Catatan : Lukman Hakim Gayo*
—
Akhirnya saya putuskan berangkat ke Yerussalem, untuk sholat di Masjid Aqsha. Banyak jalan masuk ke negeri yang dijajah Israel itu. Dari Mesir, Sirya dan Jordania. Bahkan, dari Mesir atau Saudi Arabia, tidak perlu minta Visa Jordania. Sebab, dari Queen Alya Airport tanpa masuk kota Amman, bisa langsung ke perbatasan
Saya masih punya visa Jordan bahkan untuk dua bulan lagi. Ketika rencana ini saya sampaikan ke Pak Dubes, ia tanpa reaksi. Dari sekretarisnya saya tahu, bahwa ’kalau terjadi apa-apa’ disana, tidak ada yang bisa membantu. Sebab, Indonesia tidak ada hubungan diplomatik dengan Israel. Jadi, pergi kesana tanpa visa, hanya ada lewat jalur tak resmi.
Seorang pemilik biro perjalanan ’Guiding Star’, bernama Miss Vicky, siap membantu. Ia hanya minta tolong untuk menyelamatkan satu kopor berisi pakaian layak pakai dan beberapa biskuit. Termasuk susu dan makanan kecil lainnya. ”Untuk anak-anak Palestina yang kelaparan, barangkali sudah beberapa hari tidak makan”, katanya menyeka mata. Saya sanggup.
Lalu dia kontak ke perbatasan dan saya bayar beberapa dolar. Dia membungkus uang itu beberapa lembar untuk diberikan kepada adiknya di Yerussalem. “Tidak mungkin mentransfer uang, sekarang Bank juga lagi tidak menentu”, katanya. Padahal uang itu, justru untuk biaya saya selama di Palestina. Dia hanya minta fotocopy passport. Besok pagi, tunggu di Funduk Asia.
Alhamdulillah, sebuah sedan putih sudah menunggu dan Miss Vicky berdiri di depannya. Ia berpesan lama kepada sopir yang akan mengantar saya ke perbatasan. Lagi ia mengingatkan kopor kiriman beserta uang dalam amplop itu, tolong diselamatkan. Ada rasa was-was, mengingat situasi perang masih belum menentu. Yang pasti, Israel sedang menangkapi pemuda Palestina, karena mereka berpihak ke Saddam Husein dalam krisis Teluk.
Saya seakan pergi menuju moncong rudal di perbatasan. Miss Vicky berdiri mematung, melihat sedan putih membawa saya semakin jauh. Sopir berbasa-basi, bahwa kiriman itu harus sampai kepada yang berhak. Banyak saudara Miss Vicky yang kesulitan di Yerussalem. Dia sendiri tidak berani pulang ke kampung halamannya itu.
Diantara hamparan pasir dan batu, ada onggokan batu besar. Disana ada tenda. Beberapa serdadu Arab keluar dari tenda itu. Dengan menodongkan senjata, minta pasport. Mereka memeriksa barang bawaan. Justru, sang sopir yang banyak memberi penjelasan dalam bahasa Arab itu. Saya hanya tertawa kecut sambil mengangguk-angguk. Akhirnya, sampai juga ke King Husein Bridge.
Disebut King Husein Bridge atau Jembatan Raja Husein, adalah batas akhir Kerajaan Jordania. Disinilah imigrasi pintu keluar-masuk ke Palestina. Sebuah pelataran parkir dan beberapa bangunan kantor, sejumlah orang sedang antri menunggu pemeriksaan pasport dan barang mereka. Sebagian besar pedagang keliling. Sebagian lainnya pelancong bule dan warga yang pulang kampung.
Ketika tiba giliran saya, petugas itu tertawa-tawa akrab di loket. Dia melagukan nama saya, yang asing bagi warga Jordan. Tidak ada niat mereka meminta uang sogok. Benar-benar hanya karena senang melafazkan nama Indonesia itu. Lalu menyerahkan pasport. ”Be carefull, have a nice journey”, katanya setelah tahu saya wartawan.
Sholat Ashar di Aqsha.
