Oleh Marah Halim*
Tadi malam penulis shalat Tarawih di Mesjid Agung Lamprit, Banda Aceh. Dalam Ramadhan penulis memang mencanangkan Safari Tarawih, artinya shalat tarawih di masjid atau menasah yang berbeda setiap malamnya. Kata pepatah banyak berjalan banyak dilihat. Sejak awal tarawih telah ada empat masjid yang berbeda, tentu saja diawali oleh Masjid Raya Baiturrahman, masjid kebanggan kita semua.
Apa yang berkesan tadi malam di Masjid Agung Lamprit adalah kerawang Gayo. Tanpa sengaja saya duduk persis di belakang seorang jama’ah yang mengenakan peci dengan motif kerawang Gayo. Tanpa melihat orangnya penulis langsung menebak pasti dari Takengon (sebutan bawah sadar kita untuk Aceh Tengah dan Bener Meriah). Tidak akan ada selain orang Takengon yang memakai peci dengan motif itu. Kebetulan penulis juga memakai peci dengan motif yang sama.
Dugaan penulis benar, ternyata yang memakai peci adalah teman lama. Tak sungkan penulis sedikit menggelitik pinggangnya, dia menoleh dengan mimik surprise juga melihat penulis ada di belakangnya. Kami pun bersalaman dan sedikit basa-basi.
Sambil shalat Tarawih (karena shalatnya kurang khusyu’ juga), saya teringat dengan nasib kerawang Gayo. Sedikit sekali upaya pelestarian khazanah fashion kita ini. Sedikit sekali yang memakai kerawang Gayo, karena sedikit yang memakai sedikit pula produksinya. Menjelang hari raya ini, mungkin agak banyak yang laku, itupun untuk peci saja. Untuk baju dan celana sepertinya hanya sedikit yang mau ber-kerawang Gayo ketika lebaran. Orang kita lebih bangga memakai baju dengan motif lain.
Iseng-iseng penulis berpikir, kenapa sih pemerintah daerah di Aceh Tengah dan Bener Meriah tidak mewajibkan satu hari dalam seminggu semua PNS wajib memakai kerawang Gayo; seperti halnya PNS di Yogyakarta yang setiap hari jum’at memakai batik lengkap dengan keris dan blangkonnya untuk laki-laki dan kebaya dan sanggulnya untuk perempuan. Tak syak lagi, tampaklah suatu pemandangan yang menyejukkan mata, kena di hati.
Jika PNS diwajibkan memakai kerawang Gayo setiap hari Kamis misalnya (hari Jum’at mungkin pakaian muslim), maka akan menggerakkan industri fashion, mulai dari bahannya, penjahitnya, pembuat motifnya, distributornya, penjualnya, dan banyak lagi. Tentunya akan menggerakkan ekonomi sekaligus melestarikan khazanah budaya Gayo.
Ini memang baru sebatas lemparan ide yang hendaknya ditindaklanjuti dengan tindakan. Syukur-syukur pemerintah Aceh Tengah dan Bener Meriah mau menerima ide penulis ini. Jika kemudian terealisasi, maka harus menjadi kebiasaan, kemudian jadikan karakter PNS di Gayo, sehingga terbangun imej dalam alam bawah sadar siapapun bahwa PNS di Takengon pada hari Kamis selalu memakai kerawang Gayo lengkap.
Harus ada campur tangan pemerintah untuk melestarikan Kerawang Gayo. Meski terkesan memaksa, tapi untuk kebersamaan dan pelestarian identitas penulis kira kadang perlu dipaksakan. Orang tua kita telah susah payah menciptakan identitas yang bisa menjadi ciri khas orang Takengon. Alangkah sedih mereka jika kreativitas mereka tidak dikembangkan.
Semuanya memang kembali ke kreativitas. Sangat disayangkan orang Gayo tidak mewarisi keterampilan menjahit seperti halnya orang Pidie (khususnya Caleu) yang mewariskan keterampilan ini secara turun-temurun. Bayangkan berapa ratus ribu jumlah orang Gayo yang baju, celana, pakaian dinas, dan sebagainya yang semuanya dijahit oleh orang lain. Padahal keterampilan menjahit adalah salah satu cara kita untuk melestarikan Kerawang Gayo.
Kerawang Gayo bukan sekedar motif tanpa falsafah, kalau hanya motif kosong tanpa makna mungkin penulis tidak terlalu merisaukannya. Dalam motif-motif kerawang ada pelajaran dan hikmah yang bisa kita ambil. Namun karena penulis kurang menguasai makna filosofi di balik kerawang Gayo, penulis berharap ada pembaca yang bisa mengangkatnya di situs kita ini.
Kita lestarikan kerawang Gayo, minimal bagi kaum bapak kita sepakai untuk semuanya memakai peci kerawang Gayo saat hari-raya nanti; dan untuk ibu-ibu bisa menyesuaikan gaun apa yang cocok diberi motif kerawang Gayo. Sekali lagi, lestarilah kerawang Gayo!
*Urang Gayo i Banda Aceh