Seorang rekan di Banda Aceh, Jauhari Samalanga menelpon, Jum’at (29/7) malam. Dia meminta saya untuk menghubungi seorang rekannya, Rafly yang sudah berada di Takengon untuk mengikuti sejumlah agenda pembuatan sebuah film layar lebar bertajuk “Janji Sang Pemberani”.
“Tolong temani dia, saya yakin dia sangat suntuk,” piñta Jauhari. Saya mengiyakan dan segera menghubungi nomor yang diberikan. Karena sudah larut malam, Saya dan Rafly membuat janji untuk bertemu esoknya, Sabtu (30/7) pagi.
Sesuai janji tersebut, ternyata Rafly memang sudah menunggu dan tanpa pikir panjang saya mengajaknya menikmati kopi di Kantin Batas Kota Paya Tumpi, tempat saya saban hari duduk menikmati Balck Kopi racikan Barista (istilah untuk peracik kopi) Win Ruhdi Bathin.
Kerap Ucapkan “Masya Allah”
Kalimat “Masya Allah” kerap terdengar dari mulut penyanyi Aceh, Rafly Kande yang beberapa hari belakangan ini berada di Takengon untuk melakukan pengambilan gambar untuk film layar lebar berjudul “Janji Sang Pemberani”.
Saat minum kopi di Espresso Kupi di Kantin Batas Kota Paya Tumpi. Racikan Barista Win Ruhdi Bathin membuat mulut Rafly berguman “Masya Allah”. “Ini baru mamaknya kopi,” ucap Rafly setelah mencicipi kopi Espresso yang dihidangkan sang Barista Win Ruhdi dalam sebuah gelas ukuran kecil, seukuran dengan alat takar obat sirup.
Setelah beberapa saat berkenalan dan berbincang-bincang akrab dengan sejumlah wartawan dari berbagai media di tempat tersebut. Seorang tamu berwajah sangar, kulit agak gelap dengan bulu memenuhi tangan datang dan mengucapkan Assalamu’alaikum dengan suara agak keras.
“Wa’alaikum salam” ucap kami termasuk Rafly. Spontan, Rafly kembali berucap “Masya Allah”. “Ini dia kawan saya,” ucapnya sambil menjabat erat dan memeluk sosok yang datang tersebut, Ikmal Bruce Gopi, sang sutradara film sejarah Perjuangan Radio Rimba Raya.
Selanjutnya kami terlibat percakapan hangat bersama sang penyanyi Seulanga tersebut. “Saya kebetulan ikut dalam film yang setahu saya merupakan film layar lebar kedua setelah film Tjut Nya’ Dhien yang memilih lokasi shooting di Takengon ini,” kata Rafly saat ditanya Khairul Akhyar dari Harian Waspada mengenai keterlibatannya dalam film tersebut.
Dia mengaku lagu “Aneuk Yatim” dan melalui musisi Dwiki Darmawan yang membuatnya ikut serta dalam film yang bercerita tentang anak yatim korban tsunami yang ingin bangkit dari keterpurukan.
“Saya berperan sebagai tukang bengkel sepeda motor yang cacat dengan lokasi pengambilan gambar di Pantan Terong,” ungkap Rafly mengaku memulai puasa pada Minggu (31/7) sesuai amanah sang guru Tarekatnya, Guru Pane, seorang anggota Polri yang bertugas di Gayo Lues.
Beberapa saat kemudian Rafly minta izin kebelakang kantin dan rupanya dia menunaikan ibadah shalat Dhuhur.
Ketika kembali, saya mengajak Rafly untuk menikmati menu makan siang yang telah disiapkan sang pengelola kantin. Menunya seperti biasa khas kantin tersebut, ada Jaher Masam Jing, Pucuk ni Jepang rebus dan Cecah Terung Angur.
Semula saya menduga Rafly, pria kelahiran Aceh Selatan ini tidak suka masakan khas Gayo seperti umumnya orang Aceh yang lebih suka masakan khas mereka seperti Kari Kambing, Sayur Pliek U dan lain-lain. Ternyata dugaan tersebut meleset 180 derajat. Rafly dengan mimik muka khasnya terkejut dan berucap “Masya Allah, ini dia yang ku mau.”.
Melihat Rafly sangat menikmati masakan tersebut, rekan-rekan yang ikut makan semeja rupanya pengertian dan menyodorkan mangkuk berisi Jaher Masam Jing dan Jantar Pucuk Jepang kehadapan Rafly. Walau sudah kehabisan nasi, Rafly tampak menyeruput kuah Masam Jing dan meludeskan Jantar Taruk Jepang yang masih ada di mangkuk dihadapannya.
Sedang asyik makan, sesaat kemudian dia menelpon seseorang dan terdengar dia sedang menceritakan bahwa dia sedang ngopi dan makan bersama sejumlah wartawan. Kembali mulutnya berucap “Masya Allah” saat menceritakan kedahsyatan kopi espresso dan menu makanan siangnya kepada lawan bicaranya tersebut.
Bersama Rafly yang kerap menyebut asma Allah, mengingatkan saya kepada seorang sahabat, Fauzan Azima yang juga kerap mengucapkan Bismillah setiap melakukan sesuatu termasuk saat makan dan minum. Setiap suap dan tegukan selalu didahului dengan “Bismillah”.
Aceh Harus Dinamis
Bagi Rafly, sebuah kebanggaan bisa terpilih ambil peran dalam film layar lebar yang menurut dia adalah film yang kedua yang mengambil lokasi shooting di Aceh, Banda Aceh dan Takengon.
“Saya diberi 33 scene dalam film yang saya perkirakan menghabiskan biaya hingga Rp.10 milyar ini,” kata Rafly mengawali percakapannya setelah makan siang tersebut.
Ide film tersebut menurutnya biasa-biasa saja, namun karakter sejumlah pemainnya yang menjadikan film tersebut jadi sesuatu yang lain, tambahnya.
Setelah mengikuti dan berbaur dengan sejumlah artis nasional dan kru film tersebut, Rafly mengaku miris dengan kondisi seni budaya Aceh saat ini. “Orang lain menatap Aceh itu kaya potensi dan ide untuk berkreasi dibidang seni budaya yang bernilai bisnis tinggi, bisnis film ini contohnya,” ujar Rafly.
Menurutnya Aceh saat ini terlalu dihebohkan oleh dunia komisi atau fee. Tidak seperti Aceh masa lalu, saudagar Aceh kini tidak ada lagi. “Pengusaha Aceh tidak mampu memanfaatkan situasi atau persoalan-persoalan Aceh untuk dijadikan bernilai bisnis,” kata Rafly seraya memberi saran kepada pengusaha muda Aceh untuk melakukan pendekatan cultural dalam berbisnis seperti membuat film tentang Aceh.
“Kita rindu perubahan disemua lini di Aceh termasuk maindset orang Aceh yang secara umum pemalas,” ucap Rafly.
Dikatakan Rafly, kedepan Aceh itu harus lebih dinamis. “Aceh butuh dinamis. Harus terbuka dengan hal-hal baru akan tetapi selektif dalam penerapannya,” ujarnya.
Dia juga menilai belum ada calon pemimpin Aceh kedepan yang muncul membangun Aceh dengan pendekatan budaya (cultural). “Belum ada Calon Gubernur Aceh yang muncul untuk itu,” vonis Rafly.
Kolaborasi dengan Seniman Muda Gayo
Difasilitasi Lintas Gayo yang bekerjasama dengan Central Entertainment, Sabtu (30/7) malam seniman Rafly Kande mengisi acara saling silaturrahmi dengan sejumlah seniman dan pemerhati seni Gayo di Central Kupi Simpang Wariji Takengon Aceh Tengah.
Malam itu, dia bersama sang aktor senior Tio Pakusadewo yang terpilih sebagai Pemeran Pendukung Pria Terbaik dalam ajang ‘Indonesian Movie Awards (IMA) 2011’ saya jemput dari hotel tempatnya menginap sekitar pukul 08.30 Wib. Keduanya disambut dengan beberapa lagu berlirik bahasa Indonesia oleh Fata dan kawan-kawan.
Setelah disuguhi minuman Sanger, Rafly yang hadir dengan menenteng gitar kesayangannya kemudian dipersilahkan untuk ke pentas. Dua lagu yang baru dirilis Rafly meluncur memukau orang hadir ditempat tersebut, termasuk Tio.
Tio yang ikut terpukau dengan penampilan Rafly, lalu menelpon rekan-rekannya yang masih berada di penginapan untuk hadir ketempat tersebut. Dan terbukti beberapa saat kemudian hadir sejumlah actor dan kru film lainnya termasuk Ahmad Reza pemeran utama dalam film Janji Sang Pemberani (JSP) tersebut.
