Catatan: Jauhari Samalanga
GAYO adalah misteri. Begitu kata Win Rudi Bathin kala memberi materi soal Gayo di perhelatan Nostalgia Cinta Ujang Lakiki, April 2012 lalu. Aku setuju. Gayo memang misteri. Hanya saja sebagai gambaran “misteri” yang saya jadikan objek adalah seni orang perorang Gayo yang mendiami tiga kabupaten, yakni Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues.
Pada tahun 2008 lalu, saya bersama teman lulusan Doktor musik di Australia, Iwan, berkeinginan menyelesaikan film dokumenter tentang regenarasi dalam Didong, dan teman saya yang berprofesi peneliti itu, sempat bertanya kepada beberapa orang perempuan di Taklengon menyangkut Kesenian Didong ini. Pertanyaan sederhana itu adalah: Ibu tau Didong? Lantas dua dari Tiga perempuan yang dipilih secara acak menjawab, sangat senang dan sering menonton didong, sedangkan satunya lagi menjawab: Apa Didong-didong, semalampun suami saya pulangnya udah pagi karena menonton Didong.
Berbeda dengan peristiwa di Gayo Lues, di era 80-an seniman Saman bernama Atip bergerak cepat mengembangkan seni tangan seribu ini. Pak Atif dan timnya adalah group Saman yang biasa diundang ke berbagai negara. Pada suatu hari, kelompok ini kembali diundang ke Perancis. Tentu Pak Atif dan teman-teman lainnya sangat senang, maklumlah tim kesenian selalu senang kalau diundang ke luar negeri , karena dianggap bisa menjadi tolak ukur keberhasilan klup seni tersebut.
Di perjalanannya, mereka positif berangkat. Seluruh anggota sibuk menyiapkan berbagai keperluan, termasuk busana Saman. Di pemerintahan Aceh Tenggara (dulu Gayo Lues dalam kabupaten Aceh tenggara), pejabat terkait juga sibuk mengurus administrasi perjalanan. Seluruh Penari Saman tampak ceria.
Setelah selesai, masalah pun datang, salah seorang pemain Saman tidak . bisa ikut karena namanya tidak terdapat didaftar yang termasuk ikut, dan berganti pula namanya dengan nama orang lain. Katanya sih orang dari pemerintahan. Seniman yang batal ikut itu berasal dari desa Bacang itu kecewa, hingga akhirnya mengalami gila hingga sekarang.
Peristiwa nyaris serupa dialami pelatih tari Guel asal Takengon pada perhelatan Pekan Kebudayaan Aceh tahun 1974. Kala itu, pas saat latihan Guel digelar, musik dimainkan. Hanya gara-gara pukulan Gong yang tidak pas dengan ketukan gegedem— selalu telat—sang pelatih kecewa dan melempar pemukul Gong dengan sepatu. Dia geram. Inipun nyaris membuat sang pelatih “stres” hingga akhirnya pemukul Gong diganti dengan orang lain.
Begitulah seniman Gayo mencintai seninya sendiri. Seni memang tidak terukur, tetapi seniman di Gayo mampu mengukur kekuatan yang dia miliki, semisal seorang Gayo baru dikatakan hebat kala Gayo itu sendiri menyebutnya hebat. Itu sebabnya, seniman Gayo dipandang lemah sebelum mengkaryakan sesuatu yang membanggakan Gayo, termasuk seniman Gayo yang sudah berkarya dimana-mana, baru dikatakan hebat ketika ada pengakuan masyarakat kalau dirinya hebat.
Namun dalam sebuah perjalanan ke Kabupaten Gayo Lues beberapa waktu lalu untuk tujuan persiapan pembuatan dokumenter Saman Gayo, ada beberapa hal unik terjadi. Hal pertama yang menyimpan kesan, saat kami singgah di kampong Uring, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues. Kampung yang berada tepat dikaki gunung itu dihuni ratusan kepala keluarga, dan perkampungan yang terkesan terkurung. Setiba kami, dan kami menyapa beberapa sosok yang berada di situ, kami sampaikan maksud kedatangan untuk sebuah survey saman, dan kami meminta anak-anak scara spontan menari Saman. Tidak sampai 5 menit, puluhan anak-anak sudah berkumpul, dan mereka menarikan tarian saman. Sebuah inisiatif seni luar biasa yang dimiliki Gayo Lues, beretika dan juga sangat menghormati pendatang.
Menghormati pendatang? Kajian tentang ini cukup spesifik. Menyangkut etika dan moral. Ketika saya menghadiri pertunjukan Saman saraingi di sebuah desa di Gayo Lues, hal pertama yang membuat saya terkejut ketika beberapa orang tua yang duduk sebelah kiri panggung, bergeser dan mempersilakan saya mengambil posisi yang bagus, begitu pula teman saya, mendapat perlakuan sama, apalagi teman tersebut menenteng tustel untuk kepentingan mengabadikan kegiatan tersebut. Saya salut.
