Pandangan Tentang Dakwah dari Para Tokoh di Aceh Tengah

Oleh: Mahbub Fauzie, S.Ag

Dalam suatu kesempatan yang sengaja saya rencanakan, saya bersilaturrahmi dengan beberapa orang tokoh di daerah saya (Kabupaten Aceh Tengah), untuk ‘menimba ilmu’ dan bincang-bincang tentang dakwah. Barangkali, dari hasil “curhat sosial” ini ada manfaatnya, terutama dalam bagiamana kita ‘menata kembali’ dakwah-dakwah kita, kususnya di Aceh Tengah dan umumnya di bumi Serambi Mekkah ini.

Tokoh-tokoh yang pada kesempatan tersebut saya temui adalah Tgk. M. Ramli, SH (Kepala seksi Penamas pada Kandepag Kab.Aceh Tengah) yang diskusinya berlangsung di ruang kerjanya,  Kemudian Tgk. H. Razali Irsyad, BA (Wakil Ketua MPU Kab. Aceh Tengah), sengaja saya bersilaturrahmi ke rumah beliau dalam sebuah kesempatan, dan dengan Tgk. Ir. Mursyid (Dai Muda Tanah Gayo yang sekarang menjadi Anggota DPD RI Aceh di Jakarta). Khusus dengan Kanda Mursyid, diskusi ini berlangsung melalui telepon seluler.

Sengaja hasil “curhat” ini saya sajikan dalam bentuk “pemaparan langsung”  beliau-beliau yang sempat saya “rekam” melalui catatan-catatan tangan saya berdasarkan “diskusi”. Mohon maaf sekiranya ada kalimat atau kata-kata yang “berkurang” atau “bertambah”, karena “keterbatasan” memori saya dalam menuliskan kembali hasil diskusi tersebut. Berikut pandangan mereka tentang dakwah di Kabupaten Aceh Tengah:

Tgk. M. Ramli, SH (Kepala Seksi Pendidikan Agama Islam pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid Kandepag Kab. Aceh Tengah):

“Koordinasi dan Manajemen Agar Lebih dimantapkan”

Perkembangan dakwah di Kabupaten Aceh Tengah cukup bagus, namun perlu penyempurnaan. Para pelaku dakwah  baik da’i, khatib dll, serta panitia atau lembaga-lembaga yang berperan dalam dakwah Islam di daerah ini perlu dimantapkan manajemennya. Misalnya ; setiap dai mempunyai catatan-catatan dakwahnya; panitia kegiatan dakwah (PHBI, dll)  serta pengurus masjid menentukan jadwal dan judul-judul ceramah atau khutbah secara teratur dan terprogram.

Dari sisi tertentu, kegiatan dakwah di kota lebih menonjol kualitasnya jika dibandingkan dengan di kampung., barangkali karena faktor sumber daya manusianya. Namun, dalam hal yang lain, dakwah di kampung juga cukup baik, terutama antusias masyarakatnya.

Kualitas dan kuantitas da’i di daerah ini masih perlu ditingkatkan. Dari sisi kualitas, setiap da’i harus punya manajemen dakwah yang baik, disamping mau untuk mengembangkan wawasan dakwahnya. Seperti saya bilang tadi, da’i harus punya catatan-catatan dakwah, sehingga penyampaian dakwahnya tidak itu-itu saja. Harus ada agenda. Dan dari sisi kuantitas, perlu ada kaderisasi da’i.

Karakteristik sistem dakwah di sini tampaknya tidak berbeda dengan di daerah lain dalam wilayah Aceh. Misalnya, sistem dakwah lebih berorientasi pada bagimana mengarahkan dan mengajak umat untuk meningkatkan pengamalan ajaran agama secara lebih baik Terutama dalam menegakkan ajaran Islam. Hanya saja, sistemnya perlu dimantapkan.

Dalam hal pendekatan dakwah di daerah ini, yang dominan diimplementasikan adalah dakwah bil-lisan. Memang, secara bil-amal juga ada, namun perlu ditingkatkan. Para da’i dan pelaku dakwah hendaknya jangan melalaikan pendekatan dakwah bil-amal atau bil-hal ini, karena bagaimanapun prilaku da’i selalu menjadi sorotan.

Sedangkan materi dakwah yang paling disukai masyarakat adalah sangat tergantung pada situasi. Artinya, apa yang sedang ramai dibicarakan orang, maka materi dakwah yang disukai masyarakat adalah yang berkaitan dengan itu. Namun, ini juga sangat tergantung kepada sosok si juru dakwah. Misal, kalau sosok juru dakwahnya adalah orang yang memang merupakan sosok yang dikagumi masyarakat, materi apapun yang disampaikan pasti menarik.

