Klasifikasi “Tutur” dalam Masyarakat Gayo

Ist

Redelong| Lintasgayo.com – Masyarakat Gayo mengenal Tutur Patut sampai Tutur Uru-uru. Demikian disampaikan Yusradi Usman al-Gayoni, narasumber Bincang Budaya “Tutur Gayo” Pusat Kajian Kebudayaan Gayo yang digelar secara daring melalui Zoom Meeting, Rabu malam (15/6/2022).

Yusradi meneliti tutur Gayo (2008-2010) untuk keperluan tesis Program Studi Magister Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) yang kemudian diterbitkan dengan judul “Tutur Gayo” (terbit tahun 2012, cetak kedua tahun 2014) dan “Tutur Gayo Lues” yang terbit tahun 2015.

“Ada yang mengklasifikasikan tutur jadi Tutur Patut, Tutur Mantut, Tutur Ikut-Ikut, dan Tutur Gasut. Tutur Patut merupakan tutur yang tidak bisa berubah sesuai dengan ketentuan yang ada. Orang yang dituakan dalam keluarga atau dari garis keturunannya, maka ia dituturi atas,” kata Yusradi.

Dilanjutkannya pendiri dan pengelola Perpustakaan Gayo itu, Tutur Mantut adalah tutur yang berubah secara tiba-tiba karena sebab tertentu. Seseorang yang sebelumnya biasa dipanggil Abang, contoh Yusradi, ternyata dipanggil Ama Encu (adik bapak yang bungsu). Yang bersangkutan pun serta merta dipanggil Ama Encu. “Tutur Ikut-ikut karena ikut-ikutan. Dalam satu komunitas, ada orang yang memanggil Abang (abang) kepada salah satu anggota komunitas tersebut, sehingga yang lain pun ikut memanggil Abang. “Tutur Gasut sendiri tutur yang kerap berubah-ubah. Ada anak yang kadang memanggil Ama kepada orang yang lebih tua, kadang Bapak, kadang Cik,” beber Yusradi.

Di samping empat klasifikasi tersebut, jelas putra alm Usman Umar dan Radiah Alam tersebut, dikenal juga Tutur Muperdu, Tutur Museltu, dan Tutur Uru-uru.

“Tutur Muperdu, tutur yang berdasarkan pada ketentuan yang ada, seperti anak bertutur Ama atau Ine ke orang tuanya. Tutur Museltu terjadi karena sesuatu hal, seperti perkelahian. Lalu, diselesaikan secara kekeluargaan, sehingga terjadi saling bertutur. Yang lebih muda be tutur Ama atau Abang kepada yang lebih tua. Sebaliknya, yang tutur atas akan be tutur renah kepada yang lebih muda. Tutur Uru-uru, sambung Yusradi, tutur ikut-ikutan. “Ada orang yang memanggil Pun (saudara laki-lakinya Ibu), yang lain pun kemudian ikut memanggil Pun,” katanya.

Kegiatan Bincang Budaya “Tutur Gayo” Pusat Kajian Kebudayaan Gayo ini dimodetarori Desy Arigawati (Dosen Universitas Panca Sakti Bekasi), Master of Ceremony Husna Mahyana (siswi II SMK Negeri 1 Takengon), dan pembacaan puisi oleh Nadhira Luqyana Hamdani (siswi kelas I SDI Al Azhar Kembangan Jakarta).

Ihfa

Comments are closed.