Sebuah bis mini warna biru muda sudah menunggu. Saya menjinjing kopor dan naik. Disana beberapa polisi muda membagikan formulir untuk diisi dan dikembalikan. Ini khusus angkutan Tanah Netral. Daerah Tak Bertuan yang terletak antara Jordania dan Palestina. Menyeberangi Sungai Jordan yang penuh sejarah, ketika ribuan manusia diusir oleh Israel dari tanah kelahirannya sendiri. Mereka berperahu, melewati sungai ini. Sekarang sudah dangkal, airnya seakan malas mengalir.
Akhirnya tiba di Allenby Bridge, alias jembatan Allenby. Diambil dari nama seorang jenderal yang tewas disini dalam perang dengan Israel tahun 1967. Negeri ini milik Palestina, tetapi penjajah yang berkuasa. Mereka cenderung berlaku kasar kepada pendatang berbau asing. Turun dari mini bis itu, diperiksa petugas yang bersenjata lengkap siap tembak. Semua barang-barang dipisahkan termasuk tas jinjing plastik. Saya digiring ke ruangan lain.
Ketika saya tanya kenapa tak dipanggil-panggil, petugas mengatakan nama saya tidak tercatat. Hal ini membuat dua polisi Israel mulai memandang tajam. Kemudian mendorong dan menggiring saya ke kamar khusus. Alhamdulillah, sebelum interogasi lebih parah, pintu kamar itu diketuk dari luar. ”Ada telpun dari Miss Vicky”, kata si Pelapor. Seorang polisi keluar dan tak lama kemudian saya dipersilahkan masuk kantor besar Imigrasi Israel.
Kopor dan kantong plastik saya dikembalikan. Syukur, kamera dan catatan masih selamat. Tapi kemudian, dua tentara cantik-cantik menghampiri, menanyakan isi kantong plastik. Saya perlihatkan beberapa roti dan makanan kecil serta dua botol air mineral. ”Habiskan saja disini, sebelum berangkat. Sebab, barang-barang itu tidak boleh masuk ke negeri kami”, katanya. Saya makan dan minum sedikit, selebihnya saya buang di tong sampah.
Lalu antri membeli tiket seharga Dua Shekkel, sekitar lima dollar. Duduk lagi antri. Barulah datang petugas membuka dua rante besar yang melilit pintu imigrasi itu. Membuka dan mempersilahkan saya keluar. Dengan menjinjing kopor saya berdiri di depan pintu, sambil menikmati ’hawa’ Palestina. Pintu sudah dibanting di belakang saya.
Tidak tahu kemana pergi. Sambil duduk di kursi panjang, menikmati pemandangan gersang di seputar Imigrasi Allenby Bridge. Dari kejauhan seorang lelaki datang menghampiri. Kulit hitam yang dibungkus gamis putih dari leher sampai ke ujung kaki. Saya tunjukkan surat Miss Vicky. Lalu ia menganggukan kepala da membawa kopor saya menuju taksi. Ternyata, ia adalah seorang sopir taksi. Disamping saya ada Hana Siniora, pemimpin redaksi Al-Fajar, koran oposisi yang berbahasa Arab di Yerussalem.
Terus terang, kecemasan saya sedikit berkurang. Meski berkali-kali saya diperiksa dan dicurigai, Hana Siniora siap membantu. Bahkan sopir taksi itu juga sering ngotot membela saya agar tidak dipersulit menuju Yerussalem. Disana ada Masjid Aqsha, milik orang Islam. Kira-kira begitu pembelaan mereka Alhamdulillah saya lolos.
Kami menuju sebuah ruko, disanalah Ibrahim, adik Miss Vicky membuka usaha travel biro. Dengan menunjukkan surat dari Miss Vicky, ia merangkul saya karena kopor berisi pakaian dan makanan sudah selamat di tangannya. Dialah yang kemudian memilihkan guide dan hotel untuk saya. Mahmud, nama guide itu, mengantar saya ke hotel di Ali Bin Abi Thalib Street, Yerussalem. Tekad dalam dada demikian mendesak untuk bisa shalat Ashar di Masjid Aqsha, sekarang juga.
