Sen Penalang Murip

Banda Aceh | Lintas Gayo : Jum’at (15/07) pukul 20.00 s/d 21.00 Wib acara “Keberni Gayo” di Aceh TV ditayangkan secara live, kali ini mengambil tema “Sen Penalang Murip”. Nara sumber yang dihadirkan dalam acara ini adalah Sofyan, SH. MM, seorang pegawai Bank Bukopin Banda Aceh.

Bendaharawan Keluarga Nenggeri Antara (KNA) ini memulai pembicaraannya dengan mendefinisikan Uang (sen) dengan simbul alat tukar, pemberi harga dan barang yang unik. Bentuk uang dibaginya kepada dua, yaitu giral dan digital. Uang giral ada yang kartal seperti uang kertas dan koin yang selalu kita gunakan, sedang uang diginal termasuk kepada penggunaan card, atau juga seperti pulsa.

Sejarah uang  tidak luput dari perubahan baik dari segi jenis ataupun nilai, dahulu bentuk uang dalam transaksi menukar satu jenis barang dengan barang yang lain, seperti menukar ubi jalar dengan gula, menukar kopi dengan beras, menukar telor dengan ikan asin dan lain-lain, dalam istilah ekonomi disebut dengan barter.

Pemahaman dalam masyarakat Gayo pada khususnya dapat menerima dan melakukan transaksi antara barang dengan barang,  antara uang dengan barang yang menjadi kebutuhan, namun pemahaman mereka masih belum sempurna ketika uang ditukar dengan jasa terlebih jasa itu berkaitan dengan agama. Mereka yang menjadi khatib pada waktu shalat jum’at dan hari raya ‘idul fitri dan ‘idul adha di beberapa mesjid dan tempat belum dinilai dengan uang, guru-guru yang mengajar di TPA/TQA masih belum belum mendapat penghargaan yang layak dari masyarakat.

Seorang penelpon (mukhlisin), menyebutkan ketimpangan penilaian antara aktivitas keagamaan dengan aktivitas lain tidak hanya terjadi dalam masyarakat Gayo, tetapi kita temukan di semua lapisan masyarakat termasuk pemerintahan. Sebagai contoh kita lihat ketika MTQ diadakan, hadiah yang diberikan kepada sang juara sangat tidak layak disebut dengan sebuah penghargaan, tetapi untuk sebuah pertandingan olah raga nilai yang diberikan sangat pantastis.

Dengan bahasa yang sangat diplomatis narasumber yang juga alumni Fakultas Hukum Unsyiah pada jenjang S1 dan S2 dari Fakultas Ekonomi ini menjawab, masih ada sebuah pola pemahaman yang memerlukan perubahan dari para pelaku/pegiat  agama itu sendiri. Seperti seorang petinju dapat mengatakan tidak mau bertanding ketika ia tidak dibayar secara layak kepada yang menyelenggarakan pertandingan, seharusnya seorang qari atau qariah juga bisa mengatakan tidak mau tampil ketika ia tidak dihargai sebagai orang yang professional, demikian juga dengan seorang guru mengaji dan penceramah sudah saatnya mengatakan tidak mau melakukan perbuatan apabila dari profesinya tidak dihargai sebagaimana mestinya. Hal ini tidak lain karena apa yang kita lakukan selama ini bukan sebagai professi yang professional sehingga orang lain juga menganggap kita adalah orang amatiran yang layak dihargai sebagai amatiran.

Pola pikir masyarakat harus dirobah dari pola “bekerja keras” menjadi “bekerja cerdas”, dahulu orang mengerjakan sawah dengan menggunakan tenaga memproduksi padi, dijual mendapatkan uang dan menukarnya dengan barang yang lain. Menebang hutan untuk menanam kopi, menghasilkan uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Membeli computer, menyiapkan skripsi memperoleh sarjana. Manikah, setahun kemudian mendapat seorang anak jadilah aman/inen polan.

Sedang orang yang bekerja cerdas mengganti cangkul yang hanya dapat menyiapkan dua petak sawah sehari, dengan nengel (aceh : langai) yang dapat menyelesaikan sepuluh petak sawah. Kemudian menggantinga dengan traktor yang dapat menyelesaikan pembongkaran tanah dalam waktu satu hari. Seorang yang bekerja sebagai programer computer, hanya mengerjakan perkerjaannya dalam rumah dapat menghasilkan uang yang banyak.

Orang tua dalam masyarakat Gayo punya pola untuk menjadikan anaknya dari berpikir bekerja keras kepada berkerja serdas, ungkapan yang sering disebut dan diulang oleh generasi sesudahnya adalah “ win ko lang so entine lagu kami, a kati sekulah renye gelah rajin”. Ungkapan seperti ini mengandung nilai filosofi yang dalam, ketika orang Gayo setelah selesai sekolah menjadi guru dan berpenghidupan yang lebih baik dari masyarakat yang ada dikampongnya, semua orang tua menyekolahkan anaknya kesekolah kejuruan untuk bisa menjadi guru. Katika sesorang selesai pendidikan di sekolah kesehatan   mudah mencari kerja, semua orang tua menyekolahkan anaknya disekolah kesehatan. Manakala seorang anak lulus jadi polisi dan kehidupannya lebih layah dari masyarakat sekitarnya, berduyun-duyun orang tua memasukkan anaknya menjadi polisi, kendati harus mengorbankan banyak harta yang sudah lama dia cari.

Semua itu merupakan satu pola bagaimana orang tua berupaya memindahkan anaknya dari pola pikir “bekerja keras” menuju kepada “bekerja cerdas” dan dapat menghasilkan urang lebih banyak. Sudang mulai banyak pemuda-pemuda kita lihat di kampong-kampong dan perkotaan Gayo, berupaya merubah pola asaha mereka dari bertani menjadi pedagang kopi, sayur-sayuran dan palawija lain.

Disamping arahan dan bimbingan orang tua untuk menuju perubah dari kehidupan sebelumnya kepada yang lebih layak sesuai dengan apa yang orang tua ketahui, banyak juga orang-orang yang berubah cita-citanya kepada yang lain karena didasarkan pengetahuan dan pengalaman. Seperti narasumber sendiri orang tua berperofesi petani yang mencita-citakan anaknya menjadi guru akhirnya menjadi pegawai Bank, orang lain juga yang dicita-citakan orang tuanya menjadi PNS akhirnya menjadi pengusaha.

Aman Aini penelpon kedua mengingatkan pengalamannya tentang dorongan orang tua untuk berhasil dengan mencontohkan keberhasilan Prof. Dr. Tgk. Baihaqi AK yang berasal dari Mendale.

Pada bagian akhir nara sumber menjelaskan pemilihan profesi sangat diperlukan dalam hubungannya dengan pendapatan keuangan dan populeritas seseorang, seorang Gecik mempunyai wilayah terbatas di kampong dan mendapatkan populeritas di sekitar keluarganya, seseorang menjadi bupati mendapat populeritas dari daerah yang dipimpinnya, dapat dipastikan secara finansial lebih banyak.

Petani tradisional yang menjalani proses hidup sebagai produsen akan menghasil hasil pertanian yang hanya dinikmati oleh konsumen yang tebatas, seorang penulis menghasilkan karyanya akan dibaca oleh orang di wilayah dan waktu tanpa batas. (Drs. Jamhuri, MA)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.