Ketika Anggota DPR Berlabel Ustadz, Bicara Pariwisata

Oleh : Win Wan Nur*

Sekitar tahun 2005, seorang teman di Minikino (komunitas film pendek di Bali) bernama Edo Wulia, mengirimkan kepada saya sebuah link di youtube yang berisi film kartun yang sangat lucu. Judul film-nya ”The Town of Allopath” (bisa ditonton di link ini http://www.youtube.com/watch?v=vIhNyX3pRrk)

Film ini menggambarkan tentang sebuah kota yang mengalami banyak sekali kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Kejadian ini sangat mengganggu warga kota tentunya. Karena itu dewan kota dan para politisi yang duduk di parlemen kota itu memutuskan untuk mengirim seorang dokter ahli untuk turun sendiri ke lapangan untuk menemukan masalah dan membuat solusinya.

Kita yang menonton film ini langsung bisa melihat bahwa penyebab utama banyaknya terjadi kecelakaan di Allopath adalah karena tidak ada lampu atau petugas pengatur lalu lintas di setiap persimpangan jalan kota ini.

Tapi bukan fakta itu yang dilihat oleh sang dokter ahli. Sang dokter ahli justru lebih berfokus pada sebuah bukti valid, bahwa di setiap kecelakaan lalu lintas, selalu terdapat bekas ban yang aus karena terseret di aspal. Karena di setiap kejadian kecelakaan di Allopath, bekas ban yang sama selalu ditemukan. Sehingga sang ahli pun dengan haqqul yaqin menyimpulkan bahwa penyebab utama terjadinya banyak kecelakaan di Town of Allopath adalah karena adanya bekas ban yang aus di aspal, jadi masalah itu harus segera diatasi.

Maka parlemen pun bersidang, dalam sidang itu mereka memutuskan untuk mengeluarkan anggaran sangat besar yang dikutip dari rakyat untuk membuat jalan-jalan di Allopath bebas bekas aus ban, supaya tidak lagi terjadi kecelakaan. Maka anggaran besar pun dikeluarkan untuk melapiasi seluruh jalan di Allopath dengan lapisan teflon yang licin. Tapi apa yang terjadi?. Tentu saja kecelakaan makin banyak terjadi.

Ketika hasil dari dana besar yang dikeluarkan ternyata jauh dari harapan. Tim investigasi kembali turun ke lapangan, dan kesimpulannya lapisan teflon yang melapisi jalan kurang tebal.

Film yang berisi sindiran sarkastis ini benar-benar pas dengan realitas kita di negeri kita tercinta.

Film ini mengingatkan saya pada perilaku pejabat di negeri kita, terutama anggota DPR yang suka studi banding ke luar negeri, menghabiskan banyak biaya untuk pulang ke negeri ini dengan membawa kesimpulan yang membuat orang yang mengerti masalah tertawa. Contohnya seperti ketika anggota DPR yang melakukan studi banding ke Spanyol dalam rangka mempelajari pengembangan pariwisata, yang ketika pulang membawa kesimpulan bahwa pariwisata spanyol maju karena di situs-situs kunjungan wisata mereka banyak WC-nya.

Kemarin rakyat Aceh Tengah kedatangan tamu penting dari Jakarta. Raihan Iskandar, seorang anggota DPR yang dengan percaya diri meletakkan label ustadz di depan namanya. Kedatangan sang ustadz ke Tanoh Gayo dalam rangka memberikan masukan dan pendapat kepada warga Aceh Tengah tentang pengembangan pariwisata.

Seperti telah kita maklumi bersama, pengelolaan pariwisata Aceh Tengah saat ini, sangat lah buruk. Atas dasar inilah, ustadz kita si orang besar dari Jakarta merasa perlu memberi masukan, mengatakan perlunya membangun kawasan strategis Laut Tawar. Hotel dan jalan harus dirawat, dan berbagai saran normatif lainnya.

Well, kalau kita membaca artikel di koran yang ditulis atau mengutip pendapat Faisal Basri atau Chatib Basri yang mengkritik kebijakan pemerintah soal ekonomi. Sekilas saja kita langsung  bisa melihat kalau sang pengkritik paham betul masalah yang sedang dia kritik. Demikian pula kalau kita membaca pendapat Saifuddin Bantasyam tentang Hukum, atau pendapat Teuku Kemal Fasya soal Antropologi. Terlihat sangat jelas kalau para pengkritik sangat memahami materi dan masalah yang mereka komentari. Dan membaca kritik mereka, kita pun akan langsung bergumam, iya ya kenapa pemerintah tidak melakukan seperti saran mereka.

Tapi ketika sang Ustadz anggota DPR kita yang terhormat ini bicara memberi petunjuk di depan banyak orang tentang cara yang baik membangun dan mengelola pariwisata?.

Oke lah hadirin yang sama sekali tidak mengerti tentang materi yang dibicarakan, bertepuk tangan. Boleh lah para kader fanatik partai sang Ustadz merasa bangga.

Cuma bagi orang yang mengerti masalahnya, apalagi bagi orang yang memang bergelut di bidang pariwisata. Karena masalah pariwisata Aceh Tengah, jelas sama sekali bukan seperti yang diulas dengan percaya diri oleh sang ustadz. Apa yang disampaikan sang ustadz di depan khalayak ini tampak seperti sebuah banyolan yang dilontarkan oleh Andre dan Sule di salah satu episode komedi Opera van Java.

Sebab bertentangan dengan yang diulas dengan percaya diri oleh sang ustadz, masalah dalam pengembangan pariwisata Aceh Tengah, sebenarnya masih sangat mendasar; yaitu pembuat kebijakan sama sekali tidak paham konsep pariwisata yang seperti produk industri apapun, dasarnya adalah mengelola harapan kepuasan konsumen atas uang yang akan (telah) mereka keluarkan.

Membaca ulasan sang ustadz kita ini tentang pariwisata,  membuat saya serasa seperti sedang menonton ulang film ”Town of Allopath” yang telah didaur ulang dengan versi yang berbeda.

Dalam konteks lokalitas keseharian kita, menyaksikan apa yang dipertontonkan oleh Ustadz Raihan. Saya seperti sedang menyaksikan tukang sayur di pasar yang sama sekali tidak memiliki basic pendidikan fisika diberi kepercayaan membangun reaktor nuklir dan bicara tentang pembelahan inti atom dalam fusi nuklir berdasarkan referensinya sebagai tukang sayur. Lalu datang seorang tukang ikan yang juga sama sekali tidak memiliki basic pendidikan fisika, melecehkan konsep dan pandangan si tukang sayur sambil menawarkan konsep yang menurutnya lebih hebat dari konsep si tukang sayur. Khalayak pasar yang juga sama-sama tidak memiliki dasar pendidikan fisika, terutama pendukung fanatik si tukang ikan dengan takzim mengamini pendapatnya, dan memandang rendah si tukang sayur.

Maaf ilustrasi di atas sama sekali bukan saya maksudkan untuk melecehkan kedua profesi mulia tersebut. Tapi yang mau saya sampaikan di sini adalah; seorang tukang sayur yang sangat menguasai masalah persayuran selayaknya berkomentar tentang persayuran saja, dan tukang ikan yang memang ekspert di bidang tata niaga ikan dan memang hanya memiliki kompetensi dalam tata niaga ikan, akan sangat elegan jika hanya berkomentar dan memberikan pendapat tentang tata niaga ikan saja.

Sangat konyol rasanya menyaksikan orang yang berbicara dan sok memberi nasehat pula tentang sesuatu yang ada di luar kompetensinya.

Raihan Iskandar yang punya label ustadz di depan namanya, seharusnya jauh lebih paham dari kita, kalau dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah mengatakan, serahkanlah segala sesuatu pada ahlinya, kalau tidak tunggulah kehancuran.

Atau karena masalah hadits bukanlah kompetensi saya, mungkin jangan-jangan hadits yang saya kutip di atas hanyalah hadits palsu yang tidak jelas siapa perawinya. Sehingga kita sebagai orang Islam tidak perlu serius menanggapinya?

Dalam menjawab pertanyaan terakhir ini. Saya pikir Ustadz Raihan Iskandar dan semua manusia yang berlabel Ustadz di depan namanya jauh lebih punya kompetensi untuk menjelaskan dan bicara, dibandingkan saya.

*Penulis adalah Profesional pelaku bisnis pariwisata asal Gayo.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. knp ente suka menghujat orang? lebih2 yang jenggotan… setahu ane si ustadz berbicara bukan dalam kapasitasnya sebagai ahli pariwisata, tapi memberi masukan sbg penyambung lidah warga (baca serambi indonesia), ente juga sebagai warga negara kalau mau komplain ke pemerintah tentang pariwisata juga sah2 saja,, ga ada yg larang,, kalau mau kasih masukan juga silahkan, ini demokrasi coy… bukan negara teknokrat. salam

    1. Hujatan apa?…Di sini ane jelas-jelas mengkritik omongan ustadz yang ente puja itu dalam kapasitasnya sebagai anggota Dewan yang berkomentar tentang pariwisata.

      Yang bikin Indonesia ini nggak bisa maju adalah sikap ewuh Pakewuh, segan sama orang tapi tidak pada tempatnya.

      Kalo dia di mesjid dan ngomong agama, Ustadz pantas kita hormati. Tapi kalo ngomong ngawur di luar kapasitasnya, dan diberi kuasa pula untuk ngomong ngawur yang bisa merugikan banyak orang….Ya alamat celaka kita.

      Di sini Ustadz Raihan jelas udah ngomong ngawur dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR menyarankan pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur dan akomodasi sementarara PASAR-nya (tidak) atau belum ada.

      Memang nggak ada yang larang dia berkomentar, tapi sebelum berkomentar dia dan semua pemujanya harus tahu, kalau dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR, dia itu kan Cuma kacungnya rakyat. Kalo kacung aja ngomong nggak ada yang larang, apalagi rakyat, bos yang bayar dia untuk jadi kacung. Tentu berhak mengkritisi bahkan mempertanyakan semua yang dia katakana dan meminta pertanggung jawaban.

      Dan di sini ane dengan detail menjelaskan alasannya dan menunjukkan dengan jelas alasannya bahwa LABEL USTADZ di depan namanya tidak serta merta membuat dia tahu segala. Omongannya tentang Pariwisata. Kalau ente dan siapapun pemuja ustadz ini nggak senang, silahkan ente serang materi kritik yang ane sampaikan. Biar kita debatkan untuk mengetahui, konsep mana yang benar.

      Kalo ustadz ini ngomong sampah begitu, nyuruh pemerintah perbaiki ini itu pake uang pribadinya atau uang bapak moyangnya, ya silahkan saja.

      Tapi ustadz kita yang sopan yang kritik terhadapnya langsung dianggap sebagai sentimen pribadi oleh pemujanya ini, menyuruh pemerintah memperbaiki infrastruktur dan akomodasi menggunakan uang siapa?…RAKYAT!!!!

      Masa omongan sampah begini dari seorang anggota Dewan masih harus ane tolerir juga?

  2. sangat setuju apa yang dibilang oleh pak win wan nur, lebih baik diam, kalau memang tidak mengerti dan tidak tahu, ini namanya berbicara tampa arah dan tampa tujuan yang jelas..banyak sekali pejabat yang sok-sok mengerti padahal yang dibahas bukan bidang dan basicnya.. seperti dibidang pariwisata yang disebut dalam tulisan pak win ini, lebih berbicara dan berkomentar tentang apa yang merupakan basic kita..tidak perlu berceloteh panjang lebar pada akhirnya berujung merugikan banyak orang.