Apa Sebenarnya yang Mau Dituju oleh Kurikulum Indonesia?

Oleh Win Wan Nur*

Kemarin anakku menunjukkan hasil ujiannya, dari seluruh mata ujian yang dia ikuti dia mendapat nilai terendah 7,7 untuk Matematika dan Bahasa Inggris yang ironisnya adalah dua pelajaran yang paling dia kuasai dan dia suka. Ironis…Melihat nilai yang dia dapatkan, saya spontan membaca soal-soal yang ditanyakan dalam ujiannya. Dan setelah membacanya, saya hanya bisa geleng-geleng kepala sambil bertanya-tanya. Kemana sebenarnya arah yang mau dituju oleh kurikulum pendidikan kita ini ?Sebagai gambaran, untuk berkomunikasi dalam  bahasa Inggris, anak saya sudah lebih fasih dari  saya. Membaca juga sudah lancar.

Dulu di sekolah lamanya yang bahasa pengantarnya sepenuhnya Bahasa Inggris, untuk anak kelas I pengajaran diarahkan untuk memahami maksud dari kata-kata itu. Anak-anak disuruh mendengarkan kata-kata itu, mengucapkannya dan menuliskan apa yang mereka ucapkan dengan huruf yang mereka anggap sesuai dengan ucapan itu. Soal salah benar hurufnya tidak dipermasalahkan.

Tapi dalam bahasa Inggris, untuk anak kelas 1 SD yang diuji kemampuan untuk menuliskan kata-kata bahasa Inggris dengan benar, lengkap tanpa salah satu huruf pun. Nah di sini dia belepotan, karena tercampuraduk dengan bahasa Indonesia.

Apa sasaran yang mau dituju dengan kurikulum semacam  itu?…saya benar-benar tidak mengerti.

Dan untuk matematika saya lebih tidak mengerti, membaca soalnya saya jadi bertanya-tanya, apa orang-orang yang menyusun kurikulum SD ini tidak pernah tahu apapun tentang kemampuan kognitif anak umur 6 – 7 tahun?

Bagaimana mungkin,  untuk ujian matematika kelas 1, pertanyaannya digunakan menggunakan orang dewasa. Untuk matematika, di Kumon anak saya sudah sampai pada tahap perkalian dan pembagian. Tapi dia gagal menjawab pertanyaan untuk ujian anak kelas 1 SD.

Dari sepuluh soal yang diujikan, anak saya gagal menjawab 2 pertanyaan, ruang jawaban untuk pertanyaan itu dia kosongkan. Beginilah gambaran dari pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh anak saya. Soal untuk pertanyaan itu berisi gambar orang yang memegang papan angka 6 sampai 10 dalam posisi acak.

Pertanyaannya, urutkan dari yang besar ke yang kecil

Yang satu lagi juga begitu, gambar berisi orang yang memegang papan angka 1  sampai 5 dalam posisi acak.

Lalu Pertanyaannya urutkan dari yang kecil ke yang besar.

Anak saya tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Dan ternyata belakangan saya tahu, tidak satupun teman sekelasnya yang mampu menjawab pertanyaan itu, nilai 7,7 yang dia dapat dalam ujian matematika itu adalah nilai tertinggi di kelasnya.

Masalahnya apa?…pembuat soal ini waktu membuat soal ini dia menggunakan logika orang dewasa, dia sama sekali tidak sadar kalau anak kecil tidak memiliki logika yang sama yang kalau melihat gambar seperti itu langsung tahu, kalau yang dimaksud besar dan kecil itu adalah angka-angkanya.

Dalam pemahaman anak di usia seperti itu, BESAR dan KECIL itu masih dipahami sebagai bentuk NYATA. Misalnya Gajah = BESAR, Kambing = KECIL, anak-anak seumur itu di manapun di dunia, kecuali yang sangat jenius tidak akan bisa memahami konsep abstrak tentang besar kecil yang dilambangkan dengan angka. Sebab kemampuan seperti itu memang belum eksis dalam perkembangan kognitif mereka.

Jean Piaget, pelopor psikologi perkembangan yang konsepnya tentang tahap perkembangan kognitif manusia  dijadikan acuan di seluruh dunia sampai sekarang. Membagi tahapan perkembangan kognitif anak itu dalam empat tahap.

  1.  Tahap sensorimotor: dari lahir hingga 2 tahun (anak mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya serta mempelajari permanensi obyek)
  2. Tahap pra-operasional: dari 2 hingga 7 tahun (mulai memiliki kecakapan motorik)
  3. Tahap operasional konkret: dari 7 hingga 11 tahun (anak mulai berpikir secara logis tentang kejadian-kejadian konkret)
  4. Tahap operasional formal: setelah usia 11 tahun (perkembangan penalaran abstrak).

Jadi anak kelas 1 SD itu, secara manusiawi sebenarnya baru pada tahap pra operasional. Butuh dua tahap lagi yang harus mereka lewati baru sampai pada penalaran abstrak, sebagaimana yang ditampilkan di soal itu.

Tapi ajaibnya, kurikulum pendidikan di Indonesia ini betul-betul suka-suka sendiri dalam menentukan tingkat kemampuan anak. Sekarang anak di bawah 6 tahun yang sebenarnya belum boleh dipaksa untuk belajar membaca, menulis dan berhitung (karena memang perangkat cognitif untuk itu belum mereka punyai), dipaksa untuk melakukannya. Banyak SD yang menerapkan syarat kemampuan ini untuk penerimaan siswa baru.

Tidak heran kalau kemudian rata-rata nilai ujian teman sekelas anak saya untuk matematika ini rata-rata antara 2 sampai 5. Bahkan tidak sedikit yang mendapat angka NOL, itu terjadi bukan karena mereka tidak mampu menjawab soal matematika yang diujikan. Tapi itu karena mereka memang baru bisa membaca huruf-huruf (sebagai persyaratan masuk sekolah), tanpa mengerti apa maksud dari yang mereka baca.

Saya benar-benar heran, apa sebenarnya yang dituju oleh  kurikulum semacam  ini. Apakah mereka yang menyusun kurikulum itu berpikir kalau anak-anak diberi beban berat lebih awal mereka akan jadi lebih pintar nantinya?

Kalau benar itu yang mereka pikirkan, tidak berlebihan kalau kita katakan mereka ini sebagai manusia tolol yang diberi kuasa. Sebab ini logikanya seperti meletakkan besi seberat 100 kilogram di atas buah pepaya. Apa pepayanya akan jadi lebih kuat?

Logika orang paling bodoh pun akan bilang, yang logis itu pepayanya HANCUR.

Wassalam

*Konsumen pendidikan, yang Kecewa dengan Mutu Kurikulum Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.