Oleh : Sofyan Griantara
Dalam kesempatan morning briefing, seorang teman yang berasal dari Negeri “Seribu Bukit” Gayo Lues mendapat tugas sebagai penutur kisah-kisah dan ajaran motivation speaking. Beliau bercerita tentang kisah tiga orang yang berprofesi sebagai penjual air bersih.
Tersebutlah sebuah komunitas penduduk yang tinggal di pemukiman yang gersang dan sedang dilanda kekeringan sumber air untuk kebutuhan sehari-hari. (He..he..he.. mirip lagu cerite si tengah ialami masyarakat Takengen besiloni Ge) sehingga untuk mendapatkan air buat minum, mandi dan mencuci bahkan sekedar wudhuk harus membeli dalam paket jerigen atau ukuran literan.
Ada tiga orang kampung itu yang membaca fenomena ini sebagai peluang bisnis, mereka tau sejauh beberapa kilometer dari perkampungan terdapat telaga kecil yang selalu mengalirkan air yang jernih dan bersih, namun letaknya diatas bukit yang cukup menguras tenaga untuk mendakinya. Karena hanya ada jalan setapak yang tidak dapat dilalui oleh kenderaan apapaun. Di waktu dan hari yang berbeda masing-masing mereka pergi melakukan survey
Orang pertama pemuda berbadan tegap, ia memutuskan untuk mengangkut air dengan cara memikul 4 jerigen sekaligus. Bila sehari mampu empat kali bolak-balik dan menjualnya Rp 5.000 per jerigen, maka ia akan mendapat 16 jerigen dan akan mememperoleh uang sebanyak Rp. 80.000. Sungguh ia seorang pekerja keras dan benar-benar memanfaatkan waktu kerja dengan optimal.
Orang kedua berusia separuh baya, ia hanya mampu memikul 2 jerigen air sekali jalan. Sehingga sehari hanya 8 jerigen dan mendapatkan uang penjualan sebesar Rp. 40.000. Tak perlu memaksakan badan, dengan hasil begitu cukuplah pikirnya, yang penting setiap hari pasti memperoleh pendapatan yang tetap.
Orang ketiga anak muda terpelajar yang baru pulang dari perantauan. Orang ini menurut mereka bersikap tidak realistis karena sudah sebulan berjalan ia belum menjual seliter airpun. Semenjak fajar hingga senja kerjanya hanya menggali parit dan menanam pipa untuk mengalirkan air dari bukit ke perkampungan. Sudah banyak modal dan tenaga yang dikeluarkan tetapi belum sedikitpun pendapatan yang diperoleh dari bisnis penjualan airnya.
Dibulan ketiga pemuda pertama sudah mulai kelelahan, selama ini ia terlalu memporsir tenaganya. Kemampuannya sudah mulai menurun ia hanya mampu mengangkut 3 jerigen air sekali jalan. Sementara penjual air separuh baya masih dapat mempertahankan produksinya sehingga pendapatannya pun masih konstan. Adapun penjual air ketiga masih belum menjual apa-apa sebab galian pipanya terbentur batu cadas sehingga kalau tadinya ia mampu menggali 30 meter sehari sekarang hanya mampu ia selesaikan 5 meter. Orang-orang yang melihatnya mulai pesimis dengan usaha pemuda ini, tapi ia memutuskan untuk jalan terus. Ada banyak pengorbanan lahir dan batin untuk menggolkan sebuah ide, begitu pikirnya.
Di bulan ke enam penjual air pertama telah mampu mengumpulkan banyak uang, ia mempunyai tabungan sekitar Rp. 10 Juta. Begitupun penjual air kedua telah memiliki beberapa ekor kambing dari hasil penjualan airnya. Sementara penjual air ketiga baru menikmati hasil penjualan 10 liter airnya yang pertama karena baru berhasil menyambung-nyambungkan pipa dan mengalirkan air dari dari telaga di bukit ke dalam bak penampungan di pekarangannya.
Di saat pembeli mulai berdatangan ketempat penjual air ketiga, pendapatannya mulai meningkat dari hari kehari tanpa harus bekerja membanting tulang lagi seperti dahulu. Sedangkan penjual air pertama dan kedua masih pula menjalankan usahanya namun dengan hasil yang semakin sedikit akibat kemampuan mengangkutnya yang semakin menurun sehingga produksinya pun semakin berkurang.
