Oleh: Muhammad Syukri
Demokrasi, sebuah istilah yang berasal dari kata demos (rakyat) dan cratos (pemerintahan). Akhir-akhir ini, demokrasi menjadi istilah paling populer bahkan paling familier di telinga kita. Media cetak, melalui talk show yang ditayangkan sejumlah stasion televisi, rata-rata membahas implikasi demokrasi. Mulai dari persoalan daftar pemilih tetap (DPT), oposisi, keputusan MA dan MK, sampai isu politik terhangat dan terkini seperti prilaku anggota parlemen. Semua disampaikan dengan gamblang, lugas, panas bahkan sampai saling tuding. Itulah pernik-pernik demokrasi.
Dilevel grass root, yang dibahas rakyat awam adalah persoalan nyoblos atau nyontreng. Dalam pandangan mereka, itulah maksud demokrasi, bukan siapa dan apa yang dikerjakan para pemimpin dan wakil-wakilnya di gedung parlemen. Kalaupun rakyat ogah ikut nyontreng pada Pemilu Kepala Daerah (Pilkada), Pemilu Legislatif (Pileg) atau Pemilu Presiden (Pilpres), itu sepenuhnya hak warga negara. Tidak ada sanksi hukumnya.
Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, demonstrasi dan hak berpendapat menjadi bagian keseharian warga negara sejauh sesuai dengan aturannya. Di level parlemen, para politisi juga sangat berani mengkritisi berbagai kebijakan Pemerintah. Ini pun dibolehkan, karena sistem demokrasi melindungi hak berpendapat. Demikian pula jika halnya wakil rakyat yang duduk di parlemen ingin ”plesiran” dan studi banding ke luar negeri, boleh-boleh saja, karena sistem pemerintahan kita yang demokratis memberi mereka hak anggaran. Itulah bunga rampai demokrasi.
Demokrasi, sistem politik yang sangat digandrungi oleh masyarakat dunia, baik mereka yang tinggal di dunia ketiga maupun di negara-negara maju. Oleh karena itu, kisruh politik, konflik internal sebuah bangsa, sampai dilanjutkan dengan perang saudara, termasuk agresi dan invasi oleh negara superpower, semuanya diklaim atas nama demokrasi. Mengapa demokrasi terkesan sangat ”keramat?” Paham yang berakar dari para pemikir liberal seperti Hobbes, Locke, Rousseau, Montesquieu, Voltaire dan lain-lain, menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sesungguhnya (Azhar, 1997).
Negara-negara superpower seperti AS, Uni Eropa dan sekutu-sekutunya begitu alergi terhadap negara yang tidak menganut sistem demokrasi. Tanpa ragu, mereka akan memboikot ekonomi suatu negara yang dianggap tidak demokratis. Dan, tanpa malu, mereka juga akan mengerahkan jutaan tentara sekutu untuk menghancurkan negara yang dalam kaca mata mereka belum demokratis. Kalau kondisi itu kita analogkan dengan prokem ABG sekarang ini, pingin gaul? Ikut demokrasi dong.
Negara kita, Republik Indonesia, sesungguhnya ingin mandiri dengan membangun sebuah sistem politik dan sistem ekonomi sendiri yang mengacu kepada nilai-nilai dan kearifan lokal. Obsesi ini nyaris hampir berhasil, terbukti, negara kita pada saat itu sudah diakui sebagai salah satu ”macan Asia.” Namun, tsunami krisis ekonomi (konon, krisis ini merupakan sebuah setting politik negara-negara maju) menghentikan langkah itu. Rezim Orde Baru runtuh. Bangsa Indonesia yang didalam buminya kaya akan sumberdaya alam yang melimpah, ternyata tidak berdaya. Mengapa? Kekayaan alam itu terlanjur ”dikelola” oleh pihak lain.
