Aku Mpun Thaleb Mude Reje Linge XV

Catatan Mustawalad*

TELAH LEBIH SEPULUH TAHUN  sejak sebuah pesan singkat itu ku terima. Pesan berbahasa Gayo dari nomor yang belum ku kenal muncul di handphoneku, isi pesannya membuat aku syok, bagaimana tidak, aku disebutkan merupakan salah satu calon Reje Linge.

Aku ketahui kemudian bahwa pesan yang ku terima itu dikirimkan oleh Alfahmi, wakil juru bicara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Linge.Aku tahu,Alfahmi hanyalah nama samaran yang digunakannya untuk menghindari kejaran tentara dan polisi  Indonesia. Wilayah Linge pada struktur Wilayah GAM pada  saat itu, sekarang ini  meliputi wilayah Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues  dan Aceh Tenggara.

Wilayah Linge dalam struktur kewilayahan ini pada perkembangannya dimekarkan menjadi tiga, yaitu Wilayah Linge yang  meliputi Bener Meriah dan Aceh Tengah. Wilayah Gayo Lues, Kabupaten Gayo Lues sekarang ini  dan Wilayah Kutacane dan Alas di Aceh Tenggara

Tentu saja Bro, aku tidak percaya, sebagai orang yang tidak mendalami tentang kerajaan tradisional aku mencoba cari tahu kebenarannya. Yang kuanggap bisa pada saat itu adalah seorang teman, aku memanggilnya Dani. Hamdani nama lengkapnya.Saat itu dia  tinggal di Hotel Kuala Tripa, Banda Aceh.

Pada masa proses fasilitasi perdamaian Aceh yang dilakukan oleh lembaga Hendri Dunant Center (HDC).  Di hotel inilah para juru runding dari GAM bermarkas  sambil menunggu kelanjutan proses negosiasi  perdamaian dengan Pemerintah Republik Indonesia. Sebagai salah seorang juru runding dari GAM,  dia mendapat keistimewaan, dia  menempati sebuah kamar sebagai tempat tinggal merangkap kantornya. Dengan posisi seperti itu aku yakin dia memiliki kontak langsung dan ekslusif dengan pimpinan  dan pasukan GAM  Linge di lapangan.

Kini, hotel Kuala Tripa  ini telah hancur di hantam Gempa dan  Tsunami yang mendera Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 lalu.

Sebenarnya pertemuanku dengan Dani  ini baru beberapa kali. Dari dia aku tahu,  dulunya dia adalah salah satu tokoh aktivis mahasiswa 1998 yang bergabung dengan  Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Jakarta.

Dani yang aku harapkan memberi jawaban yang lebih lengkap ternyata hanya mengiyakan bahwa Alfahmi adalah wakil juru bicara GAM Wilayah Linge.

Butuh waktu lama bagi aku untuk mempelajari  dan mengambil kesimpulan,bahwa untuk menjadi Reje Linge, dalam kondisi tertentu, dalam kondisi tertentu sekali lagi ku tekankan, tidak merupakan kemutlakan harus dari keturunan langsung dari Raja yang  bertahta sebelumnya, seperti putra mahkota, tetapi boleh siapapun, dengan kriteria dan kemampuan tertentu,seperti: keahlian dan kepemimpinan spiritual serta mampu menjadi panglima Perang. Dan yang lebih penting adalah mampu untuk menjaga dan meneruskan eksistensi Kerajaan.

Dari  tuturan Fauzan Azima, panglima GAM pada saat itu,  aku tahuReje Linge terakhir  yang merupakan keturunan langsung dari Adi Genali Reje Linge I adalah Mpun Thaleb.  Sayangnya Mpun Thaleb ini telah syahid pada saat memimpin pasukan Mujahiddin dari Linge melawan agresi Belanda pada pertempuran di Front Medan Area. Sepeninggalnya Raja ini, pemangku Raja di Kerajaan Linge lowong.

Kerajaan harus tetap berdiri, bendera perang harus tetap dikibarkan.Bermusyawarahlah para petinggi dan utusan tetua Gayo untuk memilih dan melantik Raja baru. Terpilihlah Teungku  Ilyas Leube yang dianggap memiliki dan memenuhi kriteria sebagai Raja dengan gelar Reje Linge XIV, menggantikan Reje Mpun Thaleb yang telah Syahid.

