Oleh. Drs. Jamhuri, MA[i]
UNTUK mencari bagaimana hubungan orang tua dengan seorang atau beberapa orang anak diperlukan suatu kajian yang serius, secara biologi jelas dan mudah dipahami bahwa anak adalah seorang baik laki-laki atau perempuan yang lahir dari hasil hubungan intim antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Pada awalnya pembuktian apakah seorang anak betul merupakan anak biologi dari seorang laik-laki sangat sulit dibuktikan, namun dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini hal itu bukan lagi merupakan rahasia Ilahi. Hubungan lain di samping hubungan biologi sebagaimana disebutkan adalah hubungan keyakinan (hubungan keagamaan), seorang ayah atau ibu memiliki agama sama dengan anaknya adalah sesuatu yang normal dan tidak menimbulkan masalah. Tetapi permasalahan akan muncul apabila antara orang tua dan anaknya berbeda keyakinan. Seperti seorang ayah memiliki keyakinan sebagai seorang muslim dan anaknya berkeyakinan non muslim atau juga sebaliknya yaitu anak sebagai muslim dan orang tuanya non muslim. Bahkan ada juga yang seorang anak yang mempunyai orang tua yang berbeda agama, hal ini telah banyak dibicarakan dan difokuskan bahasannya dalam bab pernikahan berbeda agama.
Dalam kajian keislaman tidak banyak berbicara tentang perbedaan agama antara anak dan orang tua, dan kalaupun bahasan ini ada bisa kita temukan maka diakhir pembahasannya selalu mengatakan bahwa antara orang tua yang berbeda keyakinan dengan anaknya tetap tidak dapat dipersatukan dalam hal apapun. Sedangkan hubungan lain adalah hubungan hukum, dimana seorang anak dalam kajian hukum Islam dikatakan sebagai anak yang sah apabila dilahirkan dari orang tua (ayah dan ibu) yang mempunyai hubungan perkawinan yang shah. Apabila anak yang lahir dari orang tua yang tidak mempunyai hubungan perkawinan yang sah maka anak yang dilahirkan juga tidak diakui keberadaannya secara hukum atau sama juga dengan anak yang dilahirkan tampa didahului oleh perkawinan (anak di luar nikah).
Jadi ada tiga golongan anak, bila dikaitkan dengan hukum sah atau tidak sahnya seorang anak : Pertama, anak yang dilahirkan dari orang tua yang mempunyai ikatan hukum melalui perkawinan yang sah. Kedua, anak yang dilahirkan dari orang tua yang memiliki ikatan perkawinan yang tidak sah, serta ketiga, adalah anak yang dilahirkan dari mereka yang tidak ada ikatan perkawinan terlebih dahulu.
Perkawinan yang sah menurut kajian hukum Islam adalah perkawinan yang memenuhi syarat dan rukun sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab fiqh munakahat, dan perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Kendati juga masih terdapat perbedaan pemahaman dilakalangan ulama dalam menentukan apa saja yang menjadi syarat dan rukun dari perkawinan tersebut.
Untuk anak dari perkawinan yang sah dinasabkan kepada ayah, sehingga ayah mempunyai tanggung jawab, perwalian dan saling mewarisi ketika salah seorangnya meninggal dunia. Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah, tidak mendapat nasab dari ayahnya tetapi dinasabkan kepada ibu, sehingga ibu yang bertanggung jawab dan walinya adalah wali sulthan dan hanya mendapat warisan dari ibu yang melahirkannya. Hal yang kedua ini sama juga dengan anak yang lahir di luar perkawinan. Hal ini didasarkan kepada pemahaman hukum, bahwa anak hanya mendapatkan nasab adalah melalui proses perkawinan yang sah dengan ladasan :
“wa alal mauludi lahu rizkuhunna wa kiswatuhunna bil ma’ruf” (Ayab berkewajiban terhdap nafkah dan pakaian para isteri dengan cara yang baik)
Para ahli hukum Islam memahami kata “lahu” sebagai penetapan nasab anak kepada ayah disamping kewajiban nafkah. Sedangkan penetapan nasab kepada ibu tidak mempunyai dalil yang tegas, dan kalaupun kita temukan adanya nasab anak di luar nikah kepada ibu adalah sebagai legalisasi anak secara hukum yang tidak mempunyai aturan yang ketat. Karena hal itu merupakan lapangan ijtihan maka Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 tentang pengubahan pasal 43 UUP tentang hubungan Perdata Anak dengan Ayah Biologisnya, menyebutkan bahwa anak di luar nikah punya hubungan perdata dengan anak biologisnya.
Kalau fuqaha menetapkan adanya hubungan anak di luar nikah atau anak yang lahir dari perkawinan tidak sah dengan ibunya dan Mahkamah Konstitusi lebih maju lagi menetapkan adanya hubungan hukum anak biologis dengan ayah yang bukan ayah secara hukum, maka kita bisa mengembangkan sebagai sebuah wacana hukum tentang hubungan perdata dalam makna tanggung jawab antara anak dengan ayah yang berbeda agama.