Sampai detik ini, tunggakan hutang itu belum dapat dilunasi sehingga kita masih sangat tergantung kepada kreditor (negara-negara G-8). Ketergantungan itu, memaksa sistem politik kitapun harus gaul, harus menyesuaikan diri dengan irama gendang yang sedang mereka tabuh. Mereka yang notabene sebagai penguasa ekonomi dunia sedang memainkan musik berirama demokrasi, diikuti mayoritas masyarakat dunia, berjoget dengan langgam demokrasi. Tentu saja, sebagai bagian dari masyarakat dunia, tidak mungkin kita menari dengan langgam monarki atau tirani, sehingga pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan: ”Kedaulatan berada ditangan rakyat …” Ini sebuah penegasan bahwa negara kita menganut paham demokrasi dan mandatnya ada ditangan rakyat. Pastinya, berbagai proses politik, seperti pengalihan kekuasaan harus melalui tahapan demokrasi yaitu pemilihan umum.
Belum pupus dari ingatan kita, tepatnya pada saat berlangsungnya Pemilu Legislatif tahun 2009, rakyat selaku pemilik kedaulatan yang sesungguhnya ramai-ramai mendatangi tempat pemungutan suara (TPS). Mereka berkumpul di setiap TPS dibawah teriknya sinar matahari, dengan sabar menunggu giliran mencontreng. Hari itu, mereka telah begitu siap untuk ”meminjamkan” mandat yang dimilikinya kepada calon anggota legeslatif yang selama ini telah mengiklankan diri di hampir semua persimpangan jalan.
Setelah antri yang begitu panjang, lalu namanya dipanggil oleh KPPS untuk mengambil 4 lembar surat suara. Ini artinya, prosesi ”meminjamkan” mandat akan segera dimulai. Dalam bilik suara, si pemilih membolak balik kertas suara mencari nama orang yang dia percaya untuk menerima mandat yang dimilikinya. Dengan sedikit gemetar dan gugup, menggunakan pulpen yang disediakan KPPS, lalu dengan mantap dicontrengnya caleg pilihan hati. Kertas suara kembali dilipat. Dengan langkah pasti disertai senyum penuh harapan, keluarlah dia dari bilik suara. Kemudian, surat suara itu dimasukkan ke masing-masing kotak suara yang tersedia.
Dia mencelupkan jari kelingking ke kotak tinta sebagai bukti bahwa prosesi penyerahan mandat telah berakhir. Kedaulatan seorang warga negara yang sangat ”diagungkan” oleh penganut paham demokrasi, telah beralih kepada caleg pilihannya. Sejak detik itu, mandat yang dia miliki sudah ”dipinjamkan” secara sukarela kepada caleg idaman hati tadi untuk jangka waktu 5 (lima) tahun ke depan. Menyesalkah dia? Paling-paling hatinya berbisik penuh harap, mudah-mudahan si caleg tadi bisa mengawal janji yang dikampanyekan oleh para calon presiden dan kepala daerah.
Soalnya, mandat yang sudah ”dipinjamkan” tidak mungkin ditagih atau ditarik lagi dari si caleg. Suara yang diberikan tadi sudah berubah menjadi angka-angka (tidak tertulis nama pemilih), dan kumpulan angka itu yang mengantar sang caleg ke kursi parlemen. Begitu dilantik, sah demi hukum, bahwa mereka adalah representasi dari sekian ribu rakyat yang selanjutnya disebut sebagai ”wakil rakyat.” Dengan demikian, omongan, anggukan, teriakan, tandatangan, senyuman, lirikan, sampai kepada prilaku positif atau negatif, secara hukum, sesungguhnya semua itu sudah ”disetujui” oleh rakyat (pemilih).
* Pemerhati Sosial Politik, berdomisili di Takengon
diakui atau tidak, semua kita telah salah memilih anggota legislatif yang kita kira baik dan begitu manis berkata dulu. Lima tahun kita menyesalinya.Apa boleh buat. Tapi kita berbuat untuk calon bupati yang muncul. Memilih atau tidak. Memilih ternyata akhirnya mereka berbohong juga. Tidak memilih berarti tidak ikut bertanggungjawab secara moral atas pilihan itu….akh