Respon masyarakat terhadap dakwah di daerah ini berkaitan juga dengan jawaban saya tadi, etrhadap materi penyampaian dakwah. Menarik enggak. Melihat dulu siapa penceramah atau da’inya. Namun pada umumnya respon masyarakat terhadap dakwah cukup baik. Hanya saja dalam hal ini perlu ada evaluasi.

Tentang media-media yang diakses oleh masyarakat, saya kira juga cukup berpengaruh dalam peningkatan pemahaman dan kesadaran masyarakat atau bahkan sebaliknya, terutama media televisi (media elektronik). Mungkin perlu digagas adanya media radio dakwah di Aceh Tengah ini.

Saya kira, peran instansi terkait seperti Dinas Syariat Islam, Departemen Agama dan juga Majelis Permusyawaratan Ulama dalam upaya membangun sistem dakwah perlu dimantapkan koordinasinya. Kerjasamanya. Agar prosfesionalisme dakwah lebih di manajemen dengan baik. Perlu ada pembinaan-pembinaan bersama, duduk bersama. Memberdayakan para penyuluh dan juru dakwah serta lembaga dakwah serta pengurus masjid.

Mengenai tantangan, hambatan dan kendala dalam aktivitas dakwah di daerah ini, menurut saya juga ada. Terutama dari sisi interen dai. Misalnya masih ada dai yang ceramahnya tidak terfokus, atau adakalanya dai yang senang membicarakan masalah khilafiah. Ini sangat berdampak terhadap tidak efektifnya dakwah.

Tentang kristenisasi di daerah ini, indikasinya ada. Kita harus jeli, upaya kearah itu nampak ada. Seperti upaya pendangkalan akidah, dll. Oleh karena itu, kaum muslimin di daerah ini harus lebih hati-hati. Mantapkan dan cerdaskan anak-anak kita dengan pendidikan yang Islami. Ini merupakan tugas pemerintah, ulama dan kita semua (masyarakat).

Optimalisasi peran DSI. Depag dan MPU serta lembaga-lembaga dakwah harus lebih dimantapkan koordinasinya.

Untuk mewujudkan kepemimpinan atau manajemen dakwah yang baik di daerah ini, perlu ada Forum Komunikasi Lembaga Dakwah (FKLD). Kita samakan persepsi tentang dakwah dan kegiatannya. Kita atur bersama manajemen dakwah yang lebih baik ke depan.

Contoh kecil, lembaga dakwah perlu membuat lembaga pendidikan yang benar-benar dapat menyiapkan kader dakwah. Seperti membuat pengajian Khifdzil Qur’an. Ini adalah hal yang langka di daerah kita!.

Tgk. H. Razali Irsyad, BA (Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Kab. Aceh Tengah):

“Semangat Keikhlasan dalam Dakwah mesti diaktulisasikan”

Perkembangan dakwah di daerah ini tetap jalan meskipun sekarang ini dapat kita lihat agak sedikit melemah jika dibandingkan dengan zaman dulu. Terutama dari sisi juru dakwah sekarang ini, nampaknya misinya belum jelas. Faktor keikhlasan berdakwah barangkali itu yang menjadi sebabnya. Namun begitu, jika melihat sisi dakwah bil-hal di kalangan umat, semangat untuk membangun masjid dan sarana-sarana pendidikan Islam seperti pesantren cukup menggembirakan.

Kualitas dakwah di kota lebih baik. Sementara di kampung-kampung seperti ‘mati suri’. Terutama yang dipelosok-pelosok. Inilah tugas kita untuk membenahi kembali. Kita harus meningkatkan kualitas dan kuantitas dakwah. Kita upayakan penyadaran.

Sekarang ini hendaknya pengembangan sistem dakwah harus lebih mengedepankan keikhlasan, kita arahkan dakwah bil lisan sekaligus bil hal atau bil amal agar menjadi lebih baik. Seperti dulu, para ulama di daerah ini dalam berdakwah modal utamanya adalah keikhlasan. Mereka rela berjalan kaki atau naik kereta butut dalam melaksanakan dakwah ke pelosok-pelosok. Ketika itu wilayah Aceh Tengah masih meliputi Pondok Baru dan sekitarnya, Timang Gajah dll (sekarang sudah menjadi Kabupaten Bener Meriah). Sosok-sosok ulama seperti Tgk. Sultan Amin dari Tritit, Tgk. Ali Djadun dan lain-lain, dengan segala keterbatasan sarana ketika itu, namun tetap  semangat dalam berdakwah. Itu karena faktor keikhlasan. Mereka cukup puas dengan sambutan masyarakat ketika itu. Kepuasan bathin berjumpa dengan umat itulah yang lebih memantapkan keikhlasan. Kami berdakwah ke Kenawat, di sambut masyarakat dengan penuh bersahabat.

