Oleh AS. Dewi*
Insiden penyerbuan ke Lembaga Pendidikan Terpadu Fajar Hidayah di Blang Bintang (Serambi, 27 November 2010 lalu) adalah konflik sosiologis yang terjadi antara masyarakat dengan lembaga pengelola pendidikan. Konflik ini terjadi karena adanya pertentangan nilai dalam melihat satu masalah, dalam hal ini pelaksanaan kegiatan pendidikan. Masyarakat bereaksi karena ada aksi yang menurut mereka tidak patut; dan karena interaksi kedua komponen juga terbilang buruk turut memicu terjadinya insiden tersebut.
Mengapa insiden di Fajar Hidayah (FH) terjadi? Dalam tulisan singkat ini penulis mencoba menganalisisnya dari perspektif pendidikan, khususnya proses pembelajaran. Pilihan kepada aspek ini didasarkan pada fakta bahwa yang memicu terjadinya insiden tersebut adalah proses pembalajaran yang dianggap menyimpang oleh masyarakat setempat.
Lembaga pendidikan adalah lembaga yang diberi wewenang untuk melakukan proses pembelajaran. Kegiatan pembelajaran adalah proses transfer nilai dari pendidik (guru, dosen, pamong, widyaiswara, dll) kepada peserta didik. Tujuan idealnya tidak lain untuk menanamkan nilai-nilai pada diri peserta didik agar ia mampu menghadapi masalah hidupnya.
Nilai-nilai yang ditransfer tersebut adalah nilai logika (benar-salah), nilai etika (baik-buruk), dan nilai estetika (bagus-jelek). Dalam istilah pendidikan, ketiga aspek ini sering disebut dengan aspek kognitif, afektif, dan psiko-motorik. Hasil yang diharapkan dari kegiatan pendidikan adalah tertranfernya sebanyak mungkin nilai-nilai benar, baik, dan bagus dari pendidik kepada anak didik.
Dalam kegiatan pembelajaran, ada empat aspek yang harus diperhatikan, yaitu tujuan, materi, metode, dan media (TM3). Setiap mata ajar harus memiliki tujuan yang jelas. Ketika tujuan sudah jelas, maka dengan mudah materi, metode, dan media pembelajaran dipilih. Materi adalah muatan wawasan yang akan mengisi aspek kognitif; metode adalah muatan sikap/prilaku yang akan mengisi aspek afektifnya; dan media adalah muatan keterampilan yang akan mengisi aspek psiko-motorik peserta didik.
Karena materi pembelajaran menyentuh nilai kognitif, maka materi yang disampaikan harus dijamin kebenarannya apalagi dalam bidang ilmu pasti atau hal-hal yang sudah menjadi aksioma dalam ilmu sosial. Jika ada hal yang sudah baku kebenarannya tetapi disampaikan secara salah maka nilai yang dilanggar adalah nilai logika. Logika yang salah akan menyesatkan. Contoh sederhana, Prof. Jimly Ashshiddiqie dalam kesempatan kuliah umum di PPS IAIN Ar-Raniry setahun yang lalu bercerita bahwa ada guru mata pelajaran kewarganegaraan anaknya mengatakan bahwa lembaga DPA masih ada sampai sekarang, padahal lembaga itu sudah dihapus dalam amandemen pertama UUD 1945. Informasi ini tentu saja nilai logikanya salah karena memang DPA tidak ada lagi. Karena si guru ketinggalan informasi maka ia telah menyesatkan murid-muridnya.
Kemudian, proses transfer ilmu bukan hanya untuk menjamin nilai kebenaran yang ditransfer, tetapi juga harus menggunakan metode yang baik. Metode bukan hanya benar secara logika, tetapi juga harus baik secara etika. Dalam kasus FH, nilai logika yang diajarkan mungkin hal-hal yang benar (Serambi, 27 Nov 2010 memuat materi Fahmul Qur’an), juga pilihan metode interaktif dan partisipatif adalah pilihan yang baik, setidaknya berdasarkan penilaian beberapa pihak seperti Gubernur Irwandi. Pilihan kepada metode interaktif dan partisipatif dikatakan dapat meningkatkan peran serta peserta didik dalam pembelajaran.
Selain materi yang harus benar dan metode yang baik, media yang digunakan harus bagus. Untuk mencapai tujuan pembelajaran, tidak cukup menggunakan satu atau dua media, diperlukan berbagai media tetapi harus mempertimbangkan aspek etis dan logisnya juga. Penggunaan media sebagaimana dikemukakan di atas; dari aspek logis dan estetis mungkin bisa diterima, tetapi dari aspek etis sangat tidak patut dalam ukuran nilai yang dipegang masyarakat setempat. Tindakan itu dianggap melecehkan ayat-aat al-Qur’an yang suci. Dalam masyarakat Aceh, memotong, menginjak, melempar, ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits adalah prilaku yang buruk dan tidak etis. Apa yang dilakukan oleh tutor dalam pelatihan Fahmul Qur’an tersebut adalah sesuatu tidak etis dan tidak sesuai dengan nilai yang dipegang oleh masyarakat setempat.
