Ā
Dunia pendidikan kontemporer, kelihatannya semakin āalergiā kepada yang namanya punishment (pemberian hukuman). Tindak pemberian hukuman dianggap bukan perilaku manusiawi yang mendidik dan dianggap kekerasan. Dengan kata lain menghukum anak dianggap āharamā dalam dunia pendidikan. Sedemikian pentingnya, argumen ini telah mendapat payung hukum yakni Undang-undang (UU) nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Dengan UU ini, siapa pun yang dianggap melakukan kekerasan terhadap anak maka akan dikenakan sanksi sesuai yang telah termaktub dalam UU ini.
Konsekuensi negatifnya adalah bahwa semua jenis hukuman diidentikkan dengan kekerasan dan nyaris tidak dibedakan lagi. Padahal keduanya sangat jauh berbeda. Akibat dari kecenderungan menyamakan makna keduanya banyak kasus-kasus kecil di sekolah yang dianggap tindak kekerasan oleh orang tua maupun pemerhati Hak Asasi Manusia (HAM). Misalnya, ada guru yang mencubit murid mengakibatkan bekas cubitannya memar atau guru menjewer kuping, tidak diberikan masuk kelas dalam satu jam pelajaran karena terlambat dan jenis-jenis hukuman lainnya. Pertanyaannya, apakah tindak semacam ini dapat disamakan dengan kekerasan?
Hemat penulis,Ā terdapat benang merah yang jelas antara pemberian hukuman dan kekerasan. Kekerasan merupakan tindangan tanpa pertimbangan etika moralitas yang dilakukan seseorang terhadap orang lain dan mengakibatkannya rusak secara fisik maupun mental tanpa sebab atau kesalahan yang dilakukan korban sebelumnya. Adapun pemberian hukuman dalam proses pendidikan merupakan cara atau upaya guru/pendidik untuk memberitahukan kepada anak bahwa perbuatannya melanggar peraturan, kurang terpuji atau tidak sesuai tuntutan akhlakul karimah sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh anak.
Sebagai bahan perbandingan, kelihatannya pemberian hukuman perlu kita lihat dari sudut pandang lain yaitu perspektif Islam dengan mengacu kepada alqurāan. Hal ini bukan berarti mengedepankan aspek normatifitas agama dan subjektifitas akan tetapi berusaha menampilkan argumen alqurāan yang cenderung mengharuskan adanya pemberian hukuman dalam pendidikan. Dengan kata lain Islam akan memaparkan aspek ontologis dari pentingnya pemberian hukuman dalam proses pendidikan.
Pertanyaannya, mengapa Islam menganggap pemberian hukuman itu penting?. Harus disadari bahwa manusia telah diberi potensi baik buruk oleh Tuhan untuk mengemban misi kekhalifahan di muka bumi. Misi tersebut akan berhasil apabila manusia dapat menjinakkan dan memperkecil potensi kebinatangan yang ada dalam dirinya. Artinya semakin mengecil potensi tersebut maka semakin besar pula peluang manusia untuk mengaktualisasisakan nilai-nilai kebaikan sebagai ciri manusia ideal yang dinginkan Tuhan. Nah, untuk membatasi berkembangnya sifat buruk tersebut, maka Tuhan memberlakukan hukuman sebagai rambu-rambu amal manusia, mana yang halal, haram, makruh, mubah dan sebagainya.
Pembatasan dalam amal manusia untuk bebas bertujuan melahirkan kemaslahatan individu dan kolektif. Jika ada perbuatan manusia yang dibatasi, itu berarti mengandung dampak negatif atau mudarat, baik secara individu maupun sosial. Salah satunya contoh, mengapa minum khamar dilarang, karena dapat merusak kesehatan dan manusia akan kehilangan akal sehat, sementara hilang akal sehat berarti gila, dan orang gila akan berbuat semaunya tanpa berdasarkan kesadaran dan pertimbangan.