Kita lihat, dari dulu sampai sekarang materi dakwah yang disukai masyarakat adalah yang menyangkut masalah ibadah, untuk itu para da’i mestinya mengasah kemampuannya dan menyiapkan dirinya sebagai juru dakwah yang dapat menjadi panutan umat dalam masalah ibadah ini.

Tentang media, perlu adanya radio dakwah di Mesjid Agung Ruhama. Takengon. Karena itu juga akan efektif dalam penyampaian pesan-pesan dakwah ke umat.

Jika dibandingkan dengan dulu, tantangan dakwah sebenarnya masih berat dulu. Terutama dari sisi ketersediaannya fasilitas. Sekarang serba mudah, sarana cukup lengkap. Kemanapun berdakwah dapat dilakukan. Hanya saja, tantangannya adalah hanya dari faktor individu pelaku dakwah, sekali lagi, faktor ikhlas dalam berdakwah.

Di daerah ini mengenai kristenisasi, saya kira, dalam bentuk gerakan, tidak ada. Namun, mereka ‘menanamkan’ bibit-bibitnya melalui lembaga pendidikan. Seperti Sekolah Budi Darma itu. Oleh karena itu, kita harus memberikan kesadaran kepada masyarakat sekitarnya agar lebih baik menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah yang lebih menjanjikan masa depan dunia dan ukhrawinya, artinya lembaga pendidikan Islam. Kita bentengi umat kearah pemantapan keimanan. Membentengi aqidah umat adalah diawali sejak dalam keluarga. Sejak manusia itu dalam kandungan ibunya. Ini harus difahami oleh kita.

Peran instansi terkait dalam dakwah mesti ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Sebagai ‘alat-alat sinkronisasi’ penegak syariat Islam, maka DSI, Depag harus lebih berkoordinasi. Termasuk juga dengan MPU. Dengan demikian akan lebih memiliki potensi yang besar dalam peningkatan aktifitas dakwah. Untuk ‘mempertajam’ dakwahnya. Keberadaan lembaga-lembaga dakwah harus lebih dihidupkan himmahnya. Dihidupkan semangatnya; bangkitkan harga diri umat dengan dakwah.

Manajemen dalam Islam penting. Apalagi dalam dakwah. Sebagaimana dikatakan oleh Sayyidina Ali, yang maksudnya: “Kebenaran yang tidak termanajemen dengan baik, akan dapat dikalahkan oleh kebathilan yang termanajemen”

Dakwah adalah kebenaran, maka mari kita tata dengan baik. Firman Allah Swt dalam Surat An-Nahlu (16) ayat 125 secara tegas menyebutkan bahwa kita harus menyeru umat ke jalan Allah dengan hikmah. Bukankah itu merupakan maksud agar kita ‘me-menej’ dakwah dengan baik?

Tgk. Ir. Mursyid (Dai Muda Tanah Gayo, sekarang Anggota DPD RI asal Aceh):

“Diperlukan Keteladanan Pemimpin dalam Dakwah”

Adanya penyuluh agama Islam di jajaran Departemen Agama, Dinas Syariat Islam dan para juru dakwah serta kegiatan remaja masjid di Kabupaten Aceh Tengah, itu menunjukkan perkembangan dakwah di daerah kita cukup bagus. Keberadaannya, menurut saya dapat mewarnai masyarakat dalam kegiatan dakwah.

Kualitas dan kuantitas dakwah, sesuai pengalaman saya di kampung lebih baik. Itu tidak terlepas dikarenakan oleh banyaknya momentum kegiatan dakwah di kampung, Seperti wirid yasin, pengajian BKMT, peringatan-peringatan hari besar Islam. Even-even pengajian akbar lebih banyak di kampong.  Kalau di kota lebih pada metode halaqah atau ta’lim. Memang, dari sisi kaderisasi sistem ini yang lebih menjanjikan!

Tentang kualitas da’i di daerah kita perlu ditingkatkan profesionalismenya. Para da’i harus banyak membaca. Apalagi di zaman sekarang, orang yang malas membaca akan ketinggalan. Membaca harus diartikan secara luas.

Karakteristik sistem dakwah yang tepat diterapkan di daerah kita tentunya sesuai dengan segmen masyarakatnya. Sistem dakwahnya harus melihat bagaimana kondisi masyarakat kita. Istilahnya, sampaikan dakwah sesuai dengan bahasa kaumnya. Sehingga nyambung. Melangit boleh namun yang juga harus membumi.

