai semua jalan halal, masalah dosa nanti naik haji sama-sama. Bukan tidak ada orang yang berprinsip seperti itu. Sebagai orang yang sedikit mengerti agama kita ingatkan bahwa naik haji tidak ada hubungannya dengan penghapusan dosa, apalagi dosa korupsi dalam pemilu.
Bagaimana cara para calon ikut kontes dan berharap bisa memenangkannya tidak terlepas dari faktor gizi. Asumsi masyarakat kita, yang bisa ikut kontes pemilukada adalah orang-orang yang bergizi (berduit). Pertanyaannya, gizi mereka memang dari mereka sendiri atau ditunjang oleh pihak lain? Kalau dari diri sendiri apakah dengan tidak mengorbankan apa yang ada? Tidak mengorbankan keluarga? Kemudian kalau gizinya dari pihak lain, apakah tanpa syarat atau janji-janji tertentu? Masih adakah orang yang memberi banyak tanpa berharap apa-apa? Jika gizi harus dibayar dengan konsesi, apakah pantas? Banyak lagi pertanyaan yang bisa dimunculkan terkait masalah gizi ini, sebab bagaimana sepasang calon hendak menang saat ini tidak mungkin tanpa peran yang satu ini.
Last but not least, kita ingatkan juga hendaknya tidak ada pasangan calon yang menggunakan cara-cara kotor untuk bisa menang. Cara-cara kotor seperti intimidasi, black campaign, money politic, kerap kita dengar dalam kontes yang katanya kontes demokrasi.
Harapan kita pada para calon pasangan, jangan bayangkan dulu indahnya tinggal di pendopo, mobil dinas, pakaian dinas, perjalanan dinas, gengsi, dan lain-lain; bayangkan saja kondisi masyarakat dataran tinggi Gayo saat ini; jalan tembusnya yang sempit dan curam; hasil pertaniannya yang tidak memiliki pasar yang jelas; masyarakatnya yang masih ketinggalan; kesehatan masyarakat yang masih buruk. Jika bayangan-bayangan yang terakhir ini lebih banyak berkelebat dalam benak para calon, maka siapapun yang akan menang kontes akan didukung bersama. Yang menang tidak euforia dan yang kalah berlapang dada. Ratip musara nanguk nyawa musara peluk. Beluh sara loloten mewen sara tamunen. Wallahu a’lam.
*Pemerhati Sosial Politik, tinggal di Banda Aceh
Rumus oya gere pakek pakea lim, sipakee berumus urum TS. Sukses