Kandungan “Zat Sahabat” di Puisi Pereben Wahyuni

Oleh; Eva W. Wahab

DUA kali Lintas Gayo dan The Atjeh Post menayangkan Puisi-puisi Wahyuni, di respon cukup baik oleh banyak kalangan, termasuk respons sahabat yang sudah lama melihat Master Psikolog Wahyuni menghilang, tidak menerbitkan karya apapun lagi, termasuk semangat berkesenian yang mengendur.

Ketika Lintas Gayo menanyangkan beberapa puisinya, banyak sahabat terkejut, lantaran Wahyuni tidak dikenal sebagai penulis puisi, namun kemudian dia berpuisi dengan bahasa Ibu dan kepasrahan seorang Perempuan. Berikut kami tayangkan salah satu respons dari sahabat lama di Jakarta, Eva Wahyuni, seorang alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) yang kini menetap di Jakarta.

————————

Puisi-puisi Wahyuni, perempuan bersahaja yang bergelar  Master Psikologi itu, cukup bernas sebagai karya pemula. Pemula di sini artinya ‘anak baru’ dalam paparan media.Itu pun konon karena dikondisikan seorang abang kami Dario jurnalis yang awalnya meminta Wahyuni untuk menuliskan artikel tentang psikologi. Rupanya puisi-puisi yang nyaris menjadi sejarah tanpa sempat dipublikasi itu membuat sang Abang berinisiatif untuk membagi keindahannya dengan para pembaca di seluruh dunia.

Ketika saya dikirimi linknya oleh Abang kami tadi, saya langsung mengunduhnya dan tidak sabar untuk segera membaca.  Puisi seperti apa yang ditulis oleh perempuan yang sering menjemput saya dengan mobil pick-up merahnya, untuk sekedar raon-raon (jalan-jalan) keliling kota ketika kami masih duduk di bangku sekolah menengah pertama di Takengon, di pertengahan tahun 80-an.

Puisi-puisi cinta Wahyuni, salah satunya ‘Cinta Dia di Pereben’, membawa kita kembali pada ingatan tentang keindahan.  Indahnya bukit Pereben yang masih kokoh menjadi saksi semua perilaku manusia di hadapannya, indahnya danau Laut Tawar yang semakin berkurang populasi ikan depiknya, indahnya pinus yang semakin susut jumlahnya dan terutama indahnya jatuh cinta.

Entah menuang pengalamannya sendiri entah sekedar terinspirasi, Wahyuni melukiskan bagaimana kekuatan cinta sang lelaki melumpuhkan hati perempuan dalam kekuatan sifat alamiahnya masing-masing.  Seperti bukit Pereben yang kokoh berdiri di sisi danau Laut Tawar, kekuatan lain yang mengalir dan menyimpan misteri di kedalamannya.  Persis seperti hati perempuan.

Bait akhirnya menyiratkan bagaimana romantika insani yang adegannya terjadi dalam sebuah set alam dengan bangunan bukit Pereben dan danau Laut Tawar beraroma pinus yang khas  berujung happy ending ketika cinta tidak lagi bertepuk sebelah tangan.

Wahyuni menumpahkan kerinduannya yang terjawab pada pertemuan dengan sang penabur asmara masih dengan latar belakang alam Takengon yang khas dengan bukit dan danau Laut Tawarnya, dalam puisi ‘Ku Harap’.  Namun kali ini, Wahyuni lebih menjelajah kontur dan topografi hatinya.  Ia menggambarkan detil-detil emosi, sensasi yang terjadi ketika logika tidak lagi kuasa melawan reaksi kimia.

Reaksi kimia yang menurut Profesor Stephanie Ortigue (peneliti dari Syracuse University, Amerika Serikat), dihasilkan oleh dua belas area otak yang bekerja saat seseorang jatuh cinta.  Sekedar menambah pengetahuan, bahan kimia yang dihasilkan antara lain dopamine, oxytocin, adrenalin dan vasopressin yang berujung pada euphoria. Eforia yang juga tergambar kuat pada ‘Cinta Dia di Pereben’.  Bagian akhir puisi ini berbunyi :

“Perebenmu telah melemahkanku / terlalu besar cinta bersemi / aku kalah diantara ayunan nafasmu / diselip lamunan sendu pucuk pinus itu / hingga Aku rebah memelukmu….”

Gambaran malam di tepi danau bertabur sinar bulan, hening, memperdengarkan cinta yang menggelora dalam ‘Ku Harap’.  Namun jarak dan waktu lebih bertenaga memahat rindu pada sang pujaan yang memberi arti keberadaan dirinya.

Wahyuni mengurai elemen kerinduan ibarat mengurai garis-garis pada lukisan dengan warna-warna keindahan alam dan nuansa  biru berlatar gelap malam.  Kita seolah terbawa ke dalam suasana malam di tepi danau seluas lebih dari lima ribu hektar, sepanjang tujuh belas km dan selebar lima koma lima km itu dengan permukaan air berwarna keperakan di bawah sinar bulan yang menciptakan bayangan pokok-pokok pinus yang menari. Ah romantisnya….

Puisi-puisi Wahyuni mampu menggambarkan perasaan-perasaan yang dialami oleh siapa saja dengan bahasa yang indah, tidak terlalu rumit dan tidak terlalu abstrak. Namun juga tidak picisan. Mungkin karena ibu dua anak laki-laki ini memiliki latar belakang akademis yang sudah sampai strata dua. Atau juga karena kematangan emosinya dalam menyikapi hidup dengan berbagai suka maupun dukanya.

Sebagai lulusan magister psikologi tentunya perempuan penyayang ini tidak asing dengan pemikiran seorang psikolog dan psikoanalis ternama Jerman, Erich Fromm. Dalam buku larisnya (The Art of Loving) Fromm menyatakan bahwa ada empat hal yang muncul secara seimbang dalam pribadi yang mencintai.   Keempat hal tersebut adalah Care, Responsibility, Respect, Knowledge.  Keempat hal itu tampaknya sudah mewujud dalam diri seorang Wahyuni.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.