Ā
Dalam sebuah diskusi mata kuliah pengembangan kurikulum beberapa waktu lalu, Prof. Warul Walidin, selaku dosen pengampu mata kuliah mengatakan bahwa dunia pendidikan sekarang terlalu fokus kepada aspek formalitas dan menafikan substansi dari pendidikan itu sendiri. Seperti orang Spanyol bilang ālo que importa es el informeā (yang penting laporan).
Hemat penulis, memang benar dan demikian adanya pendidikan saat ini yang hanya melihat hasil atau laporan tertulis administratif tanpa mau meninjau ulang orisinilitasnya. Kita dapat mengintip bagaimana proses kelulusan siswa, menilai sekolah teladan, guru teladan, serta proses evaluasi lain yang cenderung mengukur keberhasilan dengan hanya mengandalkan data tertulis dalam bentuk laporan. Padahal data tertulis tersebut kadang berbeda telak dengan kondisi sebenarnya yang ada di lapangan.
Penulis masih ingat ketika pernah menjadi guru bakti pada sebuah sekolah, saat akan mulai aktif mengajar, kepala sekolah atau bagian kurikulum selalu mengingatkan agar setiap guru membuat persiapan mengajar atau perangkat pembelajaran dengan alasanĀ bahwa pengawas akan datang untuk melakukan supervisi ke sekolah tersebut. Memang benar, hanya selang beberapa hari pengawas datang dan memeriksa perangkat pembelajaran yang telah dibuat oleh guru sesuai dengan bidang studi masing-masing. Anehnya pengawas tersebut tidak masuk ke dalam lokal melainkan hanya duduk di kantor saja sambil memeriksa satu per satu. Waktu itu penulis masih berasumsi bahwa hanya seperti ini barangkali tugas pengawas.
Tapi yang menimbulkan pertanyaan, bukankah perangkat tersebut hanya sekedar administrasi tertulis saja dan jelas bukan merupakan substansi dari proses pembelajaran. Ā Penulis berpikir alangkah mudahnya untuk mendapat nilai baik dari pengawas kalau hanya perangkat pembelajaran yang dinilai sementara skill mengajarnya di kelas secara praktis diabaikan begitu saja. Perilaku model inilah yang kita sebut sebagai formalitas, simbolis dan hanya melihat administrasi saja tanpa mau melihat kondisi rilnya.
Dampak dari terlalu memprioritaskan hal-hal administratif ini menjadikan guru malas berijtihad untuk memikirkan bagaimana meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas secara langsung melainkan memikirkan bagaimana agar perangkat pembelajaran dapat disiapkan cepat, akurat dan tepat sehingga ketika tim supervisi datang semuanya sudah beres. Pertanyaannya, apakah laporan tertulis mengenai proses pembelajaran yang dia laksanakan dapat menjadi garansi bahwa proses pembelajarannya sudah baik?. Lantas jika tidak, maka mengapa para pengawas terikat betul dengan hal-hal formalitas semacam ini?, apakah tugas pengawas hanya sebatas melihat perangkat pembelajaran tanpa menghiraukan problema pembelajaran yang dihadapi guru?.
Hal yang sama juga dapat dilihat dalam proses sertifikasi guru, di mana tim penilai mutlak hanya terpaku kepada portofolio yang merupakan deskripsi dari kegiatan guru bersangkutan. Lantas penilaian tidak pernah melihat secara langsung kondisi ril sebenarnya di lapangan. Akibanya, banyak guru malas, guru pendikte dan guru yang suka bolos lulus sertifikasi tanpa menemukan kesulitan yang berarti. Sertifikasi yang sejatinya meningkatkan profesionalisme guru akhirnya hanya berperan sebagai media untuk mendapatkan tunjangan materi. Sayangnya, setelah para guru disertifikasi tidak ada tanda-tanda peningkatan kualitas mengajar dari sebelumnya. Bahkan dapat dipastikan tidak ada perbedaan kualitas antara guru sertifikasi dengan guru yang belum disertifikasi kecuali dari segi pendapatannya saja. Penulis tidak menyalahkan guru melainkan proses regulasi dan mekanisme sertifikasi yang perlu ditinjau ulang.
