Potret Pendidikan Iran

Oleh Johansyah*

 

Revolusi fantastis Iran pada tahun 1979 merupakan revolusi terbesar dalam catatan sejarah. Menurut Jhon L Esposito, sebagaimana disitir Akhmad Sotari bahwa pemberontakan Iran merupakan salah satu pemberontakan rakyat terbesar dalam sejarah umat manusia dengan keberhasilan besar menggulingkan kekuasaan otoriter pimpinan Reza Syah Pahlevi. Sementara Eric Rouleau, seorang pengamat Timur Tengah menilai bahwa revolusi Iran merupakan satu-satunya revolusi religius yang bahkan kelompok minoritas pun mendukung dan ikut berperan dalam prosesnya.

Tidak dipungkiri bahwa figur Imam Khomaeni, Ali Syari’ati serta beberapa tokoh Islam lainnya menjadi faktor utama kesuksesan revolusi Iran selain influence mazhab Syi’ah yang berakar kuat di kalangan rakyat Iran. Esensi penting yang perlu dicatat pasca terjadinya revolusi bahwa sistem negara Iran berubah dari monarki menjadi Republik Islam Iran. Islam dijadikan sebagai ideologi negara dan lokomotif pembaruan dalam semua lini, termasuk pendidikan. Sebaliknya mereka berusaha keras mengeliminasi pengaruh barat yang mendominasi sistem pemerintahan sebelumnya.

Dari beberapa sumber yang penulis temukan, mengapa pendidikan Iran mengalami kemajuan yang sangat pesat, ternyata ada beberapa hal yang melatarbelakanginya; pertama, komitmen kuat dalam menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Sungguh mencengangkan bahwa ideologi Islam dapat membuat mereka maju, padahal negara lain yang menggunakan ideologi Islam justru kelihatan mundur.

Di balik kesuksesan tersebut, ternyata salah satu rahasianya adalah bahwa muslim Iran yang mayoritas menganut mazhab Syi’ah (89%) sangat menghargai rasionalitas. Konsep Islam yang dikembangkan di sana bukan lagi berkutat pada aspek khilafiyah dalam fikih mazhab, melainkan lebih kepada aspek tela’ah kritis terhadap ayat-ayat kauniyah (semesta) yang sebenarnya masih banyak belum tersentuh oleh pengetahuan manusia, terlebih yang ada kaitannya teknologi dan sains.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan Islam Indonesia yang barangkali lebih senang meributkan masalah qunut atau tidaknya seseorang, masalah wudhu atau perbedaan pendapat mengenai raka’at shalat tarawih serta masalah kecil fikih lainnya. Islam masih kita ukur dengan simbul kopiah, kain sarung atau jenggot panjang. Selain itu, penguasaan kitab-kitab klasik bagi kalangan tertentu juga masih mewarnai penilaian kita terhadap hebat-tidaknya keislaman seseorang. Sayangnya, kita lupa mengeksplorasi kekayaan ilmu Allah lainnya yang masih tersirat di jagat raya ini.

Menempatkan Islam sebagai Ideologi negara merupakan upaya islamisasi ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh pemerintah Iran. Semua jenis dan jenjang pendidikan beserta kurikulumnya harus berkiblat kepada sendi pokok agama Islam yakni alqur’an dan hadits. Mereka berupaya untuk menempatkan aspek transendental dalam pengembangan Ilmu pengetahuan di samping aspek intransendental atau yang bersifat empiris.

Konsistensi dan spirit Iran dalam menjadikan Islam sebagai ideologi tidak hanya dipertahankan dalam wilayah teritorialnya saja, akan tetapi terbawa ke mana pun mereka pergi walau harus menghadapi resiko. Contohnya, ketika klub sepak bola putri Iran dikenai sanksi oleh FIFA karena mengenakan jilbab. Namun mereka mengatakan lebih baik menerima sanksi dari pada meninggalkan identitas Islamnya.