Menurut Islam, orang yang sebenarnya tidak bebas itu adalah orang yang bebas tanpa nilai dan terus mengikuti keinginannya tanpa pertimbangan moral. Mereka terbelenggu dengan hawa nafsunya dan tidak mampu menampilkan ciri manusia ideal yang sesungguhnya. Makanya misi profetik Muhammad saw dikatakan dalam alqurāan sebagai misi pembebasan, yakni misi mengeluarkan (membebaskan) manusia dari zhulumat (kebodohan, kebiadaban/amoral) kepada annur (kecerdasan, keberadaban/bermoral).
Mengapa Tuhan membebankan dosa bagi mereka yang berbuat menyimpang dan akan dimasukkan ke neraka? Tujuannya tidak lain adalah untuk memaksimalkan potensi kemanusiaan yang ada pada manusia itu sendiri dan meminimalisir kejahatan. Sebab selama kejahatan mendominasi hati manusia maka dia tidak akan mampu menjalankan misi kekhalifahan dengan baik.
Ā Islam sangat menghargai kebebasan, namun perlu diingat bahwa kebebasan dalam Islam akan dibatasi oleh moralitas dan nilai-nilai humanisme universal. Sebagai salah satu contoh, Nabi saw pernah mengatakan bahwa salah satu cara untuk mengukur keberagamaan dan keimanan seseorang adalah sejauh mana kehadirannya tidak mengganggu tetangga dan orang sekitarnya. Artinya kenyamanan dan ketenteraman orang lain akan menjadi pembatas kebebasan seseorang. Maka jika ada kebebasan yang mengganggu ketenteraman dan menimbulkan dampak negatif, maka kebebasan tersebut tidak lebih dari sikap ananiyah (egoisme) individual. Apabila manusia mengedepankan egoisme, maka absurd perilakunya akan melahirkan dampak positif.
Dalam dunia pendidikan, kita perlu menyadari bahwa yang namanya mendidik itu adalah transformasi nilai-nilai kemanusiaan universal kepada peserta didik sehingga dengan nilai-nilai tersebut mereka mampu mengetahui, memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan yang membawa nilai positif bagi dirinya dan orang lain. Mendidik juga merupakan proses pendewasaan manusia secara ruhani, sehingga potensi kebaikan yang ada pada dirinya lebih tumbuh dan berkembang. Proses ini juga yang sering disebut oleh para pakar pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia.
Ketika proses pendidikan berjalan, sudah jelas ada peserta didik yang melakukan tindak penyimpangan, pelanggaran disiplin dan berperilaku kurang senonoh dengan nilai-nilai agama maupun budaya.Ā Pada saat inilah seorang pendidik harus menerapkan hukuman sebagai rambu-rambu pembatas bagi peserta didik, maka yang boleh dan mana yang tidak. Bayangkan jika semua perilaku anak ādiaminkanā oleh pendidik tanpa memilah boleh dan tidak boleh, maka kemungkinan peserta didik akan menyimpulkan semua boleh karena tidak dilarang. Ya, kalau yang dilakukan itu baik, bagaimana dengan perilaku penyimpangan yang menimbulkan mudarat?. Lagi pula, ketika kita menganut kebebasan tanpa batas, maka rasanya tidak diperlukan aturan, hukum atau pengadilan, karena kebebasan manusia tidak dapat dibatasi sehingga tidak ada yang namanya pelanggaran.
Hemat penulis, pemberian hukuman dalam pendidikan harus tetap ada, hanya saja apapun bentuk hukumannya, usahakan bukanlah hukuman dalam bentuk pukulan maupun tamparan. Ada banyak jenis hukuman yang dapat diterapkan dalam menegakkan disiplin tanpa harus memukul. Di sisi lain, keliru jika semua bentuk pemberian hukuman identik dengan kekerasan, keduanya perlu dibedakan. Yang pasti menghukum anak bukan berarti membelenggu mereka, yang kita inginkan mereka akan tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang dapat mendatangkan manfaat untuk semua dan bukan mudarat. Ingatlah hadits Nabi saw āsebaik-baik manusia di antara kamu adalah mereka yang bermanfaat bagi manusia lainā.
*Penulis adalah Alumni MAN 1 Takengon Tahun 1997