Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia telah mengabulkan gugatan para pemohon mengenai calon independen di Aceh. Putusan Mahkamah Konstitusi No 35/PUU-VIII/2010 tersebut jika dilihat dari sudut pandang yuridis adalah benar dan sah karena dilakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Mahkamah Konstitusi. Tetapi sebaliknya, jika putusan tersebut dilihat dari sudut pandang politis maka putusan tersebut dapat menyemai benih-benih konflik bersenjata baru di Aceh. Karena Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang di dalamnya hanya sekali saja memberikan kesempatan bagi calon independen untuk bertarung dalam pemilukada di Aceh adalah dalam rangka kompromi politik dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) agar pasca penandatanganan MoU Helsinki, para calon Bupati/Walikota/Gubernur dari kalangan eks kombatan GAM dapat maju sebagai calon Bupati/Walikota/Gubernur sebagai bagian dari pembangunan perdamaian Aceh.
Mahkamah Konstitusi harus menyadari secara komprehensif bahwa kedudukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh adalah undang-undang yang bersifat khusus dan dihasilkan melalui proses dialog dan negosiasi yang panjang dan melelahkan sekaligus juga sebagai jawaban akhir bagi penyelesaian konflik bersenjata yang telah berlangsung selama ± 32 tahun di Aceh. Walaupun secara hirarkis perundang-undangan, posisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 adalah sama dengan undang-undang lainnya dan berada dibawah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tetapi pada kenyataannya dilapangan peran dan fungsi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 justru menjadi hukum dasar (grondnorm) bagi babak baru proses pembangunan kepercayaan dan perdamaian di Aceh sekaligus sebagai landasan untuk melakukan perubahan yang fundamental dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Aceh. Putusan MK walaupun benar dan sah secara yuridis formil tetapi sangat kontra-produktif dengan komitmen dan konsistensi pemerintah pusat (eksekutif) dalam menyukseskan proses perdamaian Aceh.
Aceh adalah daerah otonom pertama di Indonesia yang menerapkan konsep calon independen dalam pemilihan Bupati/Walikota/Gubernur dan itupun hanya diberikan peluang satu kali saja seiring dengan belum terbentuknya partai politik lokal di Aceh. Sistem partai politik lokal di Aceh merupakan sebuah sistem yang cerdas yang coba ditawarkan oleh para eks kombatan GAM kepada publik Aceh dalam rangka melakukan pendewasaan berpolitik dan melibatkan peran serta dan partipasi luas masyarakat dalam kehidupan perpolitikan di Aceh. Bahkan diharapkan konsep partai politik lokal yang ada di Aceh dapat diadopsi oleh daerah-daerah konflik lainnya di Indonesia seperti Papua dan Maluku Selatan dalam rangkan memberikan “warna baru” dalam sistem perpolitikan nasional Indonesia. Selanjutnya, ditengah-tengah krisis kepercayaaan yang dialami oleh masyarakat luas di Indonesia terhadap keberadaaan partai politik nasional yang dianggap kurang memperhatikan aspirasi politik dan kepentingan masyarakat di daerah/wilayah pemilihannya maka dengan konsep baru yang ditawarkan oleh eks kombatan GAM yaitu sistem partai politik lokal maka diharapakan rakyat di daerah dapat lebih menyuarakan kepentingan dan aspirasi politiknya secara bebas dan bertanggung-jawab melalui jalur partai politik lokal. Penguatan-penguatan kearah sana sebenarnya yang ingin dilakukan ke depan dalam rangka memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan dan kesejehateraan rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Tindakan beberapa individu/kelompok pemohon yang menajukan uji materi Pasal tentang calon independen yang ada di dalam UU PA Nomor 11 tahun 2006 ke Mahkamah Konstitusi merupakan tindakan orang-orang yang “haus kekuasaan” dan hanya memikirkan kepentingan pribadi/kelompoknya saja walaupun apa yang mereka lakukan wajib dihormati sebagai bagian dari supremasi hukum di Indonesia. Apa yang mereka lakukan juga dilindungi oleh hukum dan merupakan bagian dari pelaksanaan hak politik mereka sebagai warga negara Indonesia tetapi yang patut disayangkan adalah Presiden masih “membuka kran” yang begitu lebar dan luas bagi setiap warga negara yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan uji materi terhadap semua isi Pasal yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Seharusnya Presiden menyadari akan hal ini sebelumnya dan segera mengambil langkah-langkah antisipasi seperti melakukan amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 untuk memasukkan/mengakomodir berbagai macam klausul yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang dianggap “masih bertentangan” dan “inkonsisten” dengan prinsip-prinsip dasar Undang-Undang Dasar Tahun 1945 agar proses perdamaian Aceh dapat kekal dan abadi.