Jadi, nilai yang menjadi sumber konflik dalam kasus FH adalah nilai etika, dalam hal ini media yang dianggap bagus tetapi tidak etis. Si tutor yang berpegang pada suatu nilai etika menganggap apa yang dilakukannya tidak melanggar etika yang dipegang oleh peserta pelatihan, atau berpura-pura tidak tau karena terlalu fokus pada tercapainya tujuan pembelajaran tetapi mengabaikan prosesnya.
Apa yang terjadi sesungguhnya dalam insiden FH adalah tidak berjalannya penyelenggaraan pendidikan secara kultural, yaitu penyelenggaraan pendidikan yang mengindahkan nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat setempat. Nilai-nilai budaya erat kaitannya dengan nilai-nilai etika. Ini juga merupakan indikasi lemahnya wawasan kebangsaan si tutor, yang menganggap Aceh sama saja dengan daerah lain di Indonesia, jadi materi, metode, serta media apapun yang digunakan di daerah bisa juga digunakan di Aceh.
Yang perlu dimaklumi oleh siapapun dan lembaga apapun yang bergerak di bidang pendidikan di Aceh adalah bahwa nilai yang kuat tertanam dalam masyarakat Aceh adalah nilai agama dalam arti sikap atau etika keberagamaan. Pemahaman (logika) masyarakat setempat mungkin pemahaman awam, tetapi etika atau sikap keberagamaan mereka sangat tinggi. Terlebih sikap dalam menjaga kehormatan simbol-simbol agama adalah sikap yang tidak bisa ditawar-tawar. Jika sudah menyangkut kehormatan agama, mereka yang jarang shalat dan puasa pun akan bangkit membela.
Bagaimana menyelesaikan kasus Fajar Hidayah bila ditinjau dari aspek penyelenggaraan pendidikan? Menurut penulis, jika lembaga tersebut harus dipertahankan, maka jalan yang mesti ditempuh adalah introspeksi pihak-pihak yang terlibat langsung atau tidak langsung terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan oleh Fajar Hidayah. Pihak-pihak yang harus melakukan introspeksi adalah pemerintah melalui Dinas Pendidikan, pihak Fajar Hidayah, dan Masyarakat.
Pihak pemerintah harus melihat kembali dokumen hukum yang menjadi landasan berdirinya lembaga tersebut. Dokumen hukum yang penulis maksud adalah melihat izin penyelenggaraan pendidikan, siapa yang mengeluarkannya dan bagaimana prosesnya. Jika yang mengeluarkan izin adalah Dinas Pendidikan, maka Dinas Pendidikan ikut bertanggungjawab dalam terjadinya insiden tersebut.
Pemerintah juga harus meneliti kembali visi dan misi pendidikan Fajar Hidayah, jabaran kurikulumnya, tenaga pengajarnya, pelajarnya, sarana-prasarana yang disediakan, dan berbagai aspek lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan; harus dapat dipastikan tidak bertentangan dengan nilai-nilai keacehan. Kemudian, sebagai langkah terakhir, penyelenggaraan pendidikan di Fajar Hidayah harus diawasi oleh tenaga pengawas yang secara rutin melakukan pengawasan penyelenggaraan proses pembelajaran di lembaga tersebut.
Insiden Fajar Hidayah juga harus menjadi batu ujian bagi Dinas Pendidikan agar selektif dalam mengeluarkan izin penyelenggaraan pendidikan swasta; jangan hanya melihat aspek pendanaan yang dibiayai oleh lembaga donor lantas mengabaikan aspek substansi pendidikannya. Dengan menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan swasta sudah waktunya Dinas Pendidikan melakukan penertiban.
Selanjutnya, pihak Lembaga Pendidikan Terpadu Fajar Hidayah juga harus introspeksi diri, apakah selama ini telah melakukan interaksi yang baik dengan masyarakat setempat. Apakah lembaga ini hadir dengan sikap superior dengan nilai-nilai yang mereka bawa dan mengabaikan eksistensi nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Kehadiran FH jangan hanya mengandalkan dukungan politik dan funding dan mengabaikan keberadaan masyarakat setempat.
Terakhir, masyarakat setempat juga harus jernih melihat nilai-nilai apa yang disimpangi oleh pihak Fajar Hidayah. Jika memang terbukti bahwa nilai yang disimpangi adalah nilai etika dalam proses pembelajaran, maka hal-hal yang berkaitan dengan itu yang harus diperbaiki. Penyimpangan dari aspek etika tidak dengan sendirinya juga ada penyimpangan dari aspek logika dan estetikanya. Apa yang baik harus dipertahankan dan apa yang buruk harus dihilangkan, begitulah kaidahnya.
*Guru Bahasa Inggeris, MIN Merduati Banda Aceh.