Oleh : Drs. Jamhuri, MA*
Sebagai putra kelahiran Kabupaten Bener Meriah (dulu bagian dari Aceh Tengah), saya sering pulang kampong walaupun tidak satu atau enam bulan sekali. Ketika sampai di kampong saya sering bertanya kepada anak-anak yang sedang bermain dengan kawan-kawannya “kamu anak siapa” (Gayo : sa geral namamu win/ipak), atau bertanya kepada orang lain, itu anak siapa ? Pertanyaan ini saya ungkapan karena banyak sekali anak-anak yang pada bulan ini saya pulang ia masih kecil, tapi setahun lagi sudah besar. Pada bulan ini saya pulang ada yang belum menikah, tapi tahun depan ia sedah punya momongan sehingga sering saya memanggil nama (bukan peraman atau perinen) nya. Terkadang juga bulan ini ia masih gadis atau lajang, dua bulan lagi ia sudah tidak punya suami atau isteri lagi karena sudah cerai.
Fenomena ini lahir kembali dalam kehidupan saya ketika melihat (membaca) Koran Serambi Indonesia minggu (10/07), dengan judul “178 Tokoh Ikut Independen” di halaman pertama dan bersambung kehalaman 7, di situ ditulis nama-nama calon independen yang sudah memenuhi syarat sebagai peserta Pemilukada. Lebih khusus saya perhatikan pojok kanan atas pada halaman tujuh (7), halaman tersebut memuat (12. Bener Meriah). Saya baca satu persatu nama calon Bupati dan wakil calon Bupati yang akan memimpin tanah kelahiran saya.
Karena merasa penasaran dengan nama-nama yang tertulis, perhatian tertuju kembali ke halaman pertama, dijudulnya tertulis kata “tokoh”. Dalam benak saya terlintas apakah penulis Serambi Indonesia yang salah atau seharusnya ditulis dengan kata tokoh, saya menjawab sendiri apa yang saya tanyakan, bukankah mereka itu akan memimpin satu Kabupaten atau Kota yang didalamnya tinggal puluhan atau ratusan ribu orang dengan berbagai tingkat keilmuan dan strata social sehingga memaksa saya mencari makna tokoh tersebut.
Dari pencarian itu saya dapatkan makna kata tokoh diartikan dengan seseorang yang terkemuka atau kenamaan dibidangnya. Atau seseorang yang memegang peranan penting dalam satu bidang atau aspek kehidupan tertentu dalam masyarakat. Ada lagi yang memahami kata tokoh dengan sesorang yang mempunyai peranan dan pengaruh penting dalam satu bidang tertentu dalam masyarakat…, sesorang tersebut berasal, dibesarkan dan hidup dalam lingkungan masyarakat atau puak … (http://melayuonline.com/ind/personage).
Tidak bersalahan kiranya bila kita padu nama-nama yang muncul sebagai tokoh tersebut dengan batasan arti yang telah disebutkan, pemaduan dapat dilakukan secara sederhana. Saya bertanya kepada sahabat yang tinggal di Aceh Tengah dan mengenal Kabupaten Bener Meriah karena ia punya kekerabatan dengan orang yang tinggal disana, dari segi profesinya saya menganggap beliau mengenal siapa tokoh-tokoh di Bener Meriah sesuai dengan kreteria yang telah disebutkan. Tapi ketika saya bertanya apakah ia mengenal semua yang mencalonkan diri dari jalur independen di daerah ini, ia menjawab dengan kata yang saya belum pernah dengar yaitu “TIMUN” bang ! artinya : tiba-tiba muncul.
Masih dalam batasan makna di atas, seorang tokoh biasanya memiliki peran yang lebih unggul dibanding orang lain dalam bidang tertentu. Mereka yang memiliki keahlian di bidang agama yang melebihi orang lain disebut dengan tokoh agama, memiliki keahlian dibidang adat dengan berprilaku beradat disebut dengan tokoh adat. Mereka yang memiliki keahlian tentang social kemasyarakat secara menyeluruh disebut dengan tokoh masyarakat.
Fenomena politik saat ini merubah konsep dasar makna “tokoh” dengan kemampuan mengumpulkan lebih kurang 4000 atau 6000 KTP dianggap sebagai tokoh. Orang yang mendapatkan KTP sebagaimana ditetapkan sebagai syarat oleh KIP juga menganggap dirinya sebagai tokoh. Apakah fenomena ini menunjukkan bahwa kita sebenarnya tidak punya tokoh, atau memang pemahaman terhadap kata tokoh itu sudah berubah sehingga banyak orang yang bisa membahasakan diri dengan prilakunya sebagai tokoh. Bahkan juga mungkin kehormatan dan penghargaan terhadap tokoh tidak ada lagi ?
Pembahasan kita lebih lias lagi kepada mereka yang akan membangun tanah kelahiran saya dan masyarakat Bener Meriah tidak terkecuali Aceh Tengah dan Gayo lain, tanah tersebut kita dapat dari warisan Raja yang megah dan dikenal oleh semua orang, beliau berkuasa dengan pusat kerajaan di Buntul Linge. Pada masanya Kerajaan Linge dikenal dan disegani sehingga dicatat oleh sejarah sebagai kerajaan besar, apakah mereka yang kita jadikan tokoh dengan hitungan KTP dapat membawa Bener Meriah dan Aceh Tengah menjadi pemerintahan yang agung, masyarakatnya yang sejahtera karena potensi alam yang dimiliki.
Kita harus yakin dan tetap harus menjawab bisa, karena kepada mereka sudah kita serahkan foto copy KTP, sebagai pengakuan kita bahwa mereka yang sanggup dan mampu membawa Negeri Antara kepada negeri yang tidak lagi dalam khayalan. Kepada mereka telah kita serahkan partai sebagai perahu menuju pulau kesejahteraan rakyat Gayo, yang menutut sejarah juga orang Gayo merupakan bagian dari penumpang kapal Nabi Nuh. tapi yang menjadi permasalahan kecil tapi sangat penting, kenapa sahabat saya yang tinggal di kitaran Bener Meriah tidak mengenal mereka ?
Hal yang sama tidak hanya kita dapatkan di Bener Meriah, Aceh Tengah dan wilayah Gayo yang lain, tetapi juga di daerah-daerah yang pernah menjadi wilayah kerajaan Linge di Pesisir.
Pergeseran pemahaman terhadap makna kata “tokoh” atau “ketokohan” yang diterjemahkan dalam kehidupan perpolitikan hari ini menunjukkan keprihatinan, menjadikan masyarakat awam kebingungan. Mudah-mudahan tidak ada diantara calon baik idependen ataupun partai yang masih menganut paham kekuatan sebagai alat mencari kekuasaan, tidak ada lagi anggapan uang sebagai Tuhan dalam kehidupan (uang mencari uang). Karena kalau itu masih ada, maka cita-cita membawa Gayo menjadi daerah maju tidak pernah tercapai, dan label sebagai daerah terisolir dan pedalaman Aceh akan selalu melekat.
Sy tdk mmprsoalkan, tokoh.. Kalo harus tokoh yg benar terus calon maka kt harus menerima yang itu2 saja bahkan umur diatas 55. Yg pnting orng yg bs memimpin daerah, walau mreka baru muncul, ini sngat luar biasa sudah brani tampil, dan sy sangat stuju kalo pmilihan tanpa harus dengn uang, ini yg menghancurkan kita smua, krn secara tdk lngsung kt sdah mengajarkan korupsi.