Syair lagu Gayo jemen tidak sama dengan lagu-lagu sekarang. Meski dianggap jadul (jaman doeloe) tetapi sarat dengan dengan hikmah dan i’tibar. Setiap liriknya mengandung tamsilan bagi prilaku manusia, khususnya urang Gayo. Lagu-lagu sekarang kering dari makna, tak tulen teridah usi, tidak mengandung pelajaran apa-apa. Cinta-cinta saja yang diungkit, namun masih juga kalah dengan cara lagu jemen bercerita tentang cinta.
Hebatnya lagu jemen adalah dalam hal pemaknaan. Untuk satu lirik saja akan ada kemungkinan berbagai alternatif makna, bergantung kepada konteks apa yang hendak dihubungkan oleh pendengarnya.
Salah satu lagu jemen yang sangat populer di Gayo adalah ”ampung-ampung pulo” yang dilantunkan oleh ceh M. Din. Lagu ini menggambarkan prilaku urang Gayo dengan tamsilan kepada ampung-ampung pulo, sebuah tumbuhan air yang mirip gulma kecil yang hidup di DAS, kolam, sawah, dan tempat-tempat berair lainnya.
Ampung-ampung pulo adalah tumbuhan yang bersifat oportunis. Dikatakan oportunis (selalu menguntungkan dirinya) karena ia hidup di atas air yang seolah-olah akan melindungi air itu padahal dia hanya mengambil untung dari adanya air itu. Dia juga bersifat manipulatif, karena dia punya akar yang panjang dan mata kita tertipu ketika melihat akarnya yang seolah-olah menginjak tanah tetapi sesungguhnya hanya menggantung tidak sampai ke tanah di dasar air. Karena kepintarannya memanfaatkan lingkungannya sebagai tempat kelangsungan hidupnya itulah ia dianggap oportunis dan manipulir.
Banyak pejabat pemerintah, khususnya di tingkat kabupaten, yaitu bupati dan anggota dewan yang prilakunya mirip ampung-ampung pulo. Dia hidup dari rakyat dan selalu mengambil keuntungan dengan adanya rakyat. Selalu mengatasnamakan rakyat dalam semua tindakannya, padahal semua yang dilakukannya hanya untuk keuntungan dirinya sendiri. Nama lembaganya saja disebut wakil rakyat, tapi giliran wallaba untuk dirinya, giliran walbala untuk rakyatnya.
Pejabat seperti itu sesungguhnya hanya menjadi pajangan di struktur birokrasi pemerintahan, adanya sama saja seperti tidak ada, wujuduhu ka ’adamihi kata orang Arab. ”Mera kin hiesen i atan ni meja nume sibenare”. Ya, memang mereka hanya akan jadi hiasan struktur tapi tidak berfungsi apa-apa. Dan itu bukan tipe urang Gayo yang sesungguhnya. Urang Gayo bukan tipe oportunis dan manipulir, hanya urang Gayo yang pola pikirnya telah terkontaminasi yang seperti itu.
”Jarang i gunei kao ipergunen cimo”. Lirik ini menunjuk kepada fungsi mereka yang seharusnya bekerja untuk dan atas nama masyarakatnya tetapi setiap masyarakat membutuhkan uluran tangan mereka untuk membangun banyak dalih yang mereka sampaikan. Mereka ada di struktur tetapi tidak bisa dimanfaatkan. Persis ampung-ampung pulo, ada di atas air kolam tapi membawa mudharat, kerjanya hanya mengisap air kolam itu sendiri. Si ampung-ampung pulo makin gemuk dan besar, kolamnya (masyarakat) makin lama makin kering.
”Wan ni linung ko mujening i gelumang mujening ko rembebe sayange”. Lirik ini menunjuk pada prilaku pejabat eksekutif dan legislatif yang manakala dihadapkan dengan masalah masyarakat yang membutuhkan solusi selalu berbeda pandangan dan berpecah belah, akhirnya keputusan hanya win-win solution untuk mereka saja. Persis seperti ampung-ampung pulo yang ketika air besar datang ia memilih antara dua, ikut aliran air itu karena tidak punya pegangan (pendirian) yang kuat atau diam dan menyingkir agak ke tepi untuk mencari aman biar posisinya tidak terancam.
”Murip si rugi iatan ni dunie”. Rugi sekali menjadi pejabat jika berprilaku seperti ampung-ampung pulo. Diberikan waktu lima tahun untuk berbuat bagi masyarakat dengan menggunakan kewenangan yang dia milik, tetapi banyak pejabat eksekutif dan legislatif yang tidak tau bagaimana menggunakan kewenangan yang ada untuk berbuat bagi masyarakatnya. Rugi sekali kalau mereka baru sadar di akhir masa jabatannya. Makanya banyak yang ingin maju lagi seolah mau menebus kealpaannya di lima tahun sebelumnya. Sesal memang selalu di belakang. Kata Ali Hasjmy, “Pagimu hilang telah melayang”. Tapi tabiat seperti itu biasanya sulit berubah meski sepuluh kali mendapat kesempatan yang sama.
Karena itulah, sesuai lirik pertama, ”sana de untunge kin ampung-ampung pulo woi pulo cimo”, artinya tidak ada untungnya berprilaku seperti ampung-ampung pulo, sebab nanti akan membuat orang yang seperti itu akan cimo. Cimo adalah ungkapan bagi konsekuensi negatif dan perih-peri yang akan diterima oleh seorang pejabat yang mengakhiri masa tugasnya tanpa rekam-jejak yang baik. Banyak mantan-mantan pejabat begitu habis masa jabatannya seperti tikus kena minyak; kemana-mana tidak ada orang yang open. Tidak ada lagi orang yang membungkuk hormat memberi salam, tidak ada lagi orang yang menyapa dengan hormat dan ramah, tidak ada lagi cium tangan. Dia akan cimo, cimo di depan masyarakatnya sendiri.
Bukan satu dua mantan pejabat di Gayo yang di akhir masa tuanya tidak mau lagi hidup bersama dengan masyarakatnya yang pernah dipimpinnya. Dia lebih memilih tinggal di Banda Aceh, Medan, atau Jakarta. Entah siapa yang mengusirnya sehingga ia menyingkir sendiri. Sampai suatu hari rakyatnya hanya mendengar pengumuman berita berpulangnya di masjid-masjid atau radio. Ini adalah cimo, cimo secimo-cimonya.
*Pemerhati Pemerintahan Gayo, tinggal di Banda Aceh.