Catatan : Sadra Munawar
Pertanyaan ini hadir di tengah – tengah pembaca budiman berangkat dari kondisi terkini kabupaten Bener Meriah, daerah penghasil kopi yang dikenal dengan wilayah agraria dan kekayaan alam yang luar biasa melimpah ini membuat kita berbangga diri sebagai manusia yang hidup dan melangsungkan kehidupannya di negeri berhawa sejuk ini.
Sebagai salah satu kabupaten tujuan wisata tentu kita tidak cukup dengan rasa bangga saja, harus banyak belajar dengan daerah yang telah sukses mengangkat perekonomian masyarakatnya dari industri wisata, Kota Batu misalnya daerah hasil pemekaran Kabupaten Malang ini, telah diakui kesuksesannya di bidang wisata.
Rasa bangga yang kita miliki tadi ternyata ironis dari beberapa sisi yang membuat daerah ini selalu menjadi perbincangan “hangat” daerah tetangga bahkan sampai ke telinga saudara-saudara kita di Ibu Kota Provinsi, dari berbagai permasalahan yang terjadi di daerah ini, pemerintah masih terlihat kurang serius mewujudkan upaya perbaikan.
Sebagai contoh maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak yang baru awal tahun 2021 sudah lima kasus menjadi “kado” untuk pimpinan daerah ini, kasus Ijazah Palsu, pengedar narkoba, dugaan Ilegal Loging oleh oknum anggota dewan, gajah ngamuk, jalan berlubang selanjutnya berkaitan dengan seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (JPTP) bahkan sampai tiga kali diulang, lagi-lagi ini menjadi nilai negatif untuk daerah yang baru berusia remaja ini.
Belum lagi kita bicarakan soal mutasi belakangan ini, jika kita melihat secara aturan penulis menduga pemerintah kabupaten Bener Meriah sudah menempatkan aturan di “bawah meja”, benar saja ada beberapa pimpinan Satuan Kerja Perangkat Kabupaten (SKPK) yang belum sampai enam bulan sudah terdepak dari jabatannya.
Namun jika kita melihat aturan yang ada, terdapat pada Pasal 162 ayat 3 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada), yakni Gubernur, Bupati, atau Walikota yang akan melakukan penggantian pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota, dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pelantikan harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri.
Seterusnya di perjelas lagi pada UU ASN Pasal 73 ayat 7 bahwa Mutasi PNS dilakukan dengan memperhatikan
prinsip larangan konflik kepentingan, dari sini penulis menduga kuat ini mutasi tidak ada izin atau persetujuan tertulis dari Menteri, dan mana mungkin Menteri memberikan izin jika ini melanggar aturan undang-undang.
Agak menggelitik hati dari sederetan problema diatas adalah tidak adanya solusi konkrit untuk penyelesaiannya, meskipun begitu kita tentu saja menaruh harapan besar kepada mereka yang masih memiliki “kuasa” dalam mewujudkan daerah ini menjadi daerah maju dan berdaya saing tinggi, tentunya ini bukan ilusi dan mimpi belaka. Bismillahirrahmanirrahim, Semoga.
*Penulis adalah Pemuda Bener Meriah Asal Samar Kilang
Comments are closed.