Kali ini MK mengabulkan uji materi tentang calon independen dan besok ketika ada kelompok/individu yang memiliki legal standing dan mengajukan uji materi tentang partai politik lokal di Aceh maka dipastikan bahwa MK pun akan mengabulkan permohonan uji materi para pemohon tersebut karena pada dasarnya sistem partai politik lokal “sangat bertentangan” dan “inkonsisten” dengan sistem partai politik yang berlaku secara nasional di Indonesia. Apabila hal itu benar terjadi, maka sudah dapat dipastikan bahwa konflik baru akan lahir kembali di Aceh. Bahkan yang lebih ekstrim lagi pihak eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) akan menarik diri dari semua proses perundingan damai, kesepakatan perdamaian dan pembangunan perdamaian yang telah dan sedang dilakukan di Aceh. Hal itu sangat beralasan hukum karena keberadaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang “disepakati” sebagai “pintu masuk” bagi pembangunan Aceh baru pascakonflik telah direduksi sedemikian rupa oleh Mahkamah Konstitusi. Secara yuridis formil, Presiden dapat mengatakan bahwa “Saya tidak dapat mengintervensi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan para pemohon mengenai uji materi terhadap keberadaaan partai politik lokal di Aceh karena negara kita adalah negara yang berdasarkan hukum (rechstaat) dan setiap warga negara memiliki hak dan kedudukan yang sama didepan hukum dan pemerinatahan” tetapi secara politis komitmen dan konsistensi Presiden dalam mendukung terwujudnya perdamaian Aceh yang kekal dan abadi melalui proses penyelesaian konflik yang adil dan bermartabat akan dipertanyakan berbagai kalangan. Dan hal ini menjadi “pekerjaan rumah” bagi Presiden dalam rangka mengambil langkah-langkah konstitusional dalam rangka mengamankan proses perdamaian Aceh agar dapat berjalan sesuai dengan koridor, spirit dan road map yang telah disepakati bersama oleh kedua-belah pihak di Helsinki.
Secara logika, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh pasti bertentangan dan inkonsisten dengan prinsip-prinsip dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena undang-undang tersebut merupakan “peraturan pelaksana” dari sebuah kesepakatan perdamaian yang bernama Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia pertengahan 2005 lalu. Dan MoU Helsinki tersebut dilahirkan melalui proses dialog dan negosiasi yang berliku sehingga menghasilkan beberapa kesepakatan yang saling diterima oleh kedua-belalh pihak salah satunya adalah sistem partai politik lokal di Aceh. MoU Helsinki adalah produk politik yang digunakan oleh kedua belah pihak untuk mengakhiri konflik bersenjata yang telah berlangsung ± 32 tahun di Aceh. Dan MoU Helsinki juga digunakan sebagai alat untuk mengakomodir kepentingan politik yang berbeda agar pihak GAM pada saat itu mau menerima dan menandatangani kesepakatan perdamaian dengan Pemerintah Republik Indonesia. Kalau dirunut ke belakang, pihak GAM melakukan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia karena pihak GAM tidak sepakat dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tetapi mengapa ketika MoU Helsinki tersebut sudah ada dan beberapa klausul yang ada didalamnya adalah tentang calon independen dan partai politik lokal kemudian ketika isi MoU Helsinki tersebut dijadikan sebagai landasan utama dalam merancang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang di dalam UU PA Nomor 11 Tahun 2006 tersebut juga diatur tentang calon independen dan partai politik politik lokal (dimana di awal kesepakatan MoU Helsinki klausul tentang calon independen dan partai politik lokal itu juga ada) dan kemudian lagi, Mengapa lantas isi Pasal yanga ada di dalam UU PA Nomor 11 Tahun 2006 itu diuji ke Mahkamah Konstitusi?, hal ini merupakan pertanyaaan yang harus dijawab oleh masing-masing aktor perdamaian di Aceh.
*Mahasiswa Program Ph.D.in Planning and Development of University Northern Malaysia (Universiti Utara Malaysia) & Wali World Gayonese Association (WGA).