Oleh : Luqman Hakim Gayo*
Akhirnya dr Mustafa Cheric mengenalkan saya dengan sejumlah serdadu Bosnia Herzegovina. Satu dari empat serdadu itu bernama Mirsad, yang cepat intim dengan saya. Mereka bertugas membawa logistik perang dan keperluan masyarakat muslim di pedalaman. Tidak gampang bisa masuk kancah perang itu, lebih-lebih di musim dingin.
Mirsad siap mengamankan saya, kalau terjadi perang dalam perjalanan. Tekad saya sudah bulat, saya harus masuk ke negeri yang hancur lebur itu. Ia membawa saya ke pusat serdadu Bosnia di Zagreb untuk memperoleh izin pemakaian seragam militer. Setelah izin diperoleh, lalu saya bayar seperlunya untuk seragam loreng. Ternyata, semua dalam ukuran besar. Ukuran terkecilpun, sangat kedodoran buat saya. Dengan seragam kedodoran itulah saya masuk ke pedalaman.
Selama ini kami tidur di Masjid Jami Zagreb, Croatia. Siangnya Mirsad mencari segala keperluan, termasuk senjata, makanan dan obat-obatan. Tiga temannya siap menjadi pengawal barang-barang yang penuh dalam truk besar itu. Mirsad menjadi pengemudi dan saya disampingnya..
Dengan truk bergambar bulan sabit merah di pintunya, kami meluncur membelah jalan tol Zagreb-Karlovac. Muatan penuh ditutup terpal. Petugas gerbang tol, memberi izin lewat gratis, setelah Mirsad memperlihatkan Surat Bantuan Sosial untuk Bosnia dari Merhamet (Bulan Sabut Merah) Internasional.
Sebenarnya ada jalan pintas, dengan mendaki bukit perbatasan Mostar dari Split. Tapi, banyak resiko perang, kata Mirsad. Ia memilih lewat Karlovac, menelusuri pantai Barat dengan melewati beberapa kota wisata, seperti Trogyr, Split, Zadar dan kota lainnya. Ternyata, memang akhirnya antrian panjang. Hampir semua truk besar memilih jalur ini, karena menghindari resiko. Mobil bantuan PBB juga sering memerangi bantuan untuk masyarakat Muslim.
Setelah bermalam di Zadar, kami terus menuju Tomislavgrad. Disini pemeriksaan agak ketat, dikuatirkan sejumlah mata-mata atau pasukan gelap masuk ke Bosnia membantu pasukan muslim. Akhirnya bermalam di Gornij Wakuf. Kota ini sudah tinggal puing. Truck terakhir yang menmbawa pasukan sempat melambaikan tangan kepada saya yang berbaju loreng dengan kartu pers di dada.
Semua pemuda berangkat perang, mempertahankan kota muslim ini dari serangan chetnik Hanya beberapa rumah lagi yang berdiri. Seorang nenek tua bernama Elenovic Mamnunah (71) menjamu saya di rumahnya, dengan berurai airmata. Ia terus membaca ayat-ayat Qurán yang dihafalnya. Terharu juga, ada nenek bule yang matanya biru hafal Qurán.
Rumah bilyard
Beberapa kota besar tampak sepi. Tetapi semua berpakaian seragam militer, sibuk hilir mudik, dan kacau. Saya tidak bisa membedakan mana kawan dan mana lawan. Kemarin, kata Mirsad, sebuah toko roti di Sarajevo di bom Serbia. Ratusan orang yang antri menunggu toko buka, tergeletak bersimbah darah di jalan raya. Sejak hari ini, semua kota menjadi panik.
Di sebuah kota kecil, saya bertemu dengan dokter muda bernama Abdullah Faljic. Ia meminpin sebuah rumah sakit di Beograd. Tetapi begitu negeri kelahirannya di serbu Serbia, ia pulang kampung. Disini, ia menutup sebuah rumah bilyard dan merenovasinya menjadi klinik darurat. Setiap hari ratusan penduduk yang jadi korban perang.
Ketika saya masuk kamar pribadinya, sangat mengerikan. Selain lemari obat, beberapa kotak berisi granat di bawah tempat tidur. Semua bagian dinding praktek itu dihiasi untaian peluru. “Tidak ada yang digaji, dokter, mantri, perawat, semua suka rela. Nanti Allah yang membalasnya”, kata Abdullah Faljic kepada sejumlah wartawan dari media Islam internasional, termasuk saya.
Kami sempat bermalam di rumah Mirsad, serdadu muda beranak satu itu. Saya tahu ia merindukan anak dan isterinya yang setiap hari cemas, mengingat di semua pelosok Bosnia perang sedang berkecamuk. Mirsad, anak bungsu dari empat bersaudara. Ayahnya bernama Muhammad, yang setiap hari tidak lepas dari senjata dan sajadah. “Hanya ini perlengkapan saya. Kalau tidak perang, ya, mati”, kata Muhammad.
Saya sempat berhadapan dengan sejumlah komandan di garis depan. Musim dingin memaksa para remaja yang memegang senjata sambil berselimut. Berperang antara salju dan pohon pinus, peluru berdesing dan bom bisa sewaktu-waktu meledak. Tiba-tiba bukit pinus terbakar, serdadu kucar-kacir.
“Perang Bosnia adalah batu ujian bagi umat Islam seluruh dunia. Kalau sekarangpun mereka tidak bisa bersatu, umat Islam tidak berharga lagi di mata dunia. Sekarang kesempatan untuk menyatukan muslim di bawah satu komando internasional”, kata Ibrahimovic, menteri pertahanan Bosnia.
Bertemu sukarelawan
Suatu waktu saya bertemu dengan sejumlah mahasiswa dari Jerman. Mereka sengaja mengambil cuti selama enam bulan, untuk ikut bergerilya di Bosnia. Simpati masyarakat muslim internasional demikian besar kepada negeri Muslim yang baru merdeka ini. Sampai-sampai sejumlah mahasiswa muslim ikut berperang dan mempertahankan Bosnia.
Diantara sekian banyak mahasiswa Tehnik dari Kohln, Jerman itu, ada seorang Indonesia yang bernama Mohd Ramadhan. Kami sempat berbincang-bincang tentang Tanah Air. Ia sempat kuliah setahun di ITB. Bersama teman-temannya asal Jerman, Maroko, Inggris, Palestina, Turki dan pasangan dokter muda yang baru menikah dari Inggris, bersiap menjadi syahid demi membela Islam di Bosnia.
Ternyata, doanya menjadi syahid dikabulkan oleh Allah Swt. Mereka kena serpihan bom di Mostar. Dua mobil yang membawa rombongan ini terbakar, semua mahasiswa itu meninggal. Seorang mahasiswa Turki selamat dan dirawat di kota Split, sebelum akhirnya diterbangkan ke Jerman. Mahasiswa inilah yang banyak memberikan informasi tentang keberadaan mereka di pedalaman Bosnia itu. Ramadhan akhirnya dimakamkan di depan Masjid Mostar.
*Wartawan asal Gayo, tinggal di Jakarta
.