Terojo Dalam Berpolitik

Oleh Marah Halim*

Dalam bahasa Gayo, prilaku kepingin tampil di depan publik meski tanpa kapasitas yang memadai disebut dengan terojo. Prilaku ini ada dimana-mana, dari pergaulan tingkat meunasah sampai pergaulan birokrasi. Di kantor penulis ada orang terojo menjadi imam; tanpa dipersilakan siapapun dia maju menjadi imam dalam shalat-shalat fardhu meski ada orang lain yang lebih layak. Demikian juga di kampung penulis, Mendale, ada orang yang terojo menjadi khatib, menjadi imam, pembawa acara, dan lain-lain.

Orang-orang terojo biasanya memiliki semangat tampil luar biasa tapi kapasitasnya memiriskan. Orang terojo bersifat tebal muka dan berkuping gajah. Dia tidak peduli ada orang yang mendongak, mendelik, mengernyit dahi, mengurut dada, mengangkat bahu, melihat tingkahnya yang menjengkelkan. Baginya yang penting tampil.

Prilaku terojo adalah bagian dari etika yang tidak baik. Karena itulah orang-orang tua di Gayo mengingatkan anak-anaknya untuk menghindari prilaku ini. “Nti terojo”, adalah ungkapan bernada melarang yang sering terdengar jika kita berada dalam satu majelis atau keramaian. Bagi orang yang cepat mengerti kata-kata ini sudah cukup untuk menahannya dari tindakan yang tidak layak seperti mendahului orang lain yang kapasitasnya lebih baik. Bagi mereka yang mengerti kata ini memiliki makna yang sangat dalam, sedalam etika orang Gayo sendiri yang sangat menjaga gerak-gerik agar selalu dalam kepatutan.

Dalam etika urang Gayo, menonjolkan diri adalah sesuatu yang tidak baik. Makanya orang Gayo dimana-mana dianggap kurang sukses mendapat jabatan pemimpin karena prilaku menahan diri untuk tidak menonjolkan diri telah terpatri menjadi kepriabadiannya. Namun bukan berarti tidak ada orang Gayo yang meraih jabatan pemimpin. Bahkan di Banda Aceh dan Medan pun ada urang Gayo yang memimpin SKPD, menjadi rektor, dan sebagainya. Tentunya mereka mendapat jabatan tersebut bukan karena terojo.

Sebaliknya, larangan agar tidak berprilaku terojo sesungguhnya adalah dorongan tersirat agar untuk melakukan sesuatu orang harus mempersiapkan diri dan kapasitasnya terlebih dahulu. Siapapun berhak menjadi imam shalat, khatib Jum’at, pencermah, geuchik, dan jabatan-jabatan yang yang sifatnya memimpin jika ia telah memiliki kapastitas yang diakui oleh komunitas masyarakatnya. Larangan terojo sesungguhnya adalah motivasi untuk berprestasi, bukan memasung seseorang untuk maju dalam satu bidang.

Mengamati para calon bupati/wakil bupati di Gayo, baik calon independen dan wakil parpol, kita akan diajak menerawang latar belakang serta sepak terjang masing-masing calon. Kita akan melihat usia, profesi, keluarga, prestasi, dan sebagainya. Dalam pikiran kita berkecamuk pertanyaan seputar apa kiranya yang diandalkan para calon ini sehingga merasa percaya diri untuk menjadi pemimpin di Gayo. Kapasitas apa kiranya yang mereka miliki sehingga merasa layak untuk menjadi pemimpin di tengah masyarakatnya yang nota bene adalah keluarga besarnya sendiri. Tidakkah mereka terojo?

Ada calon yang namanya saja baru kali ini terdengar lantas hendak menjadi bupati/wakil bupati. Mungkin selama hidupnya menjadi keplor dan kadus saja belum pernah, lantas mau menjadi bupati/wakil bupati. Menurut saya ini terojo. Pahamkah ia karakteristik masyarakat yang hendak ia kengkun?

Ada calon yang lama di rantau hendak menjadi bupati/wabup, mengertikah ia dinamika masyarakat Gayo? Ada lagi calon yang lahirnya saja di luar Gayo dan bahasa Gayo-nya saja belepotan lantas hendak maju menjadi imam masyarakat Gayo? Bukankah yang seperti ini terojo?

Ada calon yang berlatar belakang jauh sekali dari dunia pemerintahan. Bukankah ini terojo? Mengertikah ia mekanisme pemerintahan dengan segala dinamikanya? Memang jabatan bupati/wabup adalah jabatan politik yang bebas diperebutkan, tapi setelah jabatan tersebut didapat yang ditunggu adalah kemampuan yang mumpuni menata pemerintahan. Tidak ada lagi masa belajar, tidak ada lagi masa trial and error, yang ada adalah praktik dan aplikasi.

Dari sekian calon yang ada, menurut penulis belum ada yang berkaliber tokoh; apakah tokoh pendidikan, tokoh pemerintahan, tokoh agama, tokoh pertanian, tokoh pedagang, dan sebagainya. Ketokohan calon-calon yang ada mungkin hanya dalam hal menokohi orang. Mungkin kevakuman tokoh inilah yang membuat banyak calon yang terojo lantas menokohkan diri di depan publik Gayo.

Berkaca pada kelayakan menjadi imam sebagaimana penulis nukilkan di atas, seharusnya orang yang hendak maju menjadi pemimpin daerah yang nota bene adalah imam bagi masyarakatnya melihat-lihat sekeliling dulu, apa tidak ada orang lain yang lebih pantas untuk didukung sama-sama ketimbang langsung terojo memajukan diri. Mengapa kita tidak pernah fair mengakui ketokohan orang lain?

Prilaku terojo dalam politik di Gayo tidak lain disebabkan oleh pergeseran nilai, khususnya nilai-nilai etika. Jika saja para calon memahami makna kepemimpinan dalam konsep Sarak Opat, mungkin calon-calon yang terojo akan malu hati. Reje musuket sipet, Petue musidik sasat, imem muperlu sunet, rakyat genap mupakat. Ungkapan tersebut sekaligus mencerminkan syarat kapasitas seseorang untuk menjadi reje di Gayo, yakni syarat umur, keilmuan, ketokohan, kelayakan, dan lain-lain; sehingga ia benar-benar bisa musuket sipet, meupeutimang berbagai tingkah polah masyarakat yang dipimpinnya. Karena itulah, terojo dalam berpolitik bukan hanya tidak etis tetapi malah mudharat bagi yang melakukannya. Wallahu a’lam.

*Pemerhati Pemerintahan, tinggal di Banda Aceh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.