Masih soal Etika, satu hal yang membuat masyarakat Gayo Lues marah ketika mereka tidak dihargai setelah penghormatan yang diberikan, dan saya pribadi cukup takut, karena kalau orang Gayo Lues ‘marah’, apa yang dikatakan maka itu yang dilakukan.
Satu hal soal seni di gayo yang belum mampu saya cerna secara detail, tatkala saya bersama beberapa orang teman berada di Bukit Cinta, daerah y di tepi jalan raya Belangkejeren-Kuta Cane. Di bukit itu—selain indah dengan pemandangan—juga ada kebun milik masyarakat yang mendiami kawasan itu.
Teman-temanku dari Layarkaca Multivision Banda Aceh—setelah sehari sebeleumnya berkunjung ke Kampung Uring, Kecamatan Pining, sangat menikmati pemandangan Bukit Cinta seraya ditemani secangkir kopi . Kata Momon, Bos layar Kaca, mereka ingin mengambil gambar pemain suling yang tradisi, dan mereka bertanya pada Adan, mahasiswa Gayo Lues yang menemani kami, kira-kira dimana mereka bisa menemui peniup seruling khas Gayo Lues. Kata Adan, untuk yang satu itu beri dia waktu untuk mencari tahu.
Tidak begitu lama, angin bukit cinta membawa suara sayup-sayup berirama. Kami tersentak. Kata temanku mirip suara seruling. Jamal Taloe—seniman tari yang juga penyanyi tradisi Aceh langsung berdiri. Dia menanen telinga mencari asal suara merdu itu. Dan segerak kami pun bangkit menuju sebuah perkebunan yang tepat berada di depan warung bukit cinta—tempat suara itu.
Betul saja, dalam sebuah gubuk berukuran 3×3 meter seorang laki-laki tua sedang bermain bansi (seruling yang ditiup dari depan), dan sempat menghentikan tiupannya, karena dia pun terkaget dengan kehadiran kami. “Maaf Pak,” kataku. Dia mengangguk. “Kami dengar suara seruling, lalu kami datang melihat,” kataku. Bapak itu terdiam, dan tentu, tidak melanjutkan permainan serulingnya.
Beberapa saat kemudian, setelah kami memperkenalkan diri, bapak itu baru percaya dan belum berusaha memainkan seruling kembali. Akupun beranikan diri mengajukan beberapa pertanyaan pada bapak yang tampak murung itu.
“Apa sering bapak memainkan seruling disini?,” tanyaku
“Ndk.Bapak main suling ini kalau rindu saja,” jawab bapak itu.
“Tadi iramanya sedih. Bapak sedang Sedih,” kembali kubertanya. Bapak itu tidak menjawab. Terlihat raut wajahnya berubah.
“Ya bapak sedang sedih, Bapak sedang rindu pada Ibumu. Ibu dan ninggal.,” kata bapak beriusia 70 tahun itu. Matanya basah. Dia menangis.
Begitulah obrolan singkat kami dengan Aman Ati, nama bapak itu. Lalu dia memainkan serulingnya kembali. Kami menyimak irama demi irama merdu itu. Aman Ati bilang, dia memainkan seruling berirama khas Gayo Lues. Tanpa judul. Karena irama yang keluar tidak memiliki lagu, kecuali apa yang dirasa hatinya. Dan itu sudah dia lantunkan beratus kali, tempatnya, ya disitu selalu.
Aman Ati meniup seruling sudah cukup lama,sejak berusia muda. Bersama istrinya—semasa hidup tentunya—dia tidak lagi memainkan seruling. Setelah Istri wafat, dia baru meniup kembali. Kata Aman Ati yang betul-betul telah lupa pada nama aslinya, bermain seruling cuma dia lakukan di kebun saja, karena dia malu kepada anak dan cucu, kalau dia mainkan di rumah. Termasuk memainkan di antara warga tempat tinggalnya, Aman Ati Malu.
Aman Ati memang lihai memainkanseruling, tetapi juga dia teryinggal tidakmenurunkanilmunya kepada anak-anak muda, sehingga seruling menjadi langka di Gayo Lues. Namun Aman Ati mengaku bukan seniman, kecuali saat bersaman semasa muda dulu. Kebutuhan serulingnya hanya untuk cinta kepada sang Istri, dan selalu seperti itu.
Begitulah gambaran Misteri Gayo yang dimaksud. Selalu ada yang unik dan melahirkankesan menarik. Persis seperti launan seruling di Bukit Cinta, yang senantiasa menanamkan cinta pula,yang terkadang layak terucap sebagai “Misteri Cinta” . Beta kedah…
*Wartawan, tinggal di Banda Aceh