Pendidikan Karakter Kolektif

Oleh Johansyah*

 

Pendidikan karakter merupakan upaya untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti yang terlihat dalam tindakan nyata seseorang, seperti jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain dan tingkah laku baik lainnya. Belakangan ini pendidikan karakter memang menjadi salah satu isu hangat dalam dunia pendidikan. Program ini menjadi salah satu prioritas Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh dengan tujuan untuk membangun karakter bangsa.

Jika kita jeli dan kritis, sebenarnya pendidikan karakter bukanlah barang baru dalam dunia pendidikan. Pendidikan karakter merupakan penjelmaan atau bentuk lain dari pendidikan akhlak, budi pekerti maupun pendidikan moral yang sudah tertata sejak lama, di mana semua pada intinya memprioritaskan aspek sikap seseorang yang terwujud dalam aksi nyata kesehariannya.

Pengembangan pendidikan karakter tentunya sangat beralasan jika merujuk kepada potret buram negeri ini. Sungguh miris ketika menyaksikan pejabat pemerintahan yang menjual kejujuran dan menggantinya dengan tipu daya demi kepentingan diri dan kelompoknya. Jujur, toleransi, keadilan, saling menghormati serta sifat humanis lainnya telah tersandera oleh pragmatisme dan menyeret mereka untuk meninggalkan sifat-sifat kemanusiaannya.

Anehnya, secara teoritis kita sebenarnya kaya dengan nilai-nilai karakter dan perilaku baik dibandingkan dengan dunia barat yang katanya cenderung liberal dan tidak terlalu terpaku dengan agama. Namun dalam implementasinya toh mereka seolah-olah lebih mengerti dan mengamalkan nilai-nilai budaya maupun agama dari pada kita yang seolah-olah tidak pernah tau nilai budaya maupun agama, hal ini pantas kita renungi dan sesalkan. Sebagai contoh kecil adalah budaya jujur, bagaimana agama dan budaya kita menekankan agar berperilaku jujur, namun sayangnya kebanyakan hanya mengetahui dan tidak mau mengamalkannya.

 

Tantangan Pendidikan Karakter

Banyak yang mengatakan bahwa saat ini bangsa kita kehilangan karakter. Jika memang ya, berarti secara kolektif sebenarnya kita berusaha mengulang era jahiliyah pra Islam. Era di mana kemajuan di berbagai aspek terlihat namun sayang perilaku manusianya tidak dibingkai oleh moralitas dan budi perkerti mulia. Jika dulu Allah SWT menurunkan Nabi Muahammad SAW untuk membangun karakter masyarakat jahiliyah Mekkah, maka sekarang siapa yang kita harapkan kalau bukan kita sendiri? mengingat Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir.

Penulis melihat bahwa ada tantangan besar dalam membumikan pendidikan karakter. Tantangan tersebut dapat dilihat dari dua perspektif yakni struktural dan kultural. Artinya bagaimana potret realita yang terdapat dalam sistem pemerintahan dan masyarakat saat ini. Potret yang memperlihatkan bahwa manusia Indonesia semakin terlena dengan budaya-budaya baru yang jauh dari karakteristik ke-Indonesiaannya.

Mewujudkan harapan untuk membentuk karakter bangsa semakin sulit mengingat carut marut negeri ini yang terus menerus melegalkan berbagai bentuk perilaku yang berlawanan dengan nilai luhur budaya dan agama. Para penguasa negeri ini cenderung melanggengkan kekuasaan dengan membungkus kegagalan mereka kemudian menampilkan keberhasilan capaian mereka agar mendapat pengakuan dari rakyat. Begitu juga dengan sebagian besar wakil rakyat yang menganut aliran kemunafikan, mereka berbicara atas nama rakyat walaupun entah rakyat mana yang dimasud.

