Takengen | Lintasgayo.com- Tumpang tindih kepemilikian tanah di Kampung Takengon Timur, Kecamatan Lut Tawar, Aceh Tengah sudah berlangsung lama. Bahkan ada tanah diatas sertifikat, kembali keluar sertifikat.
Belum lagi status tanah adat yang dikelola masyarakat sudah cukup lama, namun tetap terjadi tumpang tindih kepemilikan. Masing masing pihak mengklaim sebagai pemilik dengan berpedoman kepada surat, namun penyelesaian tak ada.
Melihat keadaan ini, Kepala Kampung (Reje Takengon Timur) Iwan Zuhri bersama perangkat kampung mengundang seluruh pemilik lahan yang berada di kawasan tanggul Boom- Mendale, Kelurahan Takengon Timur.
Dialeksis.com yang ikut dalam pertemuan berlangsung di Aula Kantor Reje Takengon Timur ini, Senin (12/07/2021) menyaksikan musyawarah tersebut berlangsung secara kekeluargaan.
Hadir dalam pertemuan itu ketua RGM, M. Saleh, Imam Kampung, dan seluruh perangkat kampung sampai dengan para Penggulu (kepala dusun).
Para pemilik lahan yang tumpang tindih itu, secara tutur di Gayo masih memiliki hubungan kekerabatan dan ada diantara mereka yang tinggal berdekatan, sehingga Reje menginginkan agar persoalan tumpang tindih tanah itu dapat diselesaikan dengan baik.
Hamzah Ema, misalnya yang menceritakan kronologis tanah di seputaran kawasan tanggul Danau Lut Tawar itu menjelaskan, dia (keluarganya, orang tuanya) tidak memiliki tanah seujung kukupun di sana. Namun mengapa dalam surat sertifikat ada menyebutkan tanah yang dimiliki seseorang berbatasan dengan tanah orang tuanya Aman Syembani.
“Orang tua saya tidak punya tanah di sana, kami hanya bersawah di tanah Aman Jenen, orang tua saya tinggal di sana sejak tahun 1953. Tanah sawah Aman Jenen lah yang kami kelola, kemudian dilanjutkan pengelolaanya oleh keturunanya, saudara saya ini (Abdul Halim), ” sebut Hamzah Ema mantan anggota DPRK Aceh Tengah, sambil menunjuk Abdul Halim Syafar, keturunan dari Aman Jenen.
“Jadi jangan kaitkan orang tua saya yang sudah alrmarhum, karena kami memang tidak punya tanah di sana. Untuk itu bila ada tanah tanah yang memiliki dokumen berbatasan dengan tanah Aman Syembani tolong dihapus,” pintanya.
Kemudian Halim Syafar (keluarga Aman Jenen) juga menjelaskan tanah sawah yang dikelola orang tuanya, sejak jaman dulu semasa dia masih kecil, dimana penjelasan itu telah dikuatkan Hamzah Ema. Pada kesempatan itu turut hadir pula dari keturunan Aman Jemen.
“Ketika kami mau mengurus sertifikat ke BPN, mengalami benturan, ternyata ditanah keluarga kami sudah ada sertifikat atas nama pihak lain,” sebut Okan salah satu keluarga dari Aman Jenen.
Di atas tanah ini ada muncul pihak lain yang mengklaimnya sebagai pemilik, dimana sudah mengantongi bersertikat (Fadlan dan Hadijan Kamal, serta Samson- Samsul Bahri).
Demikian dengan Muchlis Gayo, pemilik tanah lainya sudah mengantongi sertifikat, dia mendapatkan tanah itu dengan membelinya dari Hamzah AW. Sertifikat induk (Hamzah AW) itu telah dipecah dengan sejumlah nama, termasuk untuk Muhlis Gayo.
Menurut Muhlis Gayo, sertifikat adalah dasar hukum terkuat dalam kepemilikan tanah. Bila ingin membatalkan sertifikat, silakan menempuh upaya upaya resmi.
Demikian dengan pemilik lainya, pada kesempatan itu menyampaikan data kepemilikan tanah. Bahkan keluarga Ismail Nawar yang hadir dalam pertemuan itu turut serta melampirkan dokumen tanah soal tanah yang dimilikinya dari negara pada tahun 1976.
Tanah tersebut sampai kini tetap dikelola keluarga Ismail Nawar. Batas batas tanah juga tidak pernah berubah dan tidak ada pihak yang mempersoalkan masalah batas. Namun tanah itu masuk dalam sertifat induk Hamzah AW.
Hamzah AW (armarhum) juga telah menyerahkan tanah yang sudah bersertikat tersebut kepada Ismail Nawar dalam bentuk akte jual beli pada tahun 2006. Sehingga tanah Ismail Nawar baik berpedoman pada Surat Keterangan tanah dari Camat tahun 1976 dan akte jual beli 2006 tidak mengalami perubahan.
Namun ada kejutan dari pengakuan Irun Rejeki, anak Hamzah AW. Dia awalnya tidak mengetahui dalam sertifikat tanah ayahnya ada pemecahan sertifikat untuk Budi Yazir yang kemudian menjualnya kepada Padlan.
Karena, pengakuan Irun, dia juga membeli tanah itu dari pihak lain (Didi dan Azmi) kemudian menjualnya kepada saudara Ajidan Kamal.
“Saya juga saya beli, kemudian menjualnya, ternyata tanah yang saya beli itu kemudian saya jual, rupanya masuk dalam sertifikat induk ayah saya,” sebut Irun Rejeki.
Salah seorang tokoh masyarakat Takengon Timur, Syarkawi, juga memberikan penjelasan. Syarkawi adalah tokoh masyarakat yang mengetahui latar belakang sejarah tanah di sana. Menurutnya tanah rawa itu baru diributkan sejak dibangun tanggul Boom- Mendale.
Menurut Syarkawi, tanah tersebut sebaiknya dikembalikan kepada sejarahnya, siapa pemilik awalnya secara adat, siapa yang menguasai tanah negara yang kemudian memiliki sertifikat.
Menurut Syarkawi tanah yang dimiliki secara adat itu dikembalikan kepada pemiliknya. Baru sisanya tanah negara yang bersertifikat.
Namun permintaan Syarkawi itu sulit dikabulkan, karena disana sudah terjadi tumpang tindih kepemilikan lahan.
Melihat tumpang tindihnya persoalan, tidak mungkin aparatur Takengon Timur mampu menyelesaikan persoalan itu.
Atas dasar mupakat penuh kekeluargaan, peserta yang hadir dalam pertemuan itu meminta Reje Takengon Timur untuk menghadirkan pihak BPN, agar menunjuk/ mematok lokasi tanah dan menentukan siapa pemiliknya.
“Atas tanah yang tumpang tindih ini saya minta maaf, satupun surat tidak akan saya tanda tangani sebelum semuanya jelas, sebelum adanya kekuatan hukum yang pasti,” sebut Reje Iwan Zuhri.
Rapat penuh kekeluargaan itu menurut Reje Takengon Timur, Iwan Zuhri, merupakan rapat perdana yang diikuti lengkap perangkat kampung. Menurut Reje pihaknya juga akan mengadakan rapat serupa untuk mengetahui sejarah tanah dibagian selatan.
Karena tanah bagian selatan dari para pemilik yang hadir di Kantor Reje, Senin (12/07/2021) juga bermasalah. Di sana juga terjadi persoalan yang sama dengan tanah dibagian timur/ utara kantor reje itu. (Dialeksis.com)
Comments are closed.