Oleh. Drs. Jamhuri, MA*
Teringat saya pada sebuah tradisi ketika masa kanak-kanak dulu di tahun 70-an, dimana pada waktu selesai shalat hari raya (utamanya hari raya idul fitri) semua anggota keluarga pergi mengunjung ke rumah nenek pihak perempuan (alik), tradisi kunjungan ke tempat alik ini dilakukan karena kebanyakan keluarga masih merupakan hasil dari pernikahan dengan membawa isteri kerumah pihak laki-laki (juelen).
Berkunjung seperti itu dilakukan dalam satu tahun sekali pada saat berhari raya, dimana pada hari ini semua anggota keluarga di bawa dan tidak ada yang tinggal, mulai dari anak yang bungsu (bensu) sampai pada anak yang paling sulung (sulubere). Sedangkan untut kunjungan jika ada hajatan, maka tidak semua anggota keluarga dibawa, terlebih ketika ada kemalangan dimana anak juelen harus cepat sampai dan memerlukan kesanggupan untuk berjalan kaki.
Berjalan kaki dilakukan secara berkelompok untuk masing-masing keluarga dengan tujuan keluarga pihak perempuan, ketika saling berpapasan terdengar ucapan “nentong alikke” atau “nentong ralikke” (arti : berkunjung kepada keluarga pihak perempuan). Perjalanan dilakukan dengan menghabiskan waktu berjam-jam, kasih sayang orang tua terhadap anaknya pada saat perjalanan ini memang tidak terbalaskan, anak yang masih kecil selalu dalam gendongan, yang agak besar terkadang dibiarkan berjalan dan sekali-sekali di gendong oleh ibu atau juga naik ke atas bahu si bapak.
Tidak ada tempat untuk beristirahat sepanjang perjalanan, kecuali bila ada rumah saudara yang perlu dikunjungi pada hari raya, itupun memerlukan kesepakatan apakah singgah ketika pergi atau ketika pulang, biasanya persinggahan ini dilakukan ketika pulang. Karena pentingnya orang tua ibu (alik) yang sudah setahun tidak bertemu.
Perjalanan yang melelahkan ini juga tidak ubahnya seperti berwisata, karena jauhnya jalan yang harus ditempuh dan lamanya waktu yang dihabiskan, pada saat itu belum ada yang namanya warung kopi apalagi warung nasi, juga belum ada kedai yang menjual makanan ringan. Sehingga beban barang bawaan bertambah disamping pakaian ganti dan anak yang digendong ditambah lagi dengan nasi, paling kurang untuk anak-anak bila ketemu waktu makan siang.
Bisakah ini dijadikan salah satu sebab pada saat itu, yang menjadikan kasih sayang dan kesetiaan antara suami isteri dan anak-anaknya tidak terpisahkan, sehingga perceraian hampir tidak pernah terjadi kecuali karena kematian salah satunya.
Sambutan pihak alik sangat luar biasa, ungkapan juelen sudah datang terlontar dari banyak mulut, isakan tangispun terdengar sebagai tanda pelepas rindu.
Dalam tangisan mereka tidak pernah terdengar bagaimana susahnya hidup ketika setelah menikah, mereka juga tidak pernah bercerita tentang berapa sudah banyaknya harta yang didapat. Tapi mereka selalu bertanya dan bercerita tentang jumlah anak, sekolah anak dan kegiatan anak, di samping juga pihak alik akan bertanya bagaimana keadaan atau kesehatan bapak atau ibu dari suami (Ume : awan dan anan) yang ditinggalkan.
Cucu-cucu yang datang disambut dengan penuh kasih sayang dan kegembiraan oleh seluruh keluarga, mereka didudukkan di samping kanan dan kiri awan alik (bapak pihak ibu). Awan alik sambil makan lepat (timpan) mulai bercerita dan bertanya kepada cucu-cucunya tentang keadaan sekolah, kerbau, kuda, kebun dan sawah serta lain-lainnya.
Ibu yang sudah lama tidak bertemu dengan keluarganya (ibu, adik dan kakak) bercerita seolah tidak habis sambil menyiapkan makanan, bapak (kile) duduk agak menjauh dengan sekali-sekali menjawab apa yang ditanyakan awan alik kepada cucunya.
Tidak pernah terdengar satu pertanyaan langsung dari empurah (ayah atau mamak isteri) kepada kile (suami anak perempuan), bagaimanapun pentingnya yang akan dibicarakan, tetapi pertanyaan selalu melalui perantaraan cucu atau anak juelan. Demikian juga dengan jawaban dari kile, tidak pernah langsung menjawab tetapi arus melalui perantaraan anak.
Tradisi dan budaya seperti ini tidak kita temukan lagi, diantara penyebab hilangnya adalah karena kemajuan tekhnologi, transportasi dan informasi. Tidak ada lagi lamanya perjalanan yang ditempung melebihi satu hari dan kalaupun ada tidak banyak orang yang menggunakannya, hanya sedikit tenaga manusia yang digunakan ketika hendak melakukan silaturrahmi, kerinduan setahun tidak bertemu sudah bisa diatasi dengan hitungan menit malahan detik. Komunikasi langsung antara kile, pemen dengan tuen dan empurah yang sebelumnya ada perantara saat ini sudah mencair, tidak ada lagi beda posisi antara orang yang pertama harus dikunjungi dengan orang kedua serta orang yang hanya sekedar boleh dikunjungi.
Paling mudah kita melihatnya, pada hari pertama dan kedua lebaran telah banyak orang-orang di tempat wisata, bukankah hari ini adalah hari silaturrahmi dengan keluarga terdekat. Untuk mengunjungi awan– anan dan alik serta keluarga dari pihak bapak dan ibu kita.
Kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya pada generasi muda, karena orang tua juga memberi kesempatan pada hari itu kepada anak-anak mereka untuk tidak mengunjungi saudara-saudara dekatnya. Sehingga pada diri anak tidak terbina hubungan kedekatan antara keluarga dan menganggap sama untuk semua orang. Pemerintah juga memberi izin secara tidak tertulis kepada mereka semua untuk mengunjungi tempat-tempat wisata pada hari pertama atau kedua lebaran.
Solusi yang harus kita lakukan tidaklah begitu sulit, kalau setiap keluarga mengadakan silaturrahmi sesama anggota keluarga pada hari tersebut, baik dengan cara berkumpul pada rumah induk keluarga di pihak ayah pada hari pertama dan hari kedua pada pihak ibu. Untuk hari ketiga adalah bersama kolega atau kawan sejawat.
Untuk atasan dan sejawat bukalah kesempatan bersilaturrahmi pada hari ketiga, jangan menganggap kesetiaan staf adalah berkunjung dan silaturrahmi pada hari pertama lebaran, karena kesetiaan seperti itu hanya simbul dan tidak ada lagi ketika jabatan tidak ada. Untuk generasi muda anggota masyarakat secara umum manfaatkan hari ketiga ini untuk melancong dan berwisata kemana yang disepakati. Kalau ini sudah bisa kita jalankan, tidak perlu ada anggota Polisi, LLAJR, Satpol PP dan WH yang tidak bersilaturrahmi dengan keluarganya, karena tatanan masyarakat tidak dibangun secara baik.
Pengembalian nilai adat dan penegakan syariat dapat berjalan dengan baik bila semua kita bersepakat untuk itu, bila kesepakatan ini tidak ada maka moral juga akan rusak.
*Pemerhati Tradisi Budaya Tinggal di Banda Aceh.