Setelah mendapatkan kamar dan berganti pakaian seperlunya, kami meluncur ke Old City Yerusalem. Ternyata inilah kota tua itu. Tidak jelas luasnya, tetapi dikelilingi tembok setinggi 10 meter-an. Sudah lumutan dimakan usia ratusan tahun lalu. Menurut informasi, dinding tembok ini awalnya dibangun oleh Raja Sulaiman. Tetapi bukan disebut kota Sulaiman, malah lebih populer sebagai The City of King David. Selain itu ada juga yang menyebut The Holy City. Umat Islam menyebutnya dengan Al-Quds.
Yang menarik, ’kota tua’ ini adalah milik bersama. Disana berdiri rumah ibadah Yahudi, Nasrani, Armenian dan juga Islam. Seperempat dari Old City itu merupakan Haram esh-Sharif, tempat berdirinya dua masjid, Masjid Kubah Batu dan Masjid Aqsha. Selain rumah ibadah juga pemukiman yang padat dan terkesan kumuh. Juga ada kios-kios souvenir, rumah makan di sela jalan-jalan gang yang simpang siur.
Haram esh-Sharif dibatasi oleh Jalan Via Dolorosa dan Sint Maria Street atau Bab Siti Maryam. Di Jalan Via Dolorosa ada beberapa anak tangga yang konon Yesus pernah terjatuh karena keberatan memanggul tiang salibnya sendiri. Satu sisi Haram esh-Sharif berbatasan langsung dengan dinding ratapan, tempat orang Yahudi bersembahyang. Mereka berjejer dengan pakaian serba hitam, mulai dari topi sampai ke mantel, meratap-ratap di dinding itu. Plaza kawasan ini juga dipakai untuk pintu masuk menuju Masjid Aqsha.
Untuk ke sekian kalinya saya menitikkan air mata, memanjatkan rasa syukur kepada Allah swt. Saya berada di dalam Masjid Aqsha, saya sedang shalat Ashar berjamaah dengan sejumlah umat Islam Yerussalem. Inilah Masjid yang menjadi kiblat pertama Muhammad saw. Saya mencari dinding bersejarah di luar Masjid, konon tempat Muhammad saw menitipkan buraqnya. Dari Masjid inilah beliau melakukan mi’raj ke sidhratul munthaha.
“Kita semakin dipersulit untuk berdiam di sana. Khususnya, bagi pedagang kecil. Mereka dikenakan pajak dua kali lipat dibanding pajak untuk orang Israel. Itu sebabnya, banyak orang Islam yang pindah ke luar, seperti ke Yordan, Kuwait dan sekitarnya,” kata Hana Siniora, Pemimpin Redaksi koran oposisi berbahasa Arab Al-Fajr. Satu-satunya koran dengan berita kekejaman Israel dan penderitaan orang Palestina. Kami sempat berbincang-bincang di kantornya bersama Mahmud.
Orang-orang Palestina sedang diarahkan agar menjadi warga kelas dua di negerinya sendiri. Hampir semua sektor kehidupan, politik dan ekonomi dipegang oleh orang-orang Israel. Tidak pernah akan terjadi seorang penduduk Palestina menjadi PNS. Pintu hanya terbuka untuk mereka menjadi sopir taksi, pembimbing wisata, penyapu jalan, pedagang kaki lima dan beruntung bisa membuka penginapan kecil dan murah. Mahmud, beruntung punya mercy merah yang kemudian dimanfaatkan menjadi taksi. “Tetap saya bayar pajak berdasarkan strook kilometer perjalanan”, katanya memperlihatkan strook itu kepada saya. Kertas pajak itu berputar seiring dengan jaraknya perjalanan.
Hari-hari selanjutnya, saya bersama Mahmud yang juga merangkap sebagai bodyguard. Maklum, di negeri yang tidak ada Kedutaan Indonesia ini semua perlu diwaspadai. Saya teringat pesan Drs Budiwan, staf KBRI Jordan, “kalau Anda hilang disana, tidak ada yang bisa dihubungi. Sebab, kita tidak punya perwakilan disana”, katanya. Waah…
*Wartawan asal Gayo, tinggal di Jakarta