Pergeseran Nilai Adat dan Budaya Gayo

Oleh. Drs. Jamhuri, MA*

Tiga bentuk perkawinan yang dikenal dalam masyarakat Gayo, yakni : juelen, angkap dan kuso kini. Istilah-istilah ini tidak terdengar lagi pada masa sekarang, namun sebagai khazanah masyarakat kita harus mengetahuinya, kendati tidak dikenal lagi namun prilaku sebagian anggota masyarakat belum siap untuk meninggalkannya. Disamping juga semua istilah ini merupakan khazanah budaya yang menjadi warisan histori.

Perkawinan juelen, mungkin lebih mudah kita pahami dengan menitik beratkan pada kata perkawinan yang dikaitkan dengan kata juelen. Perkawinan adalah suatu ikatan yang langgeng antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, sedang juelen adalah istilah yang digunakan dalam transaksi jual beli, yang berarti berpindahnya hak milik dari sesorang kepada orang lain yakni dari penjual kepada pembeli. Hukum barang yang selama ini berada di tangan penjual maka dengan adanya aqad transaksi berpindah kepada pembeli.

Demikian juga dengan perkawinan juelen, kendati tidak persis sama dengan jual beli tetapi ada unsur yang menyamakannya yaitu hukum anak perempuan sebelum menikah ada di tangan orang tua atau wali, ketika menikah berpindah kepada suami dan keluarganya. Dalam perkawinan juelen ada yang disebut dengan munenes (hantaran dari keluarga isteri ketempat suami yang akan menjadi tempat tinggalnya).

Dari segi tanggung jawab keluarga (wali) dalam perkawinan juelen sangat baik, apabila satu saat si suami meninggal dunia maka anak dan isteri yang ditinggalkan akan menjadi tanggung jawab keluarga suami, sering terjadi perbuatan hukum yang lain muncul dari perkawinan ini yaitu apa yang disebut dengan perkawinan ganti tikar. Isteri yang ditinggalkan oleh suaminya akan dinikahi oleh salah seorang dari keluarga suami, sehingga perlindungan terhadap isteri, harta dan pendidikan anak sangat baik.

Ketika bentuk perkawinan juelen tidak dianut lagi dalam masyarakat Gayo, tetapi pola hidup sebagian masyarakat yang tidak melepaskannya secara penuh, maka banyak berakibat pada kerugian terhadap keluarga yang ditinggalkan. Satu kasus pernah terjadi dalam masyarakat Gayo pada tahun 80-an, seorang suami yang meninggal karena kecelakaan dan meninggaikan tiga orang anak dan seorang isteri.

Isteri dan anak-anak yang ditinggal suami tinggal bersama orang tua suami dengan harapan satu waktu akan dinikankan dengan orang lain, tetapi apakah karena alasan terlalu lama baru dinikahkan atau karena ketidak setujuannya dengan orang yang akan dinikahkan keluarga almarhum, si isteri tersebut menikah dengan orang lain tanpa persetujuan pihak keluarga suami. Akhirnya semua anak-anaknya tidak diizinkan ikut bersama ibunya dan tinggal bersama kakek yang secara harta sanggup menghidupi semua cucunya.

Namun karena kehidupan anak yang tidak hanya dipadai dengan ikatan nasab dan harta,  tetapi lebih penting lagi adalah hubungan kasih sayang dari ibu yang melahirkan, maka anak yang dibesarkan oleh kakek tanpa kasih sayang dan tumbuh besar secara tidak normal. Akibat nyata dari kehidupan ini dua orang anaknya tidak lagi melanjutkan pendidikan dan menjadi anak yang nakal pada usia remajanya.

Perkawinan angkap, perkawinan ini merupakan kebalikan dari perkawinan juelen, dimana kalau juelen si isteri yang tinggal di rumah suami tetapi angkap si suami yang tinggal di lingkungan keluarga isteri dan kebanyakan hukum suami tunduk kepada keluarga dan lingkungan isteri. Perkawinan bentuk ini terjadi tidak sebanyak perkawinan juelen dan terjadinya biasa karena alasan tertentu, seperti alasan tidak ada yang menjaga orang tua atau karena alasan lain yang mengharuskan suami tinggal di lingkungan isteri.

Akibat dari perkawinan seperti ini tidak banyak pengaruhnya kepada keluarga yang ditinggalkan, kendati si isteri terlebih dahulu yang meninggal. Karena walaupun hukum suami tunduk kepada keluarga isteri, suami sebagai kepala rumah tangga tetap diakui dan kalaupun terjadi perkawinan ganti tikar tetap dinggap lebih baik. Konsekwensi hukum lain yang muncul dari perkawinan ini, mereka akan mendapat harta dari keluarga isteri yang tidak hanya berdasarkan hitungan warisan tetapi juga ditambah dengan hitungan lain, baik berupa hibah ataupun wasiat atas jasa mereka dalam menjaga dan memelihara orang tua.

Tidak ada informasi yang jelas kapan dua bentuk perkawinan ini hilang dari masyarakat, kendati nama kedua bentuk ini masih dikenal sampai sekarang. Dalam praktek masyarakat juga belum meninggalkannya secara penuh sebagaimana contoh yang telah disebutkan di atas, tapi yang jelas akibat dari lajunya perkambangan tekhnolgi informasi dan transportasi dan kemajuan ilmu pengetahun, membuat masyarakat meninggalkan praktek budaya yang ada di lingkungan mereka.

Dalam hukum adat perkawinan masyarakat Gayo sekarang ini di kenal dengan bentuk  perkawinan kuso-kini, istilah ini diyakini ada setelah tidak ada lagi dua bentuk perkawinan di atas. Untuk perkawinan Kuso kini mereka yang sudah menikah dibolehkan tinggal di mana mereka suka, apakah di tempat atau lingkungan keluarga suami atau dilingkungan keluarga isteri atau diamana yang mereka kehendaki, masyarakat Gayo menyebut upaya ini dengan “sempit mungenaki lapang”.

Bentuk perkawinan terakhir ini menuntut kemandirian mereka yang akan menikah, karena dalam dua bentuk di atas salah satu keluarga akan memberi kehidupan kepada yang menikah, bila perkawinan juelen pihak suami yang akan menyediakan lahan, sebaliknya bila perkawinan angkap maka yang menyediakan kehidupan adalah pihak keluarga isteri. Sedangkan untuk bentuk perkawinan terakhir pemberian ini belum tentu ada.



*Dosen pada Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.