Ahmad Reza, penyandang I-DAN di Karate adalah siswa SMAN 3 Banda Aceh kelahiran 11 September 1995 tersebut berperan sebagai Madi, seorang anak yatim yang ingin bangkit dari keterpurukan dengan berprestasi sebagai atlit Karate.
Sebuah lagu yang pernah eksis, Seulanga diminta oleh para pengunjung. Tak urung semua yang hadir akhirnya bernyanyi bersama Rafly.
Sesi selanjutnya giliran musisi muda Gayo yang tampil dipentas dan untuk kesempatan pertama diisi oleh Ecek, vokalis Ciqita Band dengan lagu Urang Uten, ciptaan almarhum To’et.
Karakter Ecek saat menyanyikan lagu otokritik bagi Urang Gayo ini ternyata membuat Rafly dan Tio terkesima. Dan keduanya kemudian turut berkolaborasi bersama Ecek dengan iringan music oleh Aulia dan kawan-kawan. Rafly meningkahi lagu To’et tersebut dengan gaya khasnya dan Tio dengan Harmonika kesayangannya.
Saat lagu To’et lainnya berjudul Tari Dangdut i Jakarta, juga berhasil membuat suasana hidup dan Tio sempat mengiringinya dengan membacakan puisi yang tentang Takengon yang diciptakan secara bergotong royong oleh pengunjung yang hadir ditempat tersebut. Semua pengunjung juga melakukan Tepuk dan Tingkah Didong secara bersama-sama.
Untuk kesempatan berikutnya, sang Master of Ceremony, Iwan Bahagia meminta Vokalis Zombeetnica, Irvan untuk ikut menyanyikan lagu kesayangannya. Lagi-lagi, Tio dan Rafly terkesima. Irvan menyanyikan lagu “Muniru” yang tak asing lagi bagi pengunjung yang hadir di tempat tersebut.
Mungkin takjub atas kepiawaian anak-anak muda Gayo bernyanyi dan memainkan music, spontan setelah lagu tersebut usai, Tia berucap dihadapan para pengunjung. “Takengon harus banyak-banyak berteriak agar semua orang tahu,” ujar Tio dengan suara menggelegar dan disambut dengan tepuk tangan pengunjung.
Suasana mendadak hening, saat Ecek dan Irvan serta Rafly bersama-sama menyanyikan lagu “Aman” ciptaan Ceh Daman Dewantara. Rafly dengan kekhassannya menimpali saat intro lagu tersebut dengan puisi berisi kata-kata himbauan untuk menjaga damai Aceh. “Pilih pemimpin yang istiqamah,” seru Rafly dalam puisinya.
Apresiasi Tio dan Rafly, Gagas Festival Lagu Gayo
Setelah lagu tersebut berakhir, Rafly kemudian angkat bicara. “Gayo memang gudangnya seniman. Lagu-lagu Gayo membumi dan menjadi tuan rumah dinegerinya sendiri. Buktinya semua orang Gayo bisa menyanyikan lagu Gayo,” ucap Rafly memberi apresiasi kepada pengunjung yang hafal dan mampu menyanyikan lagu-lagu Gayo dengan baik.
Ternyata Rafly ikut miris dengan kondisi terbatasnya ruang dan waktu yang diberikan pemerintah untuk para musisi untuk berekspresi. “Diskrimatif dengan dikeluarkannya peraturan tidak boleh berkesian di malam hari. Berikan kepada kami kebebasan,” seru Rafly sambil mengajak para seniman di Aceh untuk membuat tuntutan bersama-sama agar diperbolehkan berkesian di malam hari.
Sementara Tio, dalam kalimat perpisahannya secara spontan memberi ide untuk digelarnya festival seni Gayo tradisional dan bersedia membantu dan memfasilitasi untuk dilevel pusat Jakarta. Dia meminta kepada Lintas Gayo didukung Central Entertainment untuk merencanakan even tersebut. Ide tersebut ternyata sudah disampaikan kepada Ikmal Bruce Gopi disela-sela mendengarkan lagu-lagu Gayo yang dibawakan oleh Ecek dan Iravan.
“Tolong gelar festival music Gayo, saya janji akan dukung,” pungkas Tio sambil pamit karena harus beristirahat untuk agenda shooting kesokan harinya. Pernyataan Tio pemeran Azwar sang Mahaguru dalam film JSP tersebut disambut dengan tepuk tangan seluruh pengunjung yang hadir. (Khalis)