Oleh. Drs. Jamhuri, MA[*]
Tujuh tahun yang lalu tepatnya tanggal 26 Desember 2004 terjadi musibah besar menimpa Aceh, musibah itu dianggap sebagai musibah terbesar dunia. Bagaimana tidak, dua ratus ribu lebih jiwa melayang hanya dalam hitungan menit, harta benda lenyap dengan seketika, teknologi komunikasi yang mejadi andalan manusia saat itu diam tanpa bahasa. Semua manusia yang selamat dari musibah dan yang tidak terkena tercengan dengan tatapan mata dan pikiran kosong seolah tidak mampu mengatakan apapun, kecuali “itu semua adalah taqdir Allah”.
Mereka yang selamat dari hantaman ombak tsunami, kalau ditanya bagaimana bisa selamat, hampir semua menjawab “hanya keajaiban” yang menyelamatkan mereka. Inilah artinya dalam makna keagamaan bahwa musibah yang menimpa manusia pada saat itu betul-betul atas kekuasaan dan kehendak Allah. Akal manusia tidak mampu mengetahuinya, kendati sesudah itu muncul analisis ilmu pengetahuan yang memberi penjelasan kepada semua orang tentang sebab-sebab terjadinya musibah tsunami. Dan sejak itu pula kata tsunami melekat dalam ucapan dan ingatan semua orang.
Pada saat tsunami terjadi semua (harta dan jiwa serta keluarga) tidak punya nilai, harta dibiarkan seolah tidak ada lagi manusia yang butuh akan adanya harta, sebagian anggota keluarga lenyap terbawa arus di depan mata dan dengan lambaian tangan, upaya dan do’a hanya untuk mencari keselamatan diri, mungkin begitulah nanti ketika sangka kala ditiupkan sebagai pertanda datangnya hari qiyamat.
Manusia dan binatang tidak ada beda, semua mayat dan bangkai tergeletak berbaringan dan dibiarkan membusuk, orang yang lewat hanya menutup hidung sambil mencari siapa diantara mayat yang mereka kenal dan merupakan saudara dekat mereka. Rasa persaudaraan dan kesetiaan tidak punya makna apa-apa, manusia yang lewat seolah merasa biasa ketika melihat bagian tubuh yang seharusnya tidak bisa dilihat, tetapi karena banyaknya mayat tidak ada yang mampu menutupnya.
Ilmu yang dipelajari sejak bangku SD dan MIN sampai tingkat sarjana pada saat itu tidak berguna, ilmu yang dikaji bertahun-tahun di dayah dan pondok pesantren tidak mampu diamalkan. Dalam buku-buku dipelajari dan dalam kitab-kita yang dikaji, setiap orang yang meninggal maka kewajiban yang dilakukan oleh orang yang ditinggalkan adalah : memandikan, mengkafani, menshalatkan dan mengburkan si mayit. Namun kita lihat apa yang terjadi pada 26 Desember 7 tahun yang lalu, hampir semua janazah tidak dimandikan, kain kafan putih dengan jumlah lapisan yang ditentukan bagi kaum laki-laki dan perempuan diganti dengan pelastik hitam yang selama ini digunakan untuk tenda ketika hujan atau juga untuk tempat tampungan air untuk mencuci piring ketika dalam pista perkawinan. Hampir tidak ada yang tahu siapa yang menshalatkan, apakah setiap orang dishalatkan atau juga untuk semua sekali shalat atau juga bahkan tidak dishalatkan.
Kita sering mendengar ketika ada orang meninggal dunia, agar pelaksanaan tajhiz mayat segera dilaksanakan, kuburan digali dengan ukuran panjang dan dalam sesuai aturan dan dibuat lobang lahat, atau juga dengan menggunakan peti agar si mayit ketika diletakkan di dalam kubur tidak tercepit dengan tanah, menghadap kiblat dengan menggunakan bantal dari gumpalan tanah serta membuka wajahnya. Semua itu tidak dilakukan terhadap korban tsunami, mereka diletakkan secara tersusun dan berbanjar panjang selanjutnya dibubuhi tanah dengan menggunakan alat berat dan meratakannya dengan mobil perapat batu pada saat jalan mau diaspal, di atasnya disusun kembali janazah lain sebagaimana sebelumnya dan dilakukan penutupan dengan tanah dan kembali dirapatkan dengan alat yang serupa.
Pada waktu itu ada juga muncul perdebatan dikalangan para tokoh agama, tentang bagaimana memperlakukan seseorang yang sudah menjadi mayit, sebagian mengatakan harus dilaksanakan tajhiz mayat sebagaimana lazimnya orang-orang meninggal, sebagian lagi mengatakan hal tersebut tidak perlu dilakukan sebagaimana mestinya, karena mereka yang meninggal ketika tsunami sama dengan meninggalnya para pejuang di jalan Allah dan digolongkan sebagai meninggalnya orang syahid (para syuhada). Terlepas dari alasan sebagaimana disebutkan, bahwa dalam keadaan jumlah mereka yang meninggal lebih banyak dari mereka yang ditinggalkan ditambah lagi dengan ketidak stabilan mereka yang masih hidup, tidak memungkinkan langkah dan urutan sebagaimana mestinya dapat dilaksanakan.
Tidak selesai permasalahan yang dihadapi dengan selesainya penguburan semua janazah, karena banyak diantara mereka yang meninggal tidak meninggalkan ahli waris, sedang yang menjadi korban mempunyai harta, sedangkan aturan kepada siapa harta peninggalan itu diberikan belum ada. Kendati ada aturan agama yang menetapkan bahwa mereka yang meninggal dan tidak mempunyai ahli waris maka Baital Mal menjadi tempat harta mereka, namun aturan tetang mekanisme penyerahan, siapa harus menyerahkan, dan selanjutnya harta itu dikemanakan belum ada.
Kasus yang lain adalah banyaknya anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tua mereka, sedang anak-anak tersebut masih memerlukan adanya wali untuk merawat dan mendidik mereka. Di sisi lain juga banyak orang-orang yang mau menjadi wali dengan berbagai alasan, adanya yang mempunyai niat yang baik sebagai wali dan pelindun anak, tetapi ada juga yang berharap pada harta anak yang tidak mempunyai wali tersebut. Karena itu Pemerintah memuat aturan bahwa wali mereka yang tidak mempunya wali adalah juga Baital Mal.