Kedua,  bahwa pada awal revolusinya, program utama pemerintah Iran adalah membebaskan rakyatnya dari buta huruf. Bagaimana pun mereka sadar bahwa tanpa pemberantasan buta huruf maka rencana pemerintah untuk mengembangkan pendidikan ke arah yang lebih baik dan berkualitas tidak mungkin dapat terwujud.

Ketiga, bahwa pemerintah Iran sangat menghargai peran perempuan dalam pendidikan. Mereka yakin dengan apa yang dikatakan oleh hadits bahwa al-ummu marasatun (ibu adalah sekolah). Menyadari peran perempuan yang begitu penting ini, pemerintah Iran terus berupaya meningkatkan kemampuan akademik kaum perempuan. Menakjubkan juga, pendidikan anak usia dini (PAUD) bagi perempuan Iran adalah prioritas nomor wahid, walaupun mereka berkarir di pemerintahan, swasta  atau pekerjaan lain di luar rumah.

Dari jumlah pengajar maupun pelajar di semua jenjang pendidikan Iran secara umum didominasi oleh kaum perempuan dengan perbandingan 60 persen perempuan dan 40 persen laki-laki. Bentuk perhatian terhadap perempuan ini  seolah-olah menjadi antitesa bagi tesa yang dibangun oleh dunia barat bahwa pendidikan di dunia Islam secara umum merendahkan harkat dan martabat kaum perempuan.

Keempat, pendidikan Iran menganut sistem pendidikan sentralistik. Namun demikian perhatian khusus kepada anak-anak berbakat begitu besar. Artinya walaupun semua sistem diatur oleh pemerintah pusat Iran, namun peluang tetap diberikan kepada anak-anak yang mau mengembangkan bakat minatnya dan pemerintah memberikan apresiasi yang sangat tinggi. Mungkin kita pernah mendengar nama Husein Thabataba’i, anak Iran berumur tujuh tahun yang mendapat doktor (Hc) termuda di dunia. Selain itu kita juga mungkin pernah mendengar nama Anya Shabur yang merupakan salah satu profesor termuda di dunia berkebangsaan Amerika tapi keturunan Iran.

Tentu saja, Indonesia bukanlah Iran atau sebaliknya. Akan tetapi langkah revolusi Iran dalam membangun pendidikan yang begitu pesat patut untuk ditelisik bahkan mungkin ditiru jika dianggap sesuai dengan ideologi maupun kondisi serta situasi masyarakat Indonesia saat ini. Walaupun Islam absurd dijadikan sebagai ideologi negara menggantikan pancasila, namun kita tetap punya harapan besar mampu mengikuti langkah Iran karena Indonesia adalah mayoritas Islam.

Kemandirian Iran dan ketidaktergantungan kepada barat merupakan sikap berani yang patut ditiru Indonesia. Hal ini tentu saja berhubungan dengan pengalaman pahit mereka pada era sebelumnya, di mana pengaruh barat sangat dominan namun merugikan. Nageri yang dikenal sebagai gudang filosof ini juga pantas dijadikan cermin ketika mereka menghargai rasionalitas dan kebebasan berpikir. Dalam hal ini Islam Indonesia secara umum masih alergi dengan kata ‘bebas berpikir’ karena takut dikatakan liberal, padahal manusia diciptakan untuk berpikir.

Terakhir, penulis melihat bahwa pemerintah Iran tidak menjadikan pendidikan sebagai objek politik dan sub sistem pemerintahan yang diremot sesuai dengan nafsu dan ambisi penguasa. Pendidikan yang mereka bangun adalah pendidikan yang independen, steril dari interest politik, dan progresif dengan mengikuti ritme perubahan dan kebutuhan global-kontemporer, namun tetap berada dalam koridor ideologi Islam. Saat ini kita melihat bahwa dari hari ke hari Iran semakin diperhitungkan, terutama dalam bidang teknologi dan sains. Untuk itu, kita pantas belajar dari mereka.

*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.