Sering kita dengar dogma/pameo di masyarakat, bahwa untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dengan pendapatan yang berkecukupan seseorang harus bekerja keras, tidak boleh bermalas-malasan dan berpangku tangan. Dengan bekerja keras akan didapat hasil yang banyak, dengan bekerja keras akan melatih diri dan orang-orang yang berada di bawah tanggung jawab kita untuk lebih menghargai waktu dan kesempatan. Namun bila bercermin pada kisah diatas ternyata jika sekedar bekerja keras saja belumlah cukup. Karena bekerja keras hanya akan memperoleh hasil yang terbatas dan terukur. Untuk memperoleh hasil yang lebih optimal kita juga harus bekerja secara cerdas.
Ada banyak tamsilan dan konsep bekerja keras dan bekerja cerdas dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengaplikasikannya sangat tergantung pada profesi apa yang sedang kita jalani. Kita harus berupaya menemukan formula yang paling efesien dan tepat guna dalam menjalankan pekerjaan rutinitas, dengan demikian hasil yang diperoleh akan semakin optimal.
Salah satu formula bekerja cerdas adalah membangun silaturahmi yang lebih luas, para ahli komunikasi modren menyebutnya dengan membangun Network. Bukankah rejeki itu disalurkan Tuhan melalui perantaraan orang-orang. Kita tidak tau sebelumnya ketika seseorang memberikan informasi yang bila dicermati dan kelola dengan baik maka akan menjadi sejumlah uang. Penulis sering mendapat berita tentang si A yang akan menjual mobilnya, lalu bertanya ke pada si B tentang siapa yang sedang membutuhkan mobil, bila kita pertemukan antara si A dengan orang yang diberitahu oleh si B, bukankah pada akhirnya akan berbuah sejumlah rejeki ?.
Seorang pimpinan cabang perusahaan asuransi suatu hari meminta kepada penulis untuk dipertemukan dengan pimpinan perusahaan. Dalam benak saya orang ini seorang “pekerja cerdas” yang sedang berupaya memasang pipa. Bukankah bila antara perusahaan saya dan perusahannya terjalin kerjasama maka setiap bulan akan mengalir sejumlah rejeki untuknya ?. Sebab setiap bulan selalu ada custommer yang diwajibkan menutup asuransi bila menjadi pelanggan kami.
Banyak yang berpikir terlalu muluk untuk membangun dan mengembangkan network, padahal itu hanya pekerjaan sederhana yang bila dilakukan secara kontinyu akan membuahkan hasil signifikan. Hadirilah undangan, kunjungi sahabat dan kerabat, sering-sering membuat kontak dengan teman-teman lama, dalam setiap kesempatan upayakan mendapat teman baru, aktiflah dalam oraganisasi mulai dari organisasi kecil seperti arisan keluarga hingga organisasi besar seperti ormas atau organisasi keagamaaan.
Seorang salesmen pekerja keras akan mendatangi calon pembeli door to door tapi seorang salesmen pekerja cerdas akan melakukan prensentasi produk di dalam sebuah event yang sedang dihadiri oleh orang ramai. Seorang marketter pekerja keras akan berupaya mengenal orang-orang yang ditemuinya satu persatu tapi seorang maketter pekerja cerdas akan berupaya menjadi anggota organisasi komunitas hobi, organisasi profesi atau organisasi asosiasi untuk bisa merekrut para anggotanya menjadi pelanggan dari perusahaannya.
Seorang petani pekerja keras akan menanam palawija dari musim ke musim tapi petani pekerja cerdas akan menanam tanaman keras agar mendapat panen setiap musim secara kontinyu hingga puluhan tahun. Seorang politikus pekerja keras akan berupaya sekuat tenaga merayu konstituennya setiap kali masa pemilihan tiba, tapi politikus pekerja cerdas akan membangun jaringan komunikasi yang intensif dan kontinyu dengan rakyatnya, mengembangkan karakter dan kapasitas diri yang mumpuni, sehingga akan automatis terpilih pada setiap kali pemilu.
Akhirnya dapat dicermati bahwa pada umumnya pekerja keras lebih mengandalkan kekuatan fisiknya untuk mendapatkan hasil yang bersifat instan namun seasonal, tapi pekerja cerdas lebih mengoptimalkan kecerdasan akal budinya untuk membangun sebuah pola kerja yang sistematis sehingga walaupun membutuhkan waktu untuk memperoleh hasil, namun bersifat permanen dan berkelanjutan. Keduanya sama-sama hanya punya waktu 24 jam sehari, 7 hari seminggu dan 12 bulan dalam setahun, tapi hasil yang diperoleh sang pekerja keras dengan sang “pekerja cerdas” sungguh berbeda berkali lipat.
*Penulis Putra Asir Asir, bermukim di Banda Aceh