Dampak buruk lain dari sistem yang formalitas dalam pendidikan kita saat ini adalah bahwa banyak orang yang melakukan manipulasi data dan melakukan kebohongan sebab mereka yakin bahwa data tertulis yang mereka manipulasi kemungkinan besar tidak akan diteliti kebenarannya. Buktinya, kita bisa lihat bagaimana maraknya pemalsuan data terjadi dalam proses kenaikan pangkat maupun proses database pegawai honorer.
Parahnya lagi, pelaku-pelaku manipulasi tidak pernah lagi merasa terbeban dengan penyimpangan yang mereka lakukan dengan āmenatariasā laporan sedemikian rupa untuk mendapatkan pengakuan dari atasan. Yang dia pikirkan hanyalah bagaimana terik jitu untuk membuat laporan dengan baik, bukan berpikir bagaimana bekerja dengan benar dalam profesinya.
Sadar atau tidak, tanpa terasa dunia pendidikan kita telah menghalalkan yang namanya manipulasi dan secara jamaāah kita sudang mengamininya sehingga walaupun sebenarnya hal tersebut merupakan perilaku penyimpangan akhirnya menjadi sesuatu yang dianggap wajar. Jika ada yang protes maka kebanyakan mengatakan āah kamu, sekarang memang zamannya begituā. Akhirnya budaya buruk yang sudah dianggap āhalalā ini kita ajarkan juga kepada anak didik dengan mengajari mereka seperti contek massal dalam Ujian Nasional (UN). Kita lupa, padahal guru juga yang mengajari mereka agar tidak menyontek, jujur dan berperilaku baik. Maka jangan salahkan kalau anak-anak sekarang tidak lagi menganggap guru adalah sumber tauladan karena banyak dari guru yang tidak konsisten antara perkataan dan perbuatannya.
Siapapun memahami bahwa administrasi dalam sistem pemerintahan (termasuk pendidikan) merupakan sesuatu yang mutlak dan tidak dapat dipandang remeh. Namun demikian administrasi tersebut sejatinya tidak membuat orang melupakan substansinya. Apalah artinya laporan keuangan yang memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) sementara dalam kenyataannya banyak penyimpangan dan penggunaan dana tidak sesuai dengan laporan tersebut. Alangkah naifnya negeri ini karena mengukur kebenaran dan kebaikan hanya sebatas melihat laporan tertulis saja tanpa meneliti lebih jauh bagaimana kondisi yang sebenarnya.
Dunia pendidikan Indonesia saat ini secara silih berganti terus digelayuti berbagai persoalan dari berbagai aspeknya sehingga membuat bangsa ini semakin terperosok ke jurang yang hina. Jika kita memiliki tabiat baik untuk merestorasi kondisi keterpurukan negeri ini maka berhentilah mempermainkan pendidikan. Hemat penulis, perilaku-perilaku formalitas administratif yang berlangsung dalam dunia pendidikan kita saat ini merupakan upaya mempermainkan pendidikan sehingga hasil pendidikan sekarang pun adalah produk pendidikan yang main-main.
Jika dipertanyakan, mengapa menegakkan kejujuran semakin sulit di negeri ini?. Itu tidak lain karena sistem yang kita buat sediri memang memberi banyak peluang untuk melakukan berbagai kebohongan dan akhirnya kejujuran itu sendiri yang menjadi musuh kita. Sekarang, orang yang jujur tersisih, dibenci dan dikucilkan. Dari itu jika kita masih punya nurani untuk membangun pendidikan negeri ini maka hentikanlah aksi-aksi formalitas, simbolis dan administratif dalam mengukur berbagai keberhasilan agar pendidikan Indonesia ke depan lebih bermartabat.
*Penulis adalah pemerhati pendidikan
deledinge pegawe i gayoni pakek gelar hawhaw.