Metode dakwah yang paling sering diterapkan di daerah kita adalah bil-lisan, ceramah. Namun hal ini harus diimbangi juga dengan upaya memberi keteladanan kepada umat. Disinilah amal nyata harus menjadi alternative dalam dakwah, bahkan harus diprioritaskan. Sebagai da’i, kita pasti selalu diperhatikan tingkah lakunya. Nah?

Materi dakwah yang menarik masayarakat, dalam pengalaman saya adalah materi-materi muamalah. Masyarakat senang kalau kita berbicara masalah keseharian mereka. Misal masalah keluarga. Nah disanalah kita bisa melihat, betapa masayarakt membutuhkan siraman rohani yang dapat mengobati haus dahaga jiwanya. Oleh karena itu, ini harus juga diperhatikan oleh para dai. Seiring dengan itu, materi-materi keislaman yang lain, terutama ibadah harus juga kita sampaikan.

Media-media yang diakses masayarakat mempunyai pengaruh juga dalam dakwah. Bagi yang senang mengikuti acara-acara dakwah dalam tivi, setidaknya dapat meningkatkan pemahaman dan kesadaran keagamaannya. Kalau orang desa, media tivi mejadi favorit, biasanya mereka suka menonton siaran-siaran dakwah, dan juga senetron! Kalau orang kota suka pada berita, sehingga mereka banyak yang suka baca koran. Dalam ‘memanfaatkan’ media, sebagai sarana dakwah, saya punya gagasan, perlu ada yang mmensosialisasikan dakwahnya melalui CD.

Tentang peran instansi terkait, saya melihatnya: seakan-akan mereka tidak bisa berbuat kalau tidak ada dana. Sehingga peran sertanya dalam dakwah sangat tergantung pada anggaran. Memang, itu secara lembaga. Untuk itu, kepada para individu yang mendapat amanah sebagai pimpinan institusi (apalagi yang berkait erat dengan dakwah), hendaknya menyadari betapa dakwah Islam harus tegak di Tanah Gayo ini. Bagaimana teknisnya, mari fikirkan bersama. Mari kita munculkan ‘aura’ dakwah secara lebih menyentuh, baik dalam skup individu kita masing-masing karena jabatannya ataupun kepada masyarakat sebagai mad’u.

Kendala dakwah memang ada, baik yang bersumber dari individu (diri sendiri), maupun dari faktor luar. Namun sebagai juru dakwah tidak boleh putus asa. Masyarakat kita yang sudah terjangkiti hedonisme, kalah oleh perang pemikiran dan lain sebagainya merupakan tantangan juga. Satu cara dan solusi, mari kita eksiskan dakwah!

Tentang kristenisasi di daerah kita, saya melihat gejalanya ada, walaupun tidak dalam bentuk kegiatan pemurtadan. Adanya Sekolah Budi Darma menunjukan indikasi yang ‘sangat halus’. Saya kira, ghazwul fikri juga sudah menggejala. Namun, itu semua akan dapat kita antisipasi sekiranya ulama dan umara mempunyai pandangan yang sama dalam membentengi aqidah masyarakat.

Berkaitan dengan peran pemerintah di daerah ini dalam dakwah, saya ada analisa korektif: sekiranya proyek Peternakan Ketapang – Linge, pola penempatan penduduknya ‘dikumpulkan’ dalam satu wilayah yang berdekatan; di situ ada masjid, ada sekolah dan bale pengajian, mungkin akan sangat efektif dalam pelaksanaan kegiatan dakwah di lokasi tersebut. Tapi, kenyataannya lain, mereka ditempatkan secara terpencar dengan jarak rumah yang berjauhan sehingga sangat menyulitkan upaya ‘mobilitas dakwah’ dalam komunitas sosial di lokasi itu. Ini dengan hati yang tulus saya sampaikan.

Atau misalnya, ilustrasi bagi para pemimpin daerah, sekiranya dalam mendukung kegiatan dakwah masyarakat, mau mengadakan inspeksi mendadak melalui kegiatan rutin Habluminallah; salah satunya melalui ‘kunjungan’ shalat shubuh di masjid-masjid kecamatan atau perkampungan. Lantas di sana sembari ber-taqarub ilallah, juga mengevaluasi keteladanan dirinya. Maka ini akan diikuti oleh bawahan dan masyarakatnya…

Selanjutnya pandangan saya tentang manajemen dakwah di daerah ini harus menjadi agenda untuk dipikirkan dan direalisasikan oleh berbagai pihak. Baik ulama, umara maupun masyarakat dan lembaga-lembaga dakwah yang ada di Aceh Tengah ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.