Layak kiranya di beri apresiasi, sebuah grup seni Gayo di Kabupaten Bener Meriah dengan anggota sebagian besar wanita lanjut usia. Dengan lihai memainkan alat musik khas Gayo Teganing dengan baik dan mampu memukau para pengunjung yang hadir saat acara pembukaan Festival Seni Budaya Rimba Raya di gelar oleh Himpunan Mahasiswa Bener Meriah (HPBM) Banda Aceh, Senin (19/7) di halaman kantor Setdakab Bener Meriah.
Grup seni spesialis alat musik Teganing “Mulo Ara”, demikian nama grup seni Gayo ini. Dipimpin oleh Salbiah dengan personil berumur rata-rata antara 50 sampai 80 tahun. “Memang anggota kami sudah tua-tua, dan kami mempertahankan ini untuk menunjukkan kepada generasi sekarang supaya kelak mereka mengikuti jejak kami,” kata Salbiah setelah selesai memainkan Teganing dihadapan para undangan dan penonton yang hadir di acara tersebut.
Memang ada diantara anggota kami yang masih muda sebanyak 3 orang saja dengan tujuan agar mereka dapat meneruskan grup ini kelak, katanya lagi.
Diceritakan Salbiah, Teganing adalah alat musik tradisi orang Gayo yang terbuat dari bambu dengan jenis oloh pedih atau bambu yang berukuran besar dan tua berwarna kuning.
“Tidak sembarang bambu yang dapat digunakan untuk pembuatan Teganing ini, hanya Oloh Pedih saja yang bisa dipakai. Bambu ini hanya dapat digunakan pada satu batang untuk satu jenis Teganing”, jelas Salbiah.
Selain itu lanjutnya, alat-alat yang digunakan untuk memainkan alat musik ini selain Teganing yaitu Bensi, Gerantung (kalung kerbau) dan Tutu (Teganing ukuran besar).
Sayangnya mereka tidak membawa Bensi sehingga Lintas Gayo tidak dapat melihat bentuknya. “Terkadang kami menggabungkan dengan Gegedem (sejenis alat rebana) bila diminta oleh orang yang mengundang kami, walau sebenarnya kami tidak menginginkannya karena kami menginginkan permainan Teganing yang alami”, ungkapnya.
Teganing sendiri adalah nama kesenian yang menampilkan 15 orang pemain yang menurut Salbiah dipanggungkan oleh Beberu (gadis) dahulu di Lepo (teras pada rumah adat Gayo yang tinggi) pada masa lalu.
Saat mereka menyanyikan lagu Gayo dengan diiringi Teganing, beberu tersebut di “ganggu” dan di intip oleh bebujang (lajang) di bawah teras tersebut. “Karena dahulu beru bujang tidak diperkenankan berdekat-dekatan walau ramai sekalipun, dulu ada kemali dan sumang (keseganan/pantangan)”, ujarnya.
Saat memainkan music, grup Teganing sendiri di pimpin oleh seorang Ceh dan sesekali diiringi dengan mulawi (teriakan “ahoi wiw” dari personil perempuan). Di Grup Mulo Ara ini mereka memiliki 3 orang personil laki-laki dan 12 orang perempuan.
Salah satu bagian Teganing selain dengan memukul menurut Salbiah yaitu dengan memetik senarnya, dan dinamakan Kecapi. “Kecapi itu memainkan Teganing dengan memetik, seperti suku Cina yang memetik kecapi dan tidak menggunakan oloh (bambu) hanya menggunakan jari”, jelasnya lagi.
Diuangkap Salbiah, selain untuk hiburan komunitas Teganing sendiri dalam mengisi waktu luang, Grup Teganing Mulo Ara juga kerap diminta memainkan Teganing saat hajatan seperti Jelesen (khitanan) dan Sinte Mungerje (resepsi pernikahan) maupun acara lainnya.
Amatan Lintas Gayo saat acara di lapangan Setdakab Bener Meriah, penampilan Grup Teganing Mulo Ara ini mampu menghibur pengunjung acara yang digagas HPBM tersebut. Bupati Bener Meriah, Ir H Tagore AB bangun dari duduknya untuk memberikan “angpao” alias saweran kepada grup ini dan diikuti Sekda dan sejumlah pejabat Muspida Kabupaten Bener Meriah lainnya.
Grup ini berasal dari Kampung Pante Karya Kecamatan Gajah Putih Kabupaten Bener Meriah. Muncul pertanyaan kita bersama, akankah Grup Teganing satu-satunya di Gayo ini yang masih bertahan ditengah modernisasi? Akan adakah Grup-grup lainnya dimasa mendatang ?. (editor : Khalis)
Teganing iyo lao alat musik asli gayo yang nyaris terlupakan, mari kita selamatkan. gereke beta oya???