Kaya Ate

Oleh Johansyah*

 

Barangkali kita masih ingat, lagu didong Gayo yang bertajuk kutalu-talu karangan Awan Tapa (panggilan penulis untuk Mustafa, AK) mantan ceh klub didong Kala Laut Kebayakan era 70-an. Hemat penulis, lagu ini salah satu lagu pada level papan atas di dataran tinggi Gayo. Wajar, karena menurut pengarangnya lagu ini diciptakan tahun 1985 dengan latar belakang kisah seorang anak yang ditinggal oleh sang ayah dan bunda kerena pisah ranjang (cerai) mengakibatkan dia harus tinggal bersama kakeknya yang buta dan tua renta. Dan memang liriknya juga sangat indah dan memukau.

Penulis tidak akan mengurai lebih jauh tentang isi dan makna lagu ini, namun ada satu nilai filosofis yang penulis lihat dalam ref  lagu dimaksud. Penggalan katanya adalah’ike kaya emas gere musampe, ike kaya ate bewene ara’. Makna kata ini lebih kurang dipahami bahwa kekayaan materi tidak mungkin dimiliki oleh semua orang, namun jika kebaikan dan kekayaan hati jelas dimiliki oleh semua orang.

Pada saat ini, semakin banyak orang yang mengukur dan menjalin interaksi sosial dengan meteri atau kekayaan dan menapikan hubungan yang berbasis moral dan perilaku-perilaku kebaikan. Mari lihat, menjalang pilkada ini sebagian besar para calon bupati/wakil bupati (cabup/wabup) sibuk dengan mengakumulasi modal, menghimpun dana sebesar mungkin dalam mengahadapi perhelatan pilkada di arena provinsi maupun kabupaten/kota. Asumsi yang mereka bangun adalah bahwa dengan modal besar maka mereka akan mengadakan pendekatan dengan masyarakat, menegosiasi mereka agar dalam pilkada nanti mereka dicontreng.

Tidak hanya itu, para calon pun menyiapkan bingkisan-bingkisan dana untuk membantu kegiatan di sebuah kampung, dana pembangunan masjid, bahkan dengan modal besar barangkali mereka mampu mendanai kebutuhan keluarga di satu kampung selama sebulan penuh. Menjelang pilkada juga, makin banyak bermunculan ahli-ahli sedekah musiman yang barangkali tanpa modal keikhlasan, mereka mengahambur-hamburkan uang untuk menebar simpati dan berharap empati dari rakyat dengan tidak lupa membisikkan “pilihlah saya, pilihlah saya”.

Masyarakat sendiri, karena sudah idamalen (dibiasakan) dengan pola materialis ini, maka akhirnya mereka terbiasa. Artinya saat ini, siapapun calon yang mendatangi kampung dan komunitas mereka, pertanyaan pertama yang dilontarkan adalah “sana singuk iosah tengku ku kami isien, ke gere entimi harap” (apa yang bisa anda sumbangkan, kalau tidak jangan harap), begitulah kondisi masyarakat kita sekarang, walaupun tidak semuanya demikian.

Karena kondisinya seperti ini maka tidak jarang kita temukan adanya ikatan perjanjian atau kontrak politik, misalnya jika “jika saya menang, akan menyumbangkan sound system ke masjid, karena itu yang dibutuhkan, atau jika saya menang maka ambillah separuh penghasilan saya untuk pembangunan masjid”. Dan janji-janji lainnya yang pada hakikatnya bertujuan untuk memperoleh dukungan.

Pane Bergaul

Dijamin bahwa tidak selamanya kekayaan, materi atau uang akan membuat seseorang didukung, dikagumi karena banyak memberi, ditakuti karena berkuasa dengan kekayaannya. Harus disadari bahwa faktor yang sangat penting untuk dimiliki oleh semua calon sebenarnya adalah   pane bergaul (pandai dalam berinteraksi dan berkomunikasi), dengan menunjukkan aksi-aksi kebaikan tanpa rekayasa dan manipulasi. Inilah yang kita sebut dengan kaya ate (kaya hati).

