“Insya Allah”, Mencari Legalitas Ilahi

Oleh. Drs. Jamhuri, MA*

Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk mempunyai keterbatasan, mereka tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada dirinya walau dalam tempo yang dekat. Karena itu Islam memerintahkan kapada semua orang yang akan melakukan suatu perbuatan dengan mengucap Kata “Insya Allah”, dengan mengucapkan kalimat ini berarti seorang muslim telah berjanji akan melakukan suatu perbuatan kecuali tidak memungkinkan pada saat akan dilakukan.

Firman Tuhan dalam al-Qur’an yang artinya : “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah”. Dan ingatlah kepada Tuhan-Mu jika kamu lupa dan katakanlah “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini” (Q.S Al-Kahfi 18: 24)

Kata “Insya Allah” dalam ayat tersebut berarti “jika Allah menghendaki”. Ini menunjukkan bahwa kita tidak tahu sedetik ke depan apa yang terjadi dengan kita. Manusia punya rencana dan program apa yang akan dia kerjakan atau dia bangun, Allah punya kuasa. Dengan demikian, kata “insya Allah” menunjukkan kerendahan hati seorang hamba sekaligus kesadaran akan kekuasaan Ilahi.

Sayang, sebagian diantara kita sering melupakan peranan dan kekuasaan Allah ketika hendak berencana atau mengerjakan sesuatu. Seolah dalam perbatan tersebut tidak adanya peran Allah, pernahkah kita melihat ketika masa kampanye pemilihan legislative atau yudikatif atau pemilihan apapun, hampir tidak pernah terdengar ucapan yang keluar dari mulut para calon atanpun tim suksesnya yang namanya kata “insya Allah”.  Bahkan ada sebagian orang malah mengamalkan kata  “Insya Allah” secara keliru yakni sebagai cara untuk tidak mengerjakan sesuatu.

Kata yang populer dalam masyarakat ketika menghadapi pemilukada akan berlangsung “IKE AKU KASE TERPILIH KURUSKAM”, artinya apa ? ini adalah sebuah akibat dari apa yang dilakukan oleh seseorang tanpa melibatkan peran Tuhan dalam rencana yang ia akan lakukan. Mereka mengatasnamakan kata “Insya Allah” bukan sebagai keyakinan tetapi sebagai basa basi untuk tidak memenuhi apa yang ia janjikan, mereka berkelit dan berlindung dengan kata “Insya Allah”.

Ketika kita menerima undangan atau ajakan dari seseorang, kita dengan mudah dan  sembarangan menyebut kata “Insya Allah”, sehingga karena keseringannya kita bersembunyi dan berlindung dengan kata itu, orang yang mengajak akan katakan kepada kita “jangan Insya-Insya Allah, yang betul”, ini juga menunjukkan bahwa kata yang seharusnya sakral dan mendapat nilai kebaikan, akhirnya mejadi olokan.

Hal yang serupa tidak hanya terjadi dikalangan mereka berupaya mencari suara dan masyarakat umum, tetapi juga berkembang dikalangan orang yang terpelajar (akademisi) dan pejabat. Bila ada seorang mahasiswa ingin menjumpai dosen untuk mengisi KRS atau bimbingan skripsi, maka seorang dosen mengatakan “Insya Allah” nanti atau bosek atau juga pada hari tertentu dan pada jam tertentu ia ada. Namun ketika ia mengucapkan kata tersebut dalam hatinya terus terbetik “ketidak tulusan” sehingga pada hari dan waktu yang dijanjikan ia tidak ada dan membuat kegiatan lain dengan tanpa beban salah terhadap sebuah janji, ini sudah menjadi budaya yang tidak baik dan sulit dihilangkan.

Demikian juga dengan mahasiswa, katika waktu yang disediakan untuk mengisi KRS dan membimbing skripsi sudah ditentukan dalam waktu yang panjang, mereka selalu mencari waktu yang sempit sehingga dosen yang melayani mereka tidak sempat memeriksa dan merasa terdesak oleh waktu.

Ketika pejabat membuat janji dengan masyarakat terdengar kata “Insya Allah”, namun ketika pada waktu yang dijanjikan dipenuhi mereka tidak ada ditempat, alasan ada rapat, sibuk atau alasan lain yang bersembunyi di balik kata “Insya Allah”, sehingga semua orang mengeluh dan berucap sangat sulit ketika berurusan dengan pejabat (birokrasi).

Fenomena di atas memberi isyarat atas merosotnya nilai disiplin, dimana ketika waktu rapat telah ditentukan pada jam 8.30 peserta rapat baru datang pada jam 9.30 atau lebih, malahan ketika dia sampai di tempat dia katakan lagi “saya pikir saya terlambat rupanya belum ada orang” atau “masih ada yang lebih terlambat dari saya lagi”, inilah bentuk perwujudan dari keyakinan terhadap janji yang ada pada setiap individu pada saat ini.

Permasalahan yang lain adalah merosotnya nilai kejujuran, setiap orang mengatakan bahwa dirinya sanggup memikul amanah dan berusaha dengan mengorbankan jiwa, harta dan kehormatannya demi mendapatkan amanah, namun ketika amanah itu ada ditanganya mereka tidak sanggup membawa dan menyampaikannya ketujuan. Banyak orang yang ketika tidak mendapatkan amanah mengalami gangguan jiwa, hilang kesetabilan hidup, kondisi keluarga berantakan, hanya karena mereka menganggap bahwa amanah itu tidak ada hubungannya dengan Allah (ketika memulai pekerjaan tidak pernah berkata “Insya Allah” dan kalaupun ada hanya sebagai perlindungan dan persembunyian).

Yang benar adalah, ketika kita diundang  atau berjanji pada orang lain kita ucapkan “insya Allah”, lalu kita berusaha memenuhi undangan ataupun janji itu. Bila tiba-tiba datang halangan seperti sakit, hujan, atau apa yang kita programkan tidak mendapat anggaran, tidak mendapat persetujuan dengan kata lain kita tidak sanggup memenuhinya, maka di sinilah letak kekuasaan Allah. Di sinilah baru berlaku makna “insya Allah”.

Orang yang mengundang atau orang yang pernah kita berjanji dengannya, bahkan orang yang nasibnya kita perjuangkan meyakini bahwa “Insya Allah” adalah sebagai ketundukan kita kepada Allah, dan semua upaya yang kita lakukan mendapat redha,juga bila tidak mendapatkan yakinlah bahwa sebenarnya kita tidak sanggup memikulnya di mata Allah.



* Mahasiswa Program S3 pada Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.