Pendidikan karakter diharapkan mampu memberangus budaya buruk bangsa ini dan kembali menggali budaya-budaya bernilai mulia yang telah terkubur. Meruntuhkan sebuah bangunan tentunya jauh lebih mudah dari pada mendirikannya sebab tidak membutuhkan banyak strategi dan perhitungan serta dapat dilakukan dalam waktu sekejap. Namun bayangkan ketika bangunan didirikan pasti membutukan perhitungan matang serta waktu yang relatif lama. Artinya membangun budaya baik dan benar jauh lebih sulit dari pada mengembangkan budaya ‘gila’ dalam sebuah masyarakat. Ibaratnya, ketika padi ditanam maka rumput pun akan ikut tumbuh dengan sendirinya, namun jangan harap padi akan tumbuh sendiri di tengah rerumputan yang hijau.

Penulis yakin bahwa kebanyakan orang menilai orang aneh dalam dunia nyleneh saat ini bukanlah orang yang pintar merekayasa dan menipu akan tetapi mereka yang katanya terlalu ideal dan jujur. Ini merupakan realita bahwa budaya yang terbangun dalam masyarakat saat ini adalah budaya tidak sehat, namun karena pelakunya kolektif maka budaya model ini telah menjadi legal karena sudah diaminkan secara jama’ah.

Di sisi lain, nilai-nilai yang ditawarkan media khususnya televisi, secara umum minim dengan nilai-nilai berbasis moral dan bahkan yang terjadi sebaliknya berbasis amoral. Anehnya, para tokoh yang getol mengeritik model ini sering dianggap  tidak menghargai kebebasan dan terlalu membawa-bawa agama. Hal ini dapat dikatakan sebagai blunder dalam tatanan budaya kita yang sangat berbahaya. Pertanyaannya, akankah pendidikan karakter mampu membersihkan limbah budaya yang mencemari kultur masyarakat saat ini dan mensterilkannya kembali seperti sedia kala.

 

Karakterisasi Pada Semua Lini

Sungguh absurd kiranya ketika pendidikan karakter diharapkan mampu membangun karakter bangsa dengan hanya mengandalkan dunia pendidikan formal. Sadarkah kita bahwa yang tidak berkarakter itu sebenarnya bukanlah mereka yang masih duduk di bangku sekolah akan tetapi mereka yang duduk di kursi kepemimpinan dan kursi-kursi amanah rakyat.

Pendidikan karakter bagi pemimpin dan wakil rakyat sebenarnya jauh lebih penting dari pada pendidikan karakter untuk siswa. Jika untuk siswa di ajarkan pendidikan karakter, maka untuk para orang pintar yang menjabat juga harus disediakan  ‘bengkel ruhani’ untuk menservis mental mereka dan membebaskannya dari sifat-sifat diabolis.

Sungguh naïf kiranya, ketika guru dengan susah payah membentuk karakter anak  namun di sisi lain para pejabat negeri ini justru memberi contoh yang menyesatkan. Perilaku korupsi yang semakin meraja lela, budaya sogok dan budaya buruk lainnya merupakan contoh yang tidak baik bagi generasi muda kita yang pada hakikatnya membutuhkan ketauladanan pemimpinnya. Begitu juga dengan masyarakat luas yang masih doyan dengan budaya saling menjatuhkan, tidak menghargai dan individualis. Ini semua akan membuat generasi muda kita kembali kehilangan karakternya ketika terlibat langsung di pemerintahan maupun masyarakat dengan perhitungan bahwa satu orang benar akan kalah dengan sepuluh orang salah.

Selama sistem pemerintahan dan budaya masyarakat tidak mampu menampilkan karakter baik dan benar, selama itu pula generasi muda kita terus gagal dalam mengejawantahkan karakteristik ideal yang mereka peroleh dalam dunia pendidikan. Pendidikan karakter baru dapat membangun karakter bangsa apabila dibangun  pada seluruh lini secara kolektif dan simultan, bukan hanya di lembaga pendidikan formal tetapi terintegrasi dengan lini struktural dan kultural.

 

*Penulis adalah Ketua Jurusan Tarbiyah STAI Gajah Putih Takengon.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.