Jika kita mau, semua bisa menjadi orang yang kaya hati. Sebab kaya hati tidak membutuhkan modal materi, namun kaya hati membutuhkan kejernihan jiwa dan kemantapan berpikir, ikhlas, tulus dan berbuat tanpa pamrih. Perilaku; bicara dan perbuatan kita akan mencerminkan kejernihan jiwa yang sebenarnya. Percuma saja kita berupaya menunjukkan bahwa kita orang yang baik jika pada hakikatnya niat dan jiwa tidak bersih. Walaupun berusaha dengan menampilkan materi, toh akhirnya orang akan membaca dan menilai kita serta memberi label tertentu kepada kita. Orang-orang akan berbisik “dekat pilkadani rajin ku mersah ge, rajin sedekah, dan mera ukenne kaca motor ike demu urum kite, tengaha lagu gere ken sanahne pe” (artinya menjelang pilkada baru melakukan pendekatan ke masyarakat). Ini menunjukkan bahwa kebaikan yang didemonstrasikan adalah kebaikan yang semu dan manipulatif, tidak tulus dan tidak mencerminkan jiwa mereka yang sebenarnya.

Ini merupakan bukti nyata, bahwa para calon ingin dinilai baik oleh masyarakat luas. Jika demikian, mengapa harus dibuat-buat atau direkayasa, mengapa tidak dari dulu mereka membangun komunikasi dengan rakyat apa adanya, kerja sama, saling tolong menolong, peduli, toleransi dan merasakan apa yang orang lain rasakan. Itulah anehnya, walaupun berbuat baik semacam ini nyaris tanpa modal materi, tetapi jarang sekali yang mampu melakukan. Yang dominan adalah ketika seseorang berhajat untuk mencalonkan diri, baru menampakkan jongornya (batang hidungnya) ke halayak ramai, sebelumnya kita tidak tau entah di mana, apa pekerjaannya, bagaimana pola hubungannya dengan orang lain.

Media yang menjembatani perbedaan antara si kaya dengan di miskin (jema nyanya unrum jema susah) dalam pola interaksi sosial yang hakiki bukanlah diukur dengan metari, kekayaan dan harta yang berlimpah ruah, melainkan diukur seberapa mampu seseorang dapat memahami dan merasakan apa yang dialami orang lain, masalah apa yang dihadapi atau bantuan apa yang dibutuhkannya dengan rasa kepedulian yang mendalam.

Namun begitulah demokrasi yang sedang kita jalani sekarang, nama besar tidak menjadi pertimbangan, raport baik dan jejak rekam riwayatnya pun dianggap tidak penting ketika seseorang ingin maju menjadi calon. Yang dipikirkan adalah bagaimana mengumpulkan materi agar bisa membujuk masyarakat untuk mau memilih dia. Secara tidak langsung pola yang diterapkannya adalah pola jual beli dengan berusaha membeli nurani rakyat tanpa peduli murni atau tidak, belohe.

Sayang, banyak yang mengukur dan menilai interaksi sosial yang baik dengan kekayaan materi dan harta yang melimpah. Mereka menilai bahwa dengan rupiah atau dengan kekayaan semuanya bisa diperoleh. Dengan kekayaan orang akan berkuasa dan cukup menggunakan telunjuk kirinya (tilok pelen) untuk memerintahkan orang lain seperti komandan memerintahkan anak buahnya. Memang benar semua pasti akan terlaksanakan walau cara memerintahnya dinilai kasar dan sangat jelek. Jadi ia dipatuhi dan ditakuti karena kekayaannya. Tidak hanya itu, dia bangga ketika kentutnya dicuim ‘ikhlas’ oleh pembantunya.

Akhirnya, penulis mengingatkan bahwa kekayaan yang paling berharga sebenarnya adalah kebaikan, berbuat baik pada diri dan orang lain. Kekayaan ini tidak akan pernah ternilai dengan kekayaan materi berapapun banyaknya. Kekayaan kebaikan inilah yang sejatinya menjadi modal utama para cabup/wabup Aceh Tengah yang akan datang. Kekayaan materi hanyalah pendukung dan jelas bukan substansi. Belilah hati rakyat dengan kebaikan dan jangan beli hati mereka dengan materi. Semoga proses pilkada akan datang tidak lagi pada level anak Taman Kanak-Kanak (TK), ibu guru TK sering bilang “ayo anak-anak, siapa banyak menulis akan dikasih kue”. Jika bupati/wakil bupati yang ingin kita hasilkan bukan tipe  anak-anak, maka prosesnya pun jangan proses anak-anak.

*Penulis adalah Mahasiswa Aceh Tengah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.