Tidak ada seremoni pengangkatan menjadi Raja, layaknya pelantikan Sultan atau Raja di Jawa atau Raja-Raja lain di dunia ini, situasi pada saat itu tidak memungkinkan untuk melaksanakannya, kondisi Negeri Linge dalam keadaan terancam karena perang, pelantikan Raja baru ini hanya dilakukan dengan mengucapkan dengan kata-kata dan dikuatkan dalam hati rakyatnya.

Takdir Reje Linge sepertinya harus berulang dan harus syahid di medan perang, pada tanggal 15April 1982 di Pandrah, Jeunib, Bireuen.Teungku  Ilyas Leube  dan seorang temannya syahid di bunuh oleh pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).

Sejak syahidnya RejeMpun Thaleb dan Reje Ilyas Leube kondisi tidak berubah, Kerajaanterus  dalam keadaan tidak stabil dan perang terus saja terjadi.  Kondisi ini diperparah lagi, salah seorang anak Reje Teungku Ilyas Leube harus menjalani pengasingan di salah satu Negara.

Kamu tahu itu Bro, Seperti dalam sistem monarki absolut tradisional, dalam kondisi normal yang berhak melanjutkan menjadi Raja adalah anak-anak dari Reje Teungku  Ilyas Leube.

Kesinambungan Kerajaan Linge harus tetap dipertahankan dan untuk mengantisipasi  segala kemungkinan termasuk syahidnya semua pejuang,  Majelis GAM Wilayah Linge kemudian  memutuskan untuk mencari kandidat dan segera melantik Reje baru.

Aku tidak tahu berapa jumlah kandidat yang dimiliki oleh majelis ini untuk memilihRaja baru pada saat itu, sepertinya majelis ini sengaja untuk menutup rapat dan  merahasiakan orang-orang yang dicalonkan untuk menjadi Raja.

Suatu hari, setelah menjalani perjalanan yang jauh aku bertemu dengan Alfahmi.Kami berjanji untuk bertemu di Mesjid Fathun Qarib di Komplek IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Pertemuan itu begitu terasa emosional bagi kami.Saya tahu betapa jauhnya perjalanan yang harus saya jalani dan betapa sulit dan penuh resikonya jalan yang harus ditempuh oleh Alfahmi.

Pada pertemuan itu, setelah berbicara panjang lebar tentang kondisi Negara, Alfahmi mengatakan bahwa dia ingin menyampaikan amanah. “Majelis telah menemukan dan  memutuskan Reje Linge  baru. Dia adalah kamu,” kata Alfahmi.

Aku tak bisa menjawab, galau. Agak aneh bagiku untuk  menerima gelar yang luar biasa besarnya  ini.

Alfahmi mengatakan bahwa ada dua syarat yang harus diikuti sebagai bukti dan syahnya pengangkatan menjadi Reje Linge, pertama adalah mengikuti  seremoni peringatan atas wafatnya Sultan Iskandar Muda dan kedua adalah mengikuti rapat besar Negara Aceh.

Sebelum siang, pertemuan itu selesai dan kami di jemput.Alfahmi ternyata telah menghubungi petinggi GAM wilayah Aceh Besar untuk menjemput kami. Dengan mengendarai dua sepeda motor kami bergerak menuju kawasan Cot Keueng, Aceh Besar.

Cot Keueng ini merupakan basis GAM wilayah Aceh Besar yang paling kuat, wilayah ini dibawah kontrol anak buah Panglima GAM Gajah Keng.Pada saat tiba disana kami disambut oleh Muksalmina, Juru bicara GAM wilayah Aceh Besar, Gajah Keng dan Anhar sebagai Gubernur GAM wilayah Aceh Besar.

Sore harinya, dari Cot Keueng kami bergerak secara bersamake Ujung Pancu tempat seremoni dilaksanakan,  Kalau melihat peta, daerah ini  merupakan ujung paling barat pulau Sumatera. Di sepanjang  perjalanan, Muksalmina dengan teleponnya sibuk memerintahkan anak buahnya untuk memonitor rute yang akan kami lalui dan memastikan kami aman melewati jalan itu.

Pagi hari pada27 Desember 2002, seremoni peringatan meninggalnya Sultan Iskandar Muda dilaksanakan, seperti layaknya seremoni tentu banyak agenda acara yang harus dilaksanakan, lagu kebangsaan Hikayat Prang Sabi dikumandangkan dan surat yang dikirimkan oleh Wali Negara Aceh Hasan Tiro dari pengasingan di  Swedia juga dibacakan.

Di sela-sela acara, saya sempat tersenyum ketika melihat seorang jurnalis perempuan, dia ini mengikuti panglima GAM wilayah Aceh Besar yang sedang melakukan inspeksi pasukan di tengah lapangan upacara, dibelakangnya ada dua orang Tentara GAM,  jurnalis ini berjongkok, sedang asyik-asyiknya mengambil photo untuk mengabadikan momen ini, tanpa disadarinya, tentara GAM bersiap-siap untuk melakukan tembakan salvo. Dorr… Dorr… Dorr, bunyi  tembakan senjata Kalashnikov 47 menggelegar dan menguncang kawasan itu.  Tangan perempuan ini secara replek menutup telinga, kamera photo yang dipegangnya terjatuh, untungnya tali kameranya disangkutkan  di lehernya sehingga kamera tidak langsung jatuh ke tanah.

Menjelang waktu shalat Dzuhut acara selesai.Kemudian kami beristirahat di dalam rumah seorang warga. Aku diajarkan oleh salah seorang pelatih tentara GAM yang mereka panggil Alim, untuk membuka dan memasang perlengkapan senjata AK 47 dan juga membersihkan sisa mesiu yang menempel di dalam laras senjata setelah selesai digunakan.

Di sela-sela membongkar dan memasang perlengkapan senjata itu, Alim berkata.“Saat memegang senjata hal yang paling penting adalah meletakan hati di jari telunjuk,” katanya sambil menggerakan jari telunjuknya di picu senjata.

Sedang asyik-asyiknya berlatih menggunakan senjata, kami dikejutkan oleh jeritan seorang ibu yang tiba-tiba muncul di belakang rumah, “Paiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!” Jeritnya.  Berbarengan dengan jeritan ibu itu, terdengar deru sebuah mobil memasuki  halaman rumah tempat kami istirahat  dan dilanjutkan dengan bunyi dentuman senjata yang saling bersahutan. Senjata pasukan GAM menyalak mengarah ke mobil yang menyusup itu, tidak sampai berhenti dengan kecepatan tinggi mobil itu kembali memutar balik.

Tentara dan para pimpinan yang berada di kawasan itu kocar kacir, Aku bersama kawan berlari  kepegunungan di sekitar rumah, nantinya setelah berkumpul kembali aku tahu ada tentara yang menyeberang naik perahu sampai ke pulau Aceh.

Malamnya, kami melanjutkan perjalanan menuju di Aceh Utara, tempat yang kami tuju adalah Nisam. Jalur yang kami tempuh bukanlah jalur biasa, kami menggunakan sampan nelayan untuk mencapai wilayah itu, turut bersama saya adalah Muksalmina, Abu Tausi dan  Fauzan Azima serta  dua orang pengawal, salah seorang dari  pengawal ini bertugas sebagai juru mudi.

Abu Tausi yang bersama aku ini namanya sebenarnya adalah Zamzami A. Rani, pada Pilkada Aceh Jaya tahun 2006, dia berpasangan dengan Azhar Abdurrahman  mencalonkan diri menjadi pasangan Bupati dan Wakil Bupati, mereka menang dan Zamzami sebagai wakil bupatinya.

Seiring munculnya mentari di ufuk timur, di tengah laut  di kawasan yang tak ku ketahui, di remang-remang cahaya pagi di tepi pantai terlihat seseorang mengibarkan kain warna merah, itu seperti isyarat bagi kami untuk menuju kuala. Sesampai di pantai ketika mendarat di sebuah rumah aku membaca tulisan selamat datang di Kuala Mane, Muara Dua.Kami disambut dengan mobil pick up untuk menuju Nisam.

Perjalanan ke Nisam dari tempat ini tidak bisa ditempuh seluruhnya dengan mengendarai kendaraan, di Pante Kiroe di kawasan Sawang, Aceh Utara, kami harus turun dari kendaraan dan melanjutkan dengan jalan kaki ke Nisam.

Saya melihat sendiri, tentara GAM memiliki stamina yang kuat untuk berjalan kaki, pada awalnya dalam perjalanan ini aku masih di barisan terdepan, lama  kelamaan aku terus disusul dan akhirnya aku menjadi orang yang paling belakang dalam barisan ini. Tas ransel yang ku bawa semakin lama semakin terasa berat, air mineral dalam botol besar yang kubawa telah habis kuminum, kaki terasa semakin berat dan semakin sulit buat ku untuk melangkahkan kaki. Entah sudah berapa kali aku harus berhenti untuk sekedar menarik napas dan mengurut kaki yang terasa sakit.

Ternyata aku salah, kata salah seorang tentara GAM yang bersama kami, dalam perjalanan jauh berjalan kaki tidak boleh banyak minum karena akan membuat cairan mengumpul di kaki dan menyebabkan kaki terasa berat saat melangkah, lebih baik minum setutup botol air yang digunakan untuk mengurangi haus dan hanya untuk membasahi tenggorokan.

Sampai di Nisam, desa yang pertama kami tuju adalah Seumirah karena desa ini berdekatan dengan desa Alue Dua,  lokasi pertemuan Negara yang akan digelar.

3 Januari 2003, Rapat Negara Aceh Merdeka dilaksanakan, Aku dipasangkan baju dan topi, seorang tentara GAM Linge bernama Boh Ate membantu aku untuk memakai baju itu. Aku didudukan ditempat khusus, di sampingku ada Syahrial.

Sayangnya, itulah terakhir kali aku berjumpa dengan Syahrial dan Boh Ate.Mereka telah syahid pada saat pemerintah Indonesia melakukan kampanye Darurat Militer di Aceh.

Selesai upacara aku berkesempatan berphoto bersama Panglima GAM dari Seluruh Wilayah Aceh, sebagai juru photonya adalah William Nessen, seorang wartawan freelance dari Amerika Serikat. Sampai sekarang Aku masih menyimpan salah satu photo itu, yaitu photo aku bersama  Muzakir Manaf dan Ishak Daud.

Malamnya kenduri di laksanakan. Doa bersama dihaturkan kepada ALLAH memohon keselamatan dunia akhirat. Pembai’atan menjadi Raja dilakukan setelahnya. Alquran diletakkan diatas kepala ku. “Wallahi demi ALLAH, demi darah  dan nyawa pejuang serta  rakyat yang telah syahid, Wallahi demi ALLAH, demi harta yang telah dikorbankan oleh pejuang dan rakyat.Aku bersumpah, aku akan menjalankan amanah untuk menjadi Reje Linge dengan sungguh-sungguh.”

Seorang Qadhi kemudian menyuapkan sesuap pulut kuning ke mulut ku. “Namamu sekarang Mpun Thaleb Mude Reje Linge XV,” katanya

* Sahabat Petani Kopi  Gayo, sekarang tinggal di Bener Meriah dan Aceh Tengah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Alamat email saya ivan_taniputera@yahoo.com. No Hp saya 0816658902. Apabila ada yang memiliki data mengenai urutan dan silsilah raja Linge dan raja-raja lain di Tanah Gayo dan Alas sudilah kiranya menghubungi saya.

    Salam hormat selalu,

    Ivan Taniputera

  2. Dengan hormat,

    Saya Ivan Taniputera. Sekarang sedang menulis buku mengenai sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara. Apakah saya dapat memperoleh daftar atau silsilah raja-raja Kerajaan Linge yang lengkap? Jika ada saya juga memerlukan daftar atau silsilah raja-raja kerajaan lain di Gayo dan Alas, seperti Ishaq, Serbojadi, Abok, Mbatu Bulan, dll. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan beribu-ribu terima kasih.

    Salam hormat selalu,

    Ivan Taniputera

  3. Masya Allah..
    Kenapa harus ada dendam..
    Apapun yang telah terjadi, hanya Allah SWT yang berhak membalasnya..
    Semoga saudaraku diberikan kesabaran dan selalu mendekatkan diri dalam Nur Islami..Amin.

  4. Semaikin lama menunggu semakin jelas orang orang yang bertanggung jawab akan peluru nyasar yang terjadi pada masarakat terutama aceh tengah dan bener meriah atas hilangnya harta benda, nyawa…..(termasuk percobaan pembunuhan terhadap orang tua saya) semoga anda bisa tidur nyenyak dimalam hari seperti yang tidak bisa kami lakukan beberapa tahun silam

    1. pada saat konflik, dari semua pihak ada korban, bukan hanya satu pihak…semua harus iklas kl mau rekonsiliasi…jangan ada dendam lagi..kalau mau aceh aman…karena pada masa konflik semua warga yang tinggal di aceh pernah menjadi korban…itu sama-sama kita tahu…iklas dan berbesar hatilah