Catatan Aman ZaiZa*
SUATU kebanggaan tersendiri bagi seseorang jika tulisannya berupa opini di muat di media massa. Akan lebih membanggakan lagi, jika tulisan itu menjadi refrensi bagi sebagian atau banyak orang dalam satu hal pembahasan. Apalagi jika tulisan itu menjadi pembicaraan publik dan jadi acuan untuk dalam menyelesaikan satu masalah besar.
Seorang penulis opini di media massa atau yang akrab dengan sebutan kolumnis harus mampu menghadirkan sesuatu yang baru dan bisa dipertanggungjawabkan secara akdemik dan praktek. Karenanya, opini harus mampu membawa suatu perubahan. Minimal menjadi refrensi bagi kalangan tertentu.
Menghadirkan sesuatu yang baru dan bisa dipertanggungjawabkan tentunya bukanlan pekerjaan yang gampang namun bukan juga sesuatu yang sulit untuk bisa dilakukan. Karenanya, banyak penulis mengambil speksifik tulisan dari latar belakang pendidikan, pekerjaan atau profesi yang dijalani orang tersebut.
Sehingga tak mengherankan, banyak lahir nama-nama besar di tanah air ini dengan sebuat kolumnis budaya, kolumnis politik, kolumnis lingkungan dan lain sebagainya. Hal itu tentunya dilatar belakangi dari background seseorang tersebut.
Kali ini, penulis ini berbagi sedikit kita dalam menulis opini ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Sebelum sebuah tulisan itu dilayangkan ke media massa. Kiat ini hanya berupa pengalaman penulis yang baru 12 tahun mengeluti dunia juru warta (tentunya ini masih sangat muda).
Pertama: Indentifikasi Masalah
Ini perlu dilakukan. Dengan adanya indentifikasi masalah ini, kita akan lebih terarah dalam menulis. Dengan ini pula kita bisa menguasai topik yang akan disugukan kepada pembaca. Kalau ini belum bisa dihadirkan, lebih baik tunda menulisnya dengan mencari refrensi dari berbagai sumber.
Sebab, jika ini kita paksakan. Dikawatirkan tidak akan dimuat di media massa. Jikapun dimuat, tentunya hanya sekedar memenuhi halaman media massa saja tanpa berdampak positif bagi sang penulis. Bahkan orang bisa menjengkali kecerdasan penulis tersebut. Ini perlu digaris bawahi bahwa pembaca bukanlah orang se level dengan kita. Pembaca bisa lebih cerdas dan intelek dari penulis atau masih rata-rata penulis.
Kedua: Lahirkan Ide Segar
Ide segar ini, merupakan solusi yang ingin kita hadirkan dari sebuah masalah yang di indentifikasi sebelumnya. Jika itu sebuah kritikan, maka kritikan cerdas, bukan menghujat tanpa solusi.
Penulis pemula kadang terjebak dengan hal ini. Saat ide dituangkan dalam bentuk kritikan menjadi objek tersebut menjadi bulan-bulanan. Seakan-akan objek merupakan pihak yang salah dan tak bisa diperbaiki lagi. Akhirnya tulisan itu laksana ‘tong kosong nyaring bunyinya’.
Ketiga: Singkat, Padat, Lugas dan Bersolusi
Upayakan tulisan itu dilahirkan dengan alur yang singkat, padat, lugas dan bersolusi. Karenanya, tulisan hendaknya tidak bertele-tele sehingga menjenuhkan orang untuk membacanya. Pergunakan istilah seperlunya. Jika tidak perlu menghadirkan istilah asing terlalu banyak, lebih baik dihindari istilah yang bisa membingungkan orang yang membacanya. Ingat, tulisan kita dibaca oleh berbagai kalangan, mulai dari orang yang lebih cerdas dari kita hingga orang yang rata-rata hingga dibawah kita.
Menulis itu harus mampu menguasi pembaca. Kearah mana tulisan itu mau dibawa. Karena alur tulisan harus benar-benar fokus. Jangan lari kesana-kemari. Karena tulisan kita bukan gado-gado, tapi satu hal yang khas dan layak untuk dibaca semua kalangan dan bisa diterima.
Ke-empat: Bahasa yang familiar
Ingat, tulisan kita dibaca semua kalangan, karena bahasa yang familiar bisa dicerna oleh semua kalangan juga. Tentunya bahasa yang diharapkan semua media massa itu bahasa yang standar, yakni sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Hindari menggunakan bahasa prokem atau gaul. Jikapun harus digunakan tidaklah terlalu banyak, namun cukup sekedarnya saja sebagai bumbu yang mewarnai dari sebuah tulisan tersebut. Begitu juga dengan penggunaan bahasa atau istilah asing. Alangkah malunya kita, bila istilah bahasa atau istilah asing itu nantinya tidak sesuai penempatannya.
Kelima: Kutipan Pembanding
Guna memperkaya tulisan kita, kiranya perlu ada satu atau dua kutipan pembanding dari seorang tokoh, akademisi, cendikia dan lain sebagainya. Kutipan ini bisa diambil langsung dari media massa, hasil diskusi atau wawancara sang penulis sendiri dengan tokoh tersebut. Tentunya semua kutipan ini juga harus disesuaikan dengan tema atau topik yang ingin kita sampaikan.
Kutipan pembanding ini juga bisa berupa teori, telaahan akademik, hasil survey, hasil Sensus. Alangkah indahnya jika hasil teori, telaahan akademik, hasil survey, hasil Sensus itu kita analisis lebih dalam dengan memasukan ide, gagasan dan pendapat dari sang penulis sendiri.
Ke-enam: Rajin Membaca
Alangkah kuat dan berkualitas sebuah tulisan jika sang penulis memperkayanya dengan berbagai refrensi yang kuat. Salah satunya yakni dengan banyak membaca untuk memperluas pengehatahuan. Ahli linguistik, Dr. Stephen D. Krashen, dalam bukunya The Power of Reading mengungkapkan, “hasil riset menunjukkan bahwa kita belajar menulis lewat membaca”. Atau dengan kata lain, jangan pernah cepat puas untuk membaca.
Ketujuh: Jangan Cepat Puas
Terakhir, janganlah cepat puas akan satu karya tulisa atau opini yang sudah dimuat di media massa. Baca ulang tulisan kita tersebut dan selalu munculkan bihari untuk menulis yang lebih baik lagi.
Apa yang saya sampaikan ini hanya bagian kecil dari garis besar dari kiat untuk menulis di media massa. Tulisan ini juga bukan untuk menggurui. Karena saya yakin, banyak senior atau ama, ine, abang yang lebih cerdas yang kerab menulis di Lintas Gayo ini.
Tulisan ini hanya untuk memberi gambaran, bahwa kita bisa berbuat lebih untuk kemajuan bumi Gayo secara umum lewat pencerdasan yang kita lakukan via Lintas Gayo, sebuah media pencerdas bagi kita bersama.
Terakhir, saya ingin mengingatkan bahwa Opni di media massa itu merupakan cermin intelektual kita. Makanya jangan bosan untuk memberikan pencerahan. Semoga bermanfaat dan selamat berkarya saudara-saudaraku semua.
* Penulis, pekerja media/Juru Warta
.