Oleh Johansyah*
Ketika berbicara tugas bersama dalam pendidikan, pastinya sangat dengan tanggung jawab. Dalam konsepnya ada tiga pusat pendidikan yang dianggap mengemban bertanggung jawab yaitu; sekolah, keluarga, dan masyarakat (Zakiah Daradjat: 2004). Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) kita menyebutnya dengan jalur pendidikan formal (sekolah) dan informal (keluarga dan masyarakat).
Ketiga pusat pendidikan ini harus padu menjadi satu paket three in one dalam menjalankan misi pendidikan. Artinya tanggung jawab pendidikan tidak hanya dibebankan kepada sekolah melainkan keluarga dan masyarakat harus mengemban tanggung jawab sama yang dilakukan secara simultan dan berkesinambungan.
Namun bila menilik beberapa persoalan sosial saat ini khususnya pendidikan, ada kecenderungan bahwa tanggung jawab pendidikan lebih dibebankan pada sekolah, sementara pendidikan informal idak menunjukkan peran dan tanggung jawab yang signifikan dalam upaya mengatasi berbagai persoalan yang ada.
Banyak fenomena dan kesenjangan sosial yang dikaitkan dengan sekolah, seolah-olah kesenjangan tersebut disebabkan oleh sekolah semata dan harus diatasi melalui sekolah pula. Ketika moral bangsa ini tercabik-cabik dan turun pada level bawah, semua sibuk dengan program pendidikan karakter yang katanya harus diterapkan di sekolah, padahal yang tidak berkarakter sebenarnya adalah mereka yang terdidik dan telah menduduki jabatan strategis di lembaga-lembaga pemerintahan.
Hal yang sama juga dapat terlihat ketika Indonesia diguncang bencana longsor, banjir, gempa bumi, tsunami, letusan gunung merapi, dan bencana lainnya, maka banyak yang mengusulkan agar dirancang kurikulum tanggap bencana dan harus diajarkan di sekolah, padahal yang lebih penting diberi kesadaran bencana adalah keluarga dan masyarakat.
Penulis juga pernah mendengar isu akan dikembangkan pendidikan anti korupsi mengingat tindak kejahatan korupsi di Indonesia yang semakin ganas dan tak terbendung, lalu dirancanglah kurikulumnya dan rencananya diterapkan di sekolah-sekolah. Seolah-olah sekolah yang menjadi biang kerok korupsi para pejabat di negeri ini.
Tahun lalu, seorang kepala sekolah harus rela dimutasi karena gagal meluluskan sebagian besar siswanya dalam Ujian Nasional (UN). Barangkali hal ini masih dapat dipahami sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sekolah dalam menyelenggarakan UN. Sayangnya tidak banyak yang ingin tahu seperti apa pola dan model pendidikan yang diterapkan orang tua mereka di rumah.
Dari itulah sepertinya memang benar, jika kita menganggap permasalahan sosial terlalu dikaitkan dengan sekolah dan dijadikan satu-satunya tumpuan dalam mengatasi berbagai problema sosial tersebut. Adanya pembebanan tanggung jawab yang timpang antar pusat pendidikan sekolah, keluarga dan masyarakat. Ketimpangan tanggung jawab ini tentunya berdampak pada kompleksitas permasalahanan sosial yang terus saja bermunculan dengan berbagai bentuknya, terutama yang berkaitan dengan masalah sikap dan moral.
Bersama Bertanggung Jawab
Dalam UU Sisdiknas, bab 2 pasal (3) dijelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan di atas tidak akan dapat dicapai jika tidak ada kerja sama yang baik antar tri pusat pendidikan di atas. Jika hanya membebankan tugas mendidik pada sekolah maka hasilnya tidak akan pernah maksimal dan tidak akan mencapai cita-cita pendidikan seperti yang diharapkan. Untuk itu kiranya harus ada pemerataan tanggung jawab pendidikan secara profesional dan proporsional. Artinya masing-masing pusat pendidikan dapat menjalankan tugas mendidiknya dengan baik sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Barangkali untuk pengayaan aspek kognetif dan psikomotorik, sekolah dapat di andalkan untuk memenuhi dan mewujudkan harapan kita semua. Namun ketika berbicara ranah afektif dan moral maka pada hakikatnya harus ada kerja sama yang konsisten dan kontinyu antar pusat pendidikan. Apalagi ranah moral sebenarnya tidak mengenal batas teritorial wilayah, misalnya berlaku jujur, adil, toleransi, budaya bersih, dan perilaku-perilaku lainnya.
Selain itu, harus sadari bahwa jika ditelusuri kebanyakan anak yang bermasalah di sekolah, penyebabnya adalah permasalahanan rumah tangga; perceraian, orang tua yang sibuk bekerja dan tidak punya banyak waktu untuk membimbing anak-anaknya, dan permasalahanan keluarga lainnya yang secara psikologis mempengaruhi perilaku anak. Kondisi ini akan diperparah oleh budaya lingkungan yang kurang baik sehingga mengakibatkan anak semakin tidak terkendali dalam melakukan hal apapun. Padahal pengaruh lingkungan tidak begitu dominan bilamana pendidikan keluarganya baik.
Untuk itu, politik dan kebijakan pendidikan Indonesia sejatinya merevitalisasi peran pendidikan informal dalam rangka pemerataan tanggung jawab pendidikan. Pendidikan informal sejatinya tidak hanya secara simbolis diakui dalam UU sisdiknas saat ini, melainkan harus ada mekanisme regulasi yang lebih jelas tentang hak dan kewajiban mereka dalam pendidikan, apakah peraturan pemerintah (PP), peraturan menteri pendidikan nasional (permendiknas), peraturan daerah (perda), atau dalam bentuk aturan lainnya.
Sebut saja tentang batasan bagi para ibu rumah tangga yang beraktifitas di luar rumah sebagai pegawai negeri atau karyawan. Bagaimana tanggung jawab pengasuhan seorang ibu yang berbenturan dengan jam kerja sehari penuh, hal ini perlu dipertegas dan diperjelas sebab banyak para ibu yang sejatinya mengasuh anak harus menitipkan anak mereka ke tempat penitipan anak agar pekerjaannya tidak terganggu, padahal mengasuh jauh lebih penting.
terlepas dari perundang-undangan dimaksud, sejatinya semua komponen dan lapisan masyarakat harus menyadari pentingnya tanggung jawab pendidikan. Apapun ceritanya masing-masing pusat pendidikan; keluarga, sekolah, dan masyarakat pasti memiliki kelemahan sehingga tidak ada cara yang lebih efektif kecuali menjalin kerja sama yang kokoh dalam mengatasi berbagai persoalan pendidikan.
Pada akhir tulisan ini, penulis mengingatkan kita untuk menghindari kebiasaan melempar tanggung jawab. Ketika masalah muncul dan terjadi kegagalan semua mengatakan bukan tugas dan tanggung jawabnya, namun ketika kesuksesan diraih semua mengatakan karena dia. Bagi penulis, kegagalan maupun kesuksesan dalam dunia pendidikan adalah karena kita semua, gagal berarti kita semua perlu pembenahan dan sukses berarti juga berkat kegigihan semuanya. Semoga semua kita bertanggung jawab terhadap pendidikan generasi bangsa ini dengan penuh kesadaran dan ketulusan.
*Penulis adalah Program Doktor PPs IAIN Banda Aceh