Harapan Kami Untuk Damai Aceh

Oleh: Rizki Wan Okta Bina*

—-

Suasana malam yang ditemani dengan suasana kebersamaan, senyuman, tawa, canda dan gurauan dalam sebuah keluarga kecil, sederhana dan penuh kebahagiaan. Seorang sosok yang semakin menua yang menjadi tumpuan keluarga kami duduk dengan wajah penuh senyum dan harapan akan masa depan kami yang lebih baik. “Ayah” begitulah sehari-hari aku memanggilnya. Sosok sederhana menjadi teladan dalam hidup aku. Walau aku hanya mengenal dan bisa bersamanya sekejab saja.

Dan malam itu sebelum mata ku terpejam, aku sempat berdo’a agar secepatnya bisa membuat dia tersenyum bangga dan bahagia. Setelah itu, aku terhanyut dalam tidur yang panjang dan harapan besok akan terbangun dengan suasana kebersamaan dan keutuhan sebuah keluarga seperti malam ini. 

Pagi datang menyambut hari, meninggalkan gelapnya malam. Masih teringat baru saja malam yang begitu indah yang aku rasakan telah berlalu dengan begitu cepat. Malam yang sampai saat ini begitu aku rindukan. Suasana malam yang kini kusadari yang terakhir aku rasakan dan tak kan pernah kembali lagi. Tapi ingatan akan do’a dan harapan ku dimalam itu masih terus ku simpan di dalam hati ku. Sebagai sebuah motivasi menguatkan keyakinan bahwa suatu saat saat aku dapat meraih keberhasilan dan memberikan mu sebuah  kebahagian yang pernah aku janjikan, dan engkau juga dapat merasakannya walau dari kejauhan sana.

Ternyata itu adalah malam terakhir bagi ku dan keluargaku bisa merasakan kebersamaan ditemani kehadiran ayah.  Siang itu sebuah peristiwa yang begitu memilukan terjadi. Peristiwa yang langsung aku lihat dengan mata kepala, membekas begitu dalam meninggalkan luka dan cerita kelam dalam hidupku. Ya…. ayah pergi meninggalkan kami semua dalam sebuah peristitiwa yang begitu memilukan hati. Sebuah tindakan yang hanya melihat identitas tanpa pernah melihat kesalahan.

Sampai kini aku masih merasakan kehilangan yang begitu dalam didalam hati. Harus lebih cepat kehilangan kasih sayang dan perhatian dari seorang ayah.  Hanya satu pesan dari ibu ku yang selalu ku ingat “Jangan tanamkan dendam dan kebencian didalam hatimu, dendam tidak akan pernah menyelesaikan konflik ini, semua akan mendapat balasan yang setimpal dari-Nya”.

Sepenggal kisah diatas adalah sebuah kisah nyata pengalaman seorang sahabat dekat yang harus kehilangan ayah dalam konflik berkepanjangan yang terjadi selama 30 tahun di Aceh dan mencapai puncaknya pada periode awal tahun 2000. Periode paling kelam dan kejam yang dialami oleh seluruh Rakyat Aceh. Banyak nyawa tak bersalah yang pergi, banyak harta yang hilang, rasa trauma yang masih menghantui hingga saat ini dan yang paling menyakitkan adalah perasaan kehilangan orang-orang yang disayangi dengan cara yang tidak wajar. Cerita diatas mungkin juga dialami oleh banyak anak-anak di Aceh. Dan secara tidak langsung itu adalah pengorbanan mereka untuk perdamaian yang saat ini sedang kita rasakan.

            Tanggal 09 Desember 2002 sebuah perjanjian penghentian permusuhan di Aceh antara Pemerintah RI dan Pihak Gerakan Aceh Merdeka yang difasilitasi oleh lembaga non-pemerintahan Henry Dunat Centre (HDC) di tandatangani di Jenewa. Sebuah perjanjian yang diharapkan dapat menjadi penawar konflik yang telah berlangsung selama 26 tahun. Namun suasana damai ini hanya berlangsung sesaat saja, ketika tiba-tiba perdamaian ini kembali harus pergi meninggalkan luka baru bagi rakyat Aceh.

Konflik Aceh kembali memanas ketika Presiden Megawati Sukarno Putri menetapkan Aceh ke status Daerah Operasi Militer pada tanggal 19 Mei 2003. Jakarta kembali mengirim ribuan personil TNI/POLRI ke Aceh TNI mengklaim telah menewaskan  2.439 anggota GAM, menagkap 2.003 anggota GAM, dan 1.559 orang menyerah. Dari  pihak TNI diakui  147 orang  tewas dan 422  luka-luka. Selain itu, Dinas Penerangan Umum TNI juga mengakui, pelaksanan Darurat Militer juga telah menewaskan  sekitar 662 warga sipil, 140 orang mengalami luka berat, dan 227 orang luka ringan.

Saat itu perputaran waktu terasa begitu lambat, siang menjadi singkat malam menjadi waktu yang panjang untuk dilalui. Setiap langkah kaki adalah kecemasan, tidak ada kebebasan, rasa damai, aman dan tentram adalah perasaan yang paling dirindukan kehadirannya saat itu. Perasaan cemas dan ketakutan seakan menjadi sahabat yang keberadaannya tidak diinginkan.

Saat perang belum lagi berakhir, tsunami menerjang Aceh, pada 26 Desember 2004. Akibat peristiwa ini sekitar 129.775 orang tewas, 36.786 orang hilang, dan 174.000 orang hidup di tenda-tenda pengungsian, akibat kehilangan tempat tinggal. Bencana tsunami, yang menyentuh relung kemanusiaan paling dalam seluruh umat manusia,  menjadi pondasi bagi semua pihak yang bersengketa, untuk kembali berdamai. Proses  perdamaian Aceh berjalan seiring dengan proses rekonstruksi Aceh, yang mendapat  perhatian dan bantuan dari beragam komunitas internasional.

Hingga kemudian  ditandatangani nota kesepahaman antara Pemerintah RI dengan GAM, pada 15 Agustus 2005.  Lahirnya sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanan  otonomi khusus Aceh, telah memunculkan satu Aceh baru, yang damai, dan melibatkan  seluruh elemen masyarakat Aceh, termasuk ex-GAM di dalam pemerintahan Aceh.

Perjanjian ini tentu menjadi sebuah momen yang telah lama dirindukan oleh Rakyat Aceh. Sebagai “Second Wind” perjanjian yang ditandatangi di kota Helsinki Finlandia ini diharapkan dapat menjadi jawaban akhir dari konflik berkepanjangan Aceh. “Tidak ada lagi konflik, perdamaian yang abadi” adalah satu kalimat yang harus ditegakkan dan tidak dapat ditawar lagi.

Kini sudah berlalu 5 (lima) tahun semenjak  peristiwa tersebut. Setelah proses Pemilukada pertama pasca perdamaian Aceh  berjalan dengan sukses dan lancar.  Sebentar lagi rakyat Aceh akan kembali melaksanakan “Pesta Rakyat” yang bertajuk dengan “Pemilu Kada Aceh” yang akan dilaksanakan serentak di 17 (Tujuh Belas) Kabupaten/Kota ditambah pemilihan Gubernur Aceh yang baru. Setelah melalui proses tarik ulur regulasi Pemilukada yang panjang, membingungkan dan melelahkan akhirnya diputuskan bahwa proses Pemilukada ini tetap berlangsung dan akan dilaksanakan pada 16 Februari 2011. Kita berharap pesta ini tetap berjalan dalam bingkai “Perdamaian Aceh”. Demokrasi mengajarkan kita prinsip “Dari Rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat” yang berarti kepentingan rakyat berada di atas kepentingan sekelompok golongan dan perdamaian adalah harga mati bagi rakyat aceh.

Melihat proses yang begitu panjang dan pengorbanan yang begitu banyak untuk mencapai “Perdamaian” yang kini dapat dinikmati oleh rakyat aceh, kita tentu sepakat bahwa perdamaian ini wajib kita jaga bersama. Cerita-cerita pahit masa lalu seperti sepenggal kisah diatas mudah-mudahan dapat mengingatkan kita bahwa perdamaian ini mahal dan pengorbanan mereka akan sia-sia jika perdamaian ini harus pergi kembali.

Save Peace in Aceh….

—–

*Wartawan Lintas Gayo Banda Aceh/Mahasiswa Semester V Program Studi Kedokteran Gigi Unsyiah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments