Oleh : JONI SYAH PUTRA*)
Pelecehan seksual memang bukan hal yang baru ditelinga kita, kejahatan ini terkadang masyarakat menilainya dengan tanggapan “biasa saja”. Memang, tidak semua beranggapan demikian, tetapi faktanya beberapa dalam masyarakat mengacuhkan dengan dalih “mendamaikan”, terlebih jika itu dari pihak yang melakukan. Pelecehan seksual menurut saya, bukan hal yang sepantasnya dianggap biasa, hal ini bisa terjadi kepada siapa saja. Bukan hanya perempuan saja yang bisa mengalaminya, bahkan laki-laki, dan anak-anak pun bisa menjadi korban. Pelecehan bisa terjadi dimana saja dan kapan saja baik itu di pesantren, sekolah, rumah, dan lain – lain.
Mirisnya banyak kasus sekarang yang beredar ustadz mencabuli santrinya. Pelaku pelecehan seksual melakukan itu tentunya hanya untuk memuaskan dirinya semata, tidak memikirkan dampak yang terjadi setelahnya kepada korban pelecehan. Misalnya adalah ketika pelaku melakukannya tidak sampai memperkosa si korban, maka hal itu akan dianggap tidak berat tindakannya oleh pelaku dan kebanyakan di masyarakat kita, justru korbanlah yang menanggung sanksi sosialnya.
Menurut pandangan saya, perempuan selaku korban sering mendapatkan perlakuan-perlakuan yang tidak mengenakan dari masyarakat. Sering kali dikucilkan, bahkan dianggap kotor, padahal dari sisi korban tidak ada sama sekali yang menginginkan hal itu terjadi. Karena kita tahu bahwa kejadian itu merupakan paksaan tentunya dari pelaku dan terkadang terdapat ancaman-ancaman yang diberikan oleh pelaku kepada korban, hal ini lah yang membuat korban merasa terintimidasi kemudian merasa tidak mempunyai hak untuk bersuara, padahal sebetulnya hak korban untuk tidak mendapat pelecehan sesksual lah yang diambil oleh pelaku dengan tanpa permisi.
Disisi perempuan selaku korban kekerasan seksual, hal ini sangat menimbulkan rasa takut berlebih tentunya, apalagi jika hal tersebut terjadi di tempat mereka melakukan aktivitas sehari-hari, karena perasaan takut akibat masih membekasnya kejadian yang dialaminya akan terus terbayang, terlebih jika harus bertemu langsung dalam jangka waktu yang sering dengan pelaku yang pernah melecehkannya.
Sementara disisi korban dipaksa bungkam akibat ancaman dari pelaku jika korban bersuara, hal ini akan sangat membuat korban merasa tertekan tentunya. Banyak kasus pelecehan seksual korbannya tidak berani melaporkan pelaku pelecehan, mungkin karena pelaku adalah orang yang memiliki kuasa tinggi terhadapnya, bahkan akan terus dihantui rasa ketakutan setiap saat bagi korban jika memendamnya terlalu lama.
Disinilah peran keluarga, teman, dan masyarakat sangat diperlukan, terlebih kita sama-sama tahu kejadian ini bisa terjadi dimana saja, tetapi kebanyakan kasus yang terjadi adalah di intansi-intansi tertentu, seperti sekolah, kampus, bahkan tempat bekerja. Sebagai seorang perempuan harus menganggap serius terkait hal ini, misalnya lebih memikirkan kembali cara kita bertutur kata, berpenampilan, dan berperilaku sehingga tidak mengundang kejahatan seksual terjadi.
Introspeksi diri sebaik mungkin itu diperlukan, pendampingan kepada korban pelecehan seksualpun sangat diperlukan, jangan hanya dari pihak keluarga saja yang melakukan pendampingan tetapi juga butuh pendampingan dari instansi-instansi perlindungan dan hukum lainnya mengingat mental korban yang tertekan, bahkan merasa ketakutan setiap saat akan hal yang dialaminya, maka dari itu diperlukan pendampingan khusus dan support tentunya dari keluarga dan masyarakat.
Data Komnas Perempuan mencatat, kasus kekerasan di lingkungan pendidikan termasuk pesantren terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Pada 2015 tercatat 3 kasus, 10 kasus tahun 2016, 3 kasus tahun 2017, 10 kasus tahun 2018 dan pada tahun 2019 meningkat menjadi 15 kasus dan 10 kasus sampai Agustus 2020. Dari 51 kasus yang diadukan, pesantren atau pendidikan berbasis Agama Islam menempati urutan kedua yakni 19% dari total pengaduan atau 10 kasus, di bawah universitas yakni 27% atau 14 kasus.
Diyakini, angka ini hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya terjadi, karena banyak korban yang enggan melaporkan kasusnya dengan berbagai alasan. Beberapa waktu terakhir, kasus kekerasan seksual yang terjadi di pesantren Indonesia semakin banyak terungkap. Para korban pun semakin banyak yang berani speak up perihal kasus kekerasan seksual yang dialaminya ke publik.
Kasus mengenai kekerasan seksual di pesantren yang ramai menjadi sorotan publik dalam beberapa waktu terakhir adalah kasus kekerasan seksual yang terjadi di pesantren tahfidz (penghafal Al-Qur’an) Al-Ikhlas dan sekolah Madani Boarding School yang berlokasi di kawasan Cibiru Kota Bandung, yang mana pelakunya adalah ustadz yang melakukan pemerkosaan terhadap santri perempuan di bawah umur sebanyak 13 santriwati dan terdapat 8 orang santriwati yang hamil, bahkan anak-anak dari hasil pemerkosaan tersebut dieksploitasi untuk mencari sumbangan dana untuk kebutuhan operasional pesantren.
Kasus mengenai kekerasan seksual yang terjadi di sekolah asrama yang berafiliasi dengan agama tertentu dan dilakukan oleh ustadz tidaklah sedikit, dan contoh kasus kekerasan seksual pesantren di Bandung seperti yang telah disebutkan di atas bukanlah kasus yang pertama kali terjadi. Secara rinci, data dari Komisi Nasional Perempuan menyebutkan bahwa dalam rentang tahun 2011-2019 terdapat 46.698 kasus kekerasan seksual terjadi baik di ranah personal maupun di ranah publik, dan terdapat 2.851 kasus yang tidak sedikit terjadi di lingkungan lembaga keagamaan.
Miris sekali bukan, seorang ustadz yang dipercaya sebagai pemuka agama malah melakukan perbuatan senonoh yang membuat para santri trauma dan bisa mengakibatkan bunuh diri. Saya sangat berharap, kasus-kasus mengenai pelecehan seksual jangan hanya ramai di awal pemberitaan saja, masyarakat gencar membela korban tetapi setelah itu lenyap entah kemana. Kasus seperti ini harus ditindak tegas, perlu ada sanksi sesuai hukum yang berlaku kepada pelaku karena jelas tujuannya supaya membuat pelaku jera akan perbuatanya.
Tindakan terhadap pelecehan seksual ini tidak pantas jika diselesaikan dengan kata “damai”. Biasanya ada upaya melindungi nama baik suatu instansi atau pun ustadz yang dianggap sebagai guru besar jika kejadian ini terjadi di tempat-tempat tertentu. Namun bagi pelaku tidak bisa jika ditindak dengan tindakan yang halus, kata “damai” tidak akan menyelesaikan masalah dan trauma bagi korban. Terlebih jika korban tidak memiliki support dari orang sekitar, itu akan sangat membekas bagi korban dan jelas merupakan tindakan yang tidak adil. Perempuan selalu dianggap lemah oleh laki-laki, tetapi inilah yang harus diedukasi bahwa kita mempunyai hak untuk menyuarakan hak kita yang dirampas.
Jangan karena ancaman-ancaman yang diberikan, kemudian kita hanya diam dan melupakan bahwa kita sudah dilecehkan. Di negara ini sudah berlaku hukum yang adil, dengan itu kita diberikan kesempatan memperjuangkan keadilan untuk diri kita, jadi jangan mau dianggap lemah sebagai perempuan, pelaku pelecehan seksual harus dihukum dengan sanksi yang setimpal.
Peran penegak hukum diperlukan dalam hal ini, jangan bertindak timpang jika yang melakukan adalah anak dari seseorang yang memiliki kekuasaan kemudian hukumannya diringankan. Peran masyarakatpun dibutuhkan dalam memberikan support kepada korban, memerangi pelaku pelecehan seksual sampai kasusnya selesai, jadi jangan hanya ramai diawal lalu dilupakan. Saya berharap, sebagai generasi penerus bangsa bersama-sama kita harus memiliki keinginan menghilangkan anggapan ringan terhadap kasus-kasus seperti ini, pelecehan seksual yang selalu dianggap kasus kecil dalam persepsi masyarakat jika tidak sampai kepada pemerkosaan. Ini adalah persepsi yang salah, sekecil apapun yang melakukan tindakan ini harus ditindak tegas, jangan ada kata “damai” sampai kasus selesai.
Saya juga berharap besar kepada penegak hukum dalam menindak kasus-kasus pelecehan seksual, harus diusut tuntas, jika memang yang melakukannya adalah pelajar maka harus diberi sanksi yang setimpal dengan perbuatannya. Tujuannya jelas, agar menimbulkan rasa jera, dan takut untuk melakukan hal yang sama.
Mahasiswa